Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Semua yang hidup akan binasa, menembus kodrat alam menuju keabadian …….”
Ungkapan filosofis Shakespeare tersebut dalam konteks agama selaras dengan ungkapan “kita semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Suatu ungkapan kesadaran tentang datangnya maut yang secara tiba-tiba dan tak dinyana. Adalah suatu kebenaran yang tak dapat dihindari, setiap yang bernyawa pasti mati. Barangkali ‘cara mati’lah yang sering menjadikan kepiluan menjadi berlebih.
Karakter bencana adalah datangnya tak disangka dan bersifat massal. Banjir, tanah longsor, angin ribut, gempa bumi, dan sebagainya adalah contoh dialektika alam untuk mencari keseimbangan. Munculnya bencana di berbagai wilayah bisa jadi murni ‘kehendak’ alam atau sebagai ‘jawaban’ atas ulah manusia. Apapun latar belakangnya, munculnya bencana menyebabkan terjadinya kerusakan, lebih dari itu melahirkan kepiluan dan korban bagi manusia. Menangis, sedih, dan pilu adalah manusiawi. Akan tetapi meratapi bencana bukan sikap yang dikehendaki. Bijaksana untuk menyikapi adalah sikap yang utama. Mawas diri adalah sifat yang terpuji.
Bencana merupakan bentuk ‘teguran’ agar manusia bersahabat dengan alam dalam segala perilakunya. Juga sebagai teguran agar manusia senantiasa ingat kepada ‘Sang Penguasa Alam’. Sesuai alam budaya masyarakat yang religius, bencana harus ditempatkan sebagai ujian bagi yang beriman, dan azab bagi yang ingkar. Dengan demikian, bersahabat dengan alam dengan segala perilakunya, bukan sekadar ‘menyayangi’ alam tetapi menjadi salah satu bentuk ‘ibadah’ kepada Tuhan, sehingga tidak jatuh pada pemikiran yang sekuler. Apalagi ingkar !
Beberapa alasan yang mengharuskan kita mampu untuk bersahabat dengan bencana alam (Sri Handayaningsih, 2018). Pertama, letak geografis Indonesia. Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng yang masih terus aktif bergerak, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Pergerakan dari lempeng-lempeng tersebut dapat memicu terjadinya beberapa bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan juga aktivitas gunung api yang ada di Indonesia. Salah satu contoh bencana alam akibat dari letak geografis Indonesia adalah tsunami dan gempa bumi.
Kedua, Indonesia berada di jalur ring of fire. Jalur ring of fire merupakan jalur gunung berapi yang membentang mengelilingi cekungan pasifik. Jalur ini ditandai dengan adanya deretan pegunungan berapi yang ada di Sumatera hingga Jawa dan Sulawesi. Berdasarkan data yang dihimpun melalui website Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, hingga kini Indonesia memiliki 127 gunung api aktif. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara yang rawan akan bencana gunung meletus sehingga menduduki peringkat pertama dengan jumlah korban jiwa terbanyak.
Ketiga, kondisi geomorfologi dan iklim di Indonesia. Indonesia memiliki bentangan alam yang beragam mulai dari datar, landai, curam, hingga terjal. Kondisi iklim yang ekstrim di Indonesia juga dapat memicu terjadinya beberapa potensi bencana alam. Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi memudahkan terjadi pelapukan pada tanah yang ada pada bentangan alam tersebut. Hal inilah kemudian yang akan menyebabkan kondisi tanah tidak stabil sehingga meningkatkan peluang terjadinya bencana longsor. Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan potensi terjadinya bencana banjir, sedangkan pada saat memasuki musim panas dapat menyebabkan potensi bencana kekeringan hingga kebakaran.
Ketiga komponen di atas merupakan bagian dari alasan mengapa kita sudah semestinya harus bersahabat dengan bencana alam, sehingga yang harus kita tingkatkan adalah bagaimana untuk membiasakan diri terhadap kehadiran bencana, bukan malah lari dari kenyataan yang ada.
Merubah pendekatan charity
Diakui atau tidak bahwa selama ini masyarakat ketika mengalami bencana patut diduga tidak sepenuhnya dalam keadaan yang siap siaga. Persoalan tersebut dapat dipastikan terjadi karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman tentang bencana. Minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang ancaman bencana pada gilirannya akan membuat masyarakat apatis terhadap gejala sosial yang akan ditimbulkan oleh bencana itu sendiri.
Secara sosiologis, bencana alam pada dasarnya dapat dimaknai sebagai suatu proses perubahan sosial yang tidak direncanakan. Bencana alam yang terjadi secara simultan telah mengubah sistem tatanan masyarakat secara cepat dan masif. Hal tersebut terlihat dari adanya dampak yang diakibatkan bersifat multidimensi yang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan sosial budaya. Dampak yang ditimbulkan kemudian menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak stabil.
Paradigma penanganan bencana yang selama ini berfokus pada pendekatan yang bersifat charity dan karitatif harus diubah. Penanganan bencana secara charity dan karitatif dampaknya hanya berlangsung dalam jangka pendek dan tidak memberikan langkah solutif secara nyata.
Paradigma untuk mengurangi risiko bencana semestinya harus berorientasi pada langkah-langkah preventif secara terpadu dan terintegrasi. Sebab kesiapsiagaan masyarakat sebagai bagian pengetahuan untuk melakukan mitigasi bencana bukan proses instan. Lebih jauh upaya tersebut memerlukan peran lembaga sosial dalam mengkoordinir dan mentransformasikan cara berpikir masyarakat dalam melakukan mitigasi bencana.
Mempersiapkan atau membangun masyarakat tangguh bencana melalui lembaga sosial kemasyarakatan penting karena masyarakat diikat oleh nilai-nilai atau norma yang termanifestasi dalam kearifan lokal yang seharusnya mampu dijadikan instrumen pengurangan risiko bencana. Akan tetapi, peran lembaga sosial kemasyarakatan dalam konteks mitigasi bencana selama ini belum dapat dimaksimalkan. Oleh karena itu, dalam konteks kebencanaan lembaga sosial kemasyarakatan perlu didayagunakan dengan optimal agar dapat memunculkan kesadaran bagi masyarakat.
Guna mendorong terciptanya masyarakat dengan kesadaran mitigasi bencana yang baik, maka peran lembaga sosial kemasyarakatan perlu bertransformasi. Sebab dengan mempersiapkan masyarakat dengan segala sumberdaya dan potensi yang dimiliki tentu menjadi bagian penting kedepannya dalam rangka mengedukasi masyarakat sehingga mereka dapat lebih siap dan tanggap ketika menghadapi ancaman bencana.
Gejala yang Sporadis
Berkenaan dengan itu, bencana alam sebenarnya merupakan gejala yang sporadis. Namun demikian, respons masyarakat dalam menghadapinya tidak dapat sporadis, melainkan perlu disusun langkah sistematis dan terkoordinir yaitu melalui lembaga sosial kemasyarakatan. Hal tersebut penting agar masyarakat dapat melakukan langkah antisipatif dalam menghadapi ancaman bencana yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai atau norma yang termanifestasi dalam kearifan lokal masyarakat yang notabenenya semakin ditinggalkan harus direkonstruksi kembali sebagai suatu sumberdaya yang potensial dalam pengurangan risiko bencana.
Transformasi lembaga sosial kemasyarakatan yang diupayakan dalam masyarakat pada gilirannya dapat menjadi sumberdaya potensial yang bermanfaat untuk membangun strategi dalam menghadapi bencana. Kemampuan masyarakat dalam menghadapi setiap ancaman bencana tentu dalam praktiknya perlu melibatkan multi pihak sehingga setiap lembaga sosial yang ada di masyarakat baik lembaga pendidikan, ekonomi, dan lembaga pemerintah desa/kelurahan agar dapat berfungsi mendukung proses transformasi kelembagaan sosial masyarakat dalam menghadapi bencana.
Membangun masyarakat tangguh bencana melalui transformasi kelembagaan sosial sangat penting dilakukan. Urgensi dari hal tersebut mengingat rentannya masyarakat terhadap bencana alam. Sehingga untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengurangan risiko bencana, maka masyarakat harus dipersiapkan melalui proses rekayasa sosial dengan menghidupkan kembali segala potensi yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri sebagai bagian dari langkah-langkah preventif dalam menghadapi bencana di masa yang akan datang.
Ciri Masyarakat Tangguh
Masyarakat tangguh menghadapi bencana memiliki ciri-ciri (Usman, 2023) yaitu : pertama, kemampuan untuk mengantisipasi setiap ancaman yang akan terjadi. Oleh karena itu, tahap ini kita dituntut mampu melakukan prediksi, analisis, identifikasi dan kajian terhadap risiko bencana. Kemampuan ini memerlukan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang canggih maupun yang tepat guna. Juga dari pengetahuan yang modern hingga kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat. Kedua, kemampuan untuk melawan atau menghindari ancaman bencana tersebut. Kemampuan untuk melawan ini sangat tergantung dari besarnya ancaman yang akan kita hadapi. Apakah kemampuan sumber daya kita mampu menghadapi kekuatan dampak yang akan ditimbulkan.
Ketiga, kemampuan untuk menghadapi bencana dan dampak yang ditimbulkan. Apabila kita tidak mampu melawan ataupun menghindar, maka kita harus mampu mengurangi, mengalihkan atau menerima resiko bencana yang akan terjadi. Prinsip-prinsip manajemen resiko berlaku untuk mananggulangi bencana. Upaya memperkecil dampak yang ditimbulkan atau mitigasi bencana, seperti membuat bangunan tahan gempa, membangun stelter vertikal, membuat jalur-jaur pengungsian dan sebagainya harus diterapkan. Pada dasarnya mengadaptasi bencana ini bertujuan agar kemampuan masyarakat untuk menerima risiko semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan filosofi, hidup berdampingan secara damai dengan bencana. Keempat, kemampuan untuk pulih kembali secara cepat setelah terjadi bencana. Ketangguhan suatu masyarakat dalam menanggulangi bencana dapat dilihat dari kemampuan (daya lenting) untuk pulih kembali setelah ditimpa bencana.
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Peningkatan kapasitas masyarakat merupakan suatu keniscayaan, karena masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang lebih besar. Kegiatan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat ini selaras dengan program pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana) yang merupakan desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan jika terkena bencana.
Salah satu ciri Desa/Kelurahan Tangguh Bencana menurut R. Faizah R., dkk. (2019) adalah adanya dukungan masyarakat yang memiliki ketangguhan dalam menghadapi bencana, yang ditandai dengan adanya hal-hal sebagai berikut: a. Pemahaman terhadap hakekat bencana; b. Bekal ruhani untuk menghadapi bencana; c. Pemahaman tentang adanya bahaya di sekitarnya; d. Pemahaman tentang sistem peringatan dini (early warning systems) yang ada; e. Pemahaman tentang jalur evakuasi dan titik kumpul; f. Keterampilan untuk menyelamatkan diri; dan g. Kegiatan mitigasi untuk pengurangan dampak bencana.
Dalam proses mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana), masyarakat harus menjadi pelaku utama, meskipun dukungan teknis dari pihak luar juga sangat dibutuhkan, atau disebut dengan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Berbasis Masyarakat. Keberhasilan pihak luar dalam memfasilitasi masyarakat untuk mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah keberhasilan masyarakat juga dan diharapkan masyarakat akan memiliki seluruh proses pengembangan program ini sendiri. Pelaksanaan kegiatan Destana berbasis pada pengurangan risiko bencana (PRB) yang merupakan sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risiko bencana dan meningkatkan kapasitas masyarakat. PRB bertujuan untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan.
Hidup Nyaman Bersama Ancaman
Kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh komunitas tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitar. Kearifan lokal adalah pengetahuan atau kesadaran yang diwarisi secara turun-temurun yang sudah menyatu dengan masyarakat dan budaya setempat.
Sejalan dengan paradigma penanggulangan bencana terkini dan nafas otonomi daerah, desentralisasi penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan solusinya. Prinsipnya, harus ada kejelasan dalam pembagian kewenangan penanggulangan bencana antar-aras pemerintahan, sumber pembiayaan yang memadai untuk melaksanakan kewenangan, dan upaya untuk memberdayakan masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah berperan dalam : pertama, menyusun peraturan/hukum untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang mengancam dan dampak bencana. Kedua, mengatur kewenangan dan tanggung jawab penanggulangan bencana. Ketiga, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana yang sesuai dengan prinsip-prinsip penanggulangan bencana: cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparan dan akuntabel, serta kemitraan. Keempat, menjamin upaya pengurangan risiko bencana terintegrasi dalam program pembangunan. Kelima, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta dalam penanggulangan bencana.
Untuk bidang penanggulangan bencana, program prioritas yakni: mempercepat upaya pengendalian banjir dan genangan melalui pembangunan bendung, dam penahan dan kolam retensi, memperkenalkan sumur resapan dan biopori serta merevitalisasi sistem drainase kota; perlindungan mata air dan cadangan air tanah melalui reboisasi hutan dan sumur resapan; dan meningkatkan kapasitas Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) dan keterlibatan stakeholder lainnya dalam upaya pencegahan, kesiapsiagaan dan kedaruratan bencana.
Semoga !!!