INIPASTI.COM, MAKASSAR – Pasangan Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman (NA-ASS) yang mendeklarasikan dirinya pada tanggal 22-10-2017, di lapangan Karebosi Makassar, untuk maju sebagai Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, mendapat reaksi negatif dari sejumlah kelompok massa, elit parpol dan individu yang cukup berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
NA-ASS yang mengklaim dapat dukungan dari partai: PDIP, PKS, PAN, dan Gerindra, pada saat melakukan deklarasi, tidak ada satupun elit parpol (partai politik) dari DPP yang hadir dan memberikan support. Semula, pengurus DPD Gerindra Sulsel berjuang keras ingin mengahadirkan Prabowo pada saat deklarasi, namun kenyataannya, tidak satupun elit DPP Gerindra yang nongol pada acara deklarasi yang dimaksud. Elit partai lainpun setali tiga uang, tidak satupun elit DPP (ketua DPP) dari PDIP, PKS dan apalagi PAN, menghadiri deklarasi pasangan NA-ASS.
Bahkan pengurus DPW PAN Sulsel tidak ada satupun yang hadir pada acara deklarasi pasangan NA-ASS. Pengurus DPW PAN Sulsel, secara terbuka kepada publik tidak memberikan dukungan kepada NA-ASS. DPW PAN Sulsel tidak segan-segan melakukan perlawanan terhadap keputusan DPP PAN yang berencana mengusung NA-ASS. Sikap PAN ini jelas-jelas tidak menguntungkan koalisi yang dibangun secara sepihak oleh NA-ASS. Karena nampak jelas, massa PAN mulai dari elit DPW Sulsel hingga akar rumput tidak memberikan dukungan kepada NA-ASS. Bagi pasangan NA-ASS, koalisi yang dibangun dengan tidak melalui proses dari bawah hanya akan menjadi beban baginya. Koalisinya sangat rapuh, karena di antara pengurus dan kader partai pendukung tidak ada yang memiliki kecocokan.
Hubungan PDIP dengan Gerindra, PDIP dengan PKS, atau PDIP dengan PAN, adalah hubungan politik seperti minyak dan air. PDIP dengan Gerindra dan PKS sudah cukup lama berseberangan dalam politik. Yang ada di antara mereka adalah perseteruan politik, mereka sulit mencair, karena kepentingan mereka beda, tujuan dan platformnya juga lain. Lagi-lagi, kondisi ini memunculkan reaksi negatif terhadap NA-ASS. PKS dan PAN adalah dua partai politik yang mendasarkan dirinya pada kepentingan dan preferensi ummat. Sementara PDIP yang menjadi “komandan” koalisi, berbeda cara pandang melihat kepentingan dan selera ummat. Orientasi PDIP yang terlalu berat ke arah nasionalisme kerakyatan, sulit bertemu dengan PKS dan PAN yang mengandalkan sentimen ummat dan keislaman.
Perseteruan Gerindra dengan PDIP lebih hebat lagi. Relawan Prabowo, yang juga pemilih Gerindra memasang harga mati untuk mencalonkan Prabowo menjadi presiden. Amarah mereka menyala ketika mendengar Gerindra menjadi “pengikut” PDIP, yang juga memiliki calon presiden sendiri, Jokowi.
Adonan politik pasangan NA-ASS yang mencampurkan bahan mentah politik yang kontras, justru akan menimbulkan racun politik yang saling tekan menekan dan kontradiktif. Elit-elit partai yang berkoalisi untuk NA-ASS belum memiliki kemampuan memadai untuk mengendalikan kader dan pemilihnya untuk mengikuti selera mereka. Issue keummatan bagi PKS dan Gerindra yang terjadi seperti pada Pilkada DKI Jakarta sudah tersimpan rapi pada memori ummat di Sulsel, karena itu -peristiwa Pilkada DKI akan pindah ke Pilkada Sulsel. Sementara issue nasionalis kerakyatan yang diusung PDIP juga akan berjalan sendiri. Di sinilah polarisasi pemilih akan terus berbiak. Sayangnya, pasangan NA-ASS tidak bisa mewakili salah satu kepentingan Gerindra-PKS atau PDIP. Karena posisi NA-ASS masih mencari bentuk. Pasangan ini belum matang pada satu ideologi politik tertentu.
Publik lebih bisa menghubungkan posisi nasionalisme kerakyatan ke arah Ichsan Yasin Limpo (IYL) dan Nurdin Halid (NH) ketimbang kepada NA-ASS. Sementara cita rasa dan spirit keummatan lebih dekat dengan Agus Arifin Nu’mang, dibanding dengan pasangan NA-ASS. Lagi-lagi posisi NA-ASS jika dihubungkan dengan portofolio politik Gerindra-PKS-PAN dengan PDIP, koalisi ini akan melahirkan kebingungan masyarakat. Bisa jadi, pemilih yang sudah memilih NA (semula memilih tanpa pertimbangan idiologi dan sentimen tertentu) sebelum didukung oleh koalisi PDIP-PKS-PAN dan Gerindra akan beralih menelusuri alur idiologi yang sesuai dengan identitas dirinya, dan menentukan pilihan yang lebih dekat dengan idiologi politiknya.
Jika pemilih Sulsel memiliki platform politik yang kental dan identitas politik yang kuat, bisa jadi pasangan NA-ASS akan mendapatkan reaksi negatif dari publik yang terus meningkat. Akumulasi dari reaksi negatif itu akan berakibat pada menurunnya dukungan dan elektabilitas terhadap NA-ASS. Kalau elektabilitas terus berkurang, partai pendukung (koalisi) bisa terbongkar. Karena koalisi yang terbentuk untuk NA-ASS hanya berasaskan kemenangan. Jika dalam dua bulan ke depan, NA-ASS terus mengalami penurunan atau stagnan, sementara kandidat lain mengalami peningkatan, maka bisa diduga, dukungan partai politik bisa berubah. Rupanya partai politik tidak ada yang siap kalah. Bongkar pasang dukungan akan sangat potensial terjadi hingga akhir Desember 2017. Dengan kata lain, sebelum pendaftaran ditutup, parpol masih bisa mengubah dukungan politiknya. (*ipc)