Oleh : Ahmad Usman
Dosen Unkiversitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Menarik sya’ir Jalaluddin Rumi, penyair tersohor tentang cinta. Dapat menjadi renungan bagi siapapun sebagai guru. “Cinta membuat yang pahit menjadi manis / Cinta mengubah tembaga menjadi emas / Cinta mengubah sampah menjadi anggur / Cinta mengalihkan derita ke dalam penyembuhan / Cinta menghidupkan yang mati / Cinta mengubah raja menjadi hamba sahaya / Cinta mendidihkan samudra laksana buih / Cinta meluluhlantakkan gunung menjadi pasir / Cinta menghancurkan langit beratus keping / Cinta mengguncang dunia.”
Dalam era kepemimpinan KH. Nasaruddin Umar. sebagai Menteri Agama RI menyampaikan konsep baru kurikulum yang akan digagas pada pendidikan di lingkup Kementerian Agama mempromosikan dan mengarusutamakan bagaimana cinta menjadi spirit dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya di dunia pendidikan.
Nasaruddin meyakini bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih dan kebaikan bagi umatnya. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Semakin dekat dan sadar penganut agama terhadap ajaran agamanya masing-masing, maka dunia ini akan damai dan sejuk, yang boleh jadi mungkin negara tidak memerlukan lagi Polisi.
Kurikulum berbasis cinta mengarusutamakan bagaimana cinta menjadi spirit dalam dunia pendidikan di Indonesia dapat tumbuh dengan pola pikir yang inklusif dan mampu memandang perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kekayaan bangsa yang harus dijaga dan dirawat. Kurikulum berbasis cinta merupakan sebuah gagasan inovatif dalam dunia pendidikan yang digagas oleh Menteri Agama RI.
Konsep ini menyoroti pentingnya nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan kedamaian dalam proses pembelajaran. Kurikulum cinta bertujuan untuk menumbuhkembangkan atau melahirkan generasi muda yang memiliki karakter mulia, mampu menghargai sebuah perbedaan berdasarkan cinta, dan berkontribusi positif bagi masyarakat yang plural atau yang beragam.
“Quo Vadis” Kurikulum Cinta
Secara bahasa, istilah quo vadis artinya merujuk pada kalimat “Ke mana engkau pergi?” Kalimat quo vadis pernah dipakai dalam berbagai konteks, seperti karya sastra. Salah satu karya yang terkenal adalah novel berjudul “Quo Vadis: A Narrative of the Time of Nero” karya Henryk Sienkiewicz. Novel karya Henryk tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1896 dan menggambarkan kekejaman Kaisar Nero di Romawi serta latar belakang pertemuan Santo Petrus dengan Yesus. Mengutip laman Golden Globes, novel Quo Vadis: A Narrative of the Time of Nero kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang dirilis pada tahun 1951 dan memenangkan Golden Globe Award.
“Quo vadis” kurikulum cinta dapat diartikan ke mana arah kurikulum berbasiskan cinta ini. Kurikulum berbasis cinta bertujuan membentuk generasi muda yang memiliki pandangan, sikap, dan perilaku toleran terhadap perbedaan, baik itu suku, agama, maupun budaya. Kurikulum berbasis cinta ini bertujuan menjadikan pendidikan agama lebih dari sekadar pembelajaran ritual dan tata cara beribadah. Kurikulum ini mengajarkan nilai-nilai toleransi dan moderasi, membentuk karakter yang tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga mampu hidup berdampingan tanpa merasa paling benar (Aida Chomsah, 2025).
Cinta, dalam konteks ini, bukan sekadar emosi. Ia adalah sikap yang diwujudkan melalui tindakan, menghormati perbedaan, merangkul keberagaman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Cinta yang inklusif dan universal, cinta kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.
Pendidikan berbasis cinta juga mengingatkan kita bahwa agama bukanlah alat untuk memisahkan atau menghakimi. Sebaliknya, agama adalah jalan menuju kedamaian, kasih sayang, dan persatuan. Melalui pendekatan ini, generasi muda diajarkan untuk melihat keberagaman sebagai anugerah, bukan ancaman.
Kurikulum berbasis cinta mengarusutamakan bagaimana cinta menjadi spirit dalam dunia pendidikan di Indonesia, dapat tumbuh dengan pola pikir yang inklusif dan mampu memandang perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kekayaan bangsa yang harus dijaga dan dirawat. Kurikulum berbasis cinta merupakan sebuah gagasan inovatif dalam dunia pendidikan yang digagas Menteri Agama Nasaruddin Umar. Konsep itu menyoroti pentingnya nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan kedamaian dalam proses pembelajaran (Maggalatung, 2025).
Kurikulum cinta bertujuan menumbuhkembangkan atau melahirkan generasi muda yang memiliki karakter mulia, mampu menghargai sebuah perbedaan berdasarkan cinta, dan berkontribusi positif bagi masyarakat yang plural atau yang beragam.
Beberapa asfek pengembangan kurikulum cinta (Muhammad Nasir, 2025). Pertama, nilai-nilai persaudaraan. Kurikulum cinta mengembangkan nilai-nilai persaudaraan. Kedua; akhlak menghargai kemanusiaan. Dalam Islam menghargai kemanusiaan menjadi konsekuensi ibadah. Ketiga; akhlak menghargai disiplin. Keempat; nilai-nilai kasih sayang. Kelima, nilai-nilai kebangsaan. Aspek kurikulum cinta memuat penanaman nilai-nilai kebangsaan. Cinta tanah air bagi segenap bangsa merupakan tuntutan yang tak dapat diabaikan.
Terdapat lima aspek emosi yang dikembangkan dalam kurikulum cinta yang akan mendorong diri seseorang untuk memjadi diri yang memiliki sikap kasih sayang. Pertama, conscince (nurani) hati nurani memiliki dua sisi yaitu, sisi kognitif dan sisi emosional, sisi kognitif yang menuntut seseorang kedalam hal yang benar, sedangkan sisi emosional menjadikan seseorang merasa wajib untuk melakukan hal yang benar. Kedua, self esteem (percaya diri). Bila seseorang memiliki harga diri atau percaya diri yang sehat, maka ia dapat menghargai diri sendiri. Ketiga, empathy (merasakan penderitaan orang lain). Adalah kemampuan mengenali, atau merasakan, keadaan yang tengah dialami orang lain. Empati memungkinkan kita keluar dari diri kita dan masuk ke dalam diri orang lain. Keempat, loving the good (mencintai kebenaran). Ciri lain dari bentuk kasih sayang yang tertinggi adalah perasaan murni yang tidak dibuat-buat dalam kebaikan. Kelima, self control (mampu mengontrol diri). Emosi dapat menghanyutkan akal. Oleh karena itu kontrol diri merupakan salah satu dari pekerti moral yang lahir dari sikap kasih sayang yang dapat mempertahankan akal sehat anak agar tidak terjebak dalam kejahatan (Muhammad Nasir, 2025).
Kurikulum cinta mendorong agar pelajaran agama bisa menyentuh spiritualitas peserta didik. Agama bukan menjadi sesuatu yang dihafalkan semata, tetapi harus dihayati, termasuk dalam relasi dengan orang lain yang berbeda. Sementara itu, pembelajaran mendalam juga mendorong peserta didik agar sadar akan kemajemukan termasuk dalam hal potensi dirinya dan orang lain.
Kurikulum berbasis cinta bukanlah kurikulum pengganti, melainkan pengayaan terhadap kurikulum yang sudah ada.
Kurikulum cinta adalah pendekatan baru dalam pendidikan agama yang menekankan pada ajaran kasih sayang, kebersamaan, dan perdamaian.
Pemerintah berharap bahwa penerapan kurikulum cinta dapat menciptakan generasi yang lebih toleran, menghormati perbedaan, dan menjunjung nilai kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat (excellentteam, 2025).
Pertama, mencegah radikalisme sejak dini. Salah satu ancaman dalam sistem pendidikan saat ini adalah penyebaran paham radikal yang mengarah pada intoleransi. Kurikulum cinta bertujuan untuk menutup celah masuknya ideologi ekstrem dalam lingkungan pendidikan. Berdasarkan berbagai penelitian, anak-anak yang sejak kecil diajarkan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi akan tumbuh dengan pola pikir yang lebih terbuka, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh ajaran kebencian.
Kedua, membangun karakter berbasis kasih sayang. Selain mencegah ekstremisme, kurikulum cinta juga berfokus pada pembentukan karakter yang lebih humanis. Pendidikan agama harus mengajarkan siswa tentang cinta kasih, empati, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam konteks ini, sekolah dan madrasah memiliki peran penting dalam: menanamkan nilai saling menghormati antarumat beragama; mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah pemisah, tetapi kekayaan bangsa; dan mendorong siswa untuk menjadi agen perdamaian dalam kehidupan sosial mereka.
Ketiga, menyelaraskan pendidikan agama dengan nilai kebangsaan. Pendidikan agama di Indonesia tidak boleh terpisah dari nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Kurikulum cinta memastikan bahwa ajaran agama yang diajarkan di sekolah: tidak bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika; menghormati hak beribadah setiap warga negara; dan mendorong kolaborasi antarumat beragama dalam membangun bangsa.
Dampak positif kurikulum cinta bagi pendidikan Indonesia. Pertama, meningkatkan toleransi antarumat beragama. Dengan diterapkannya kurikulum cinta, diharapkan anak-anak dapat memahami dan menghormati keyakinan orang lain sejak dini. Hal ini akan membentuk masyarakat yang lebih harmonis dan jauh dari konflik berbasis agama. Kedua, mengurangi konflik sosial berbasis agama. Selama ini, masih banyak konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan agama. Dengan pendekatan pendidikan yang lebih inklusif dan berbasis cinta, diharapkan potensi konflik antarumat beragama dapat diminimalkan. Ketiga,menciptakan generasi yang lebih humanis dan berbudi luhur. Pendidikan yang berorientasi pada cinta kasih akan membantu generasi muda menjadi individu yang lebih empatik dan peduli terhadap orang lain. Mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi.
Tantangan Kurikulum Cinta
Meskipun konsep ini memiliki banyak manfaat, penerapannya tentu tidak akan berjalan tanpa tantangan (excellentteam, 2025).
Beberapa tantangan yang mungkin muncul : pertama, resistensi dari kelompok tertentu. Tidak semua pihak akan langsung menerima perubahan dalam sistem pendidikan agama. Ada kemungkinan munculnya resistensi dari kelompok tertentu yang merasa kurikulum ini mengurangi esensi ajaran agama. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan dialog terbuka dengan tokoh agama dan pemangku kepentingan pendidikan agar konsep kurikulum cinta dapat diterima secara luas.
Kedua, kesiapan guru dalam mengajar kurikulum baru. Guru memiliki peran penting dalam keberhasilan implementasi kurikulum cinta. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan khusus bagi para pendidik agar mereka bisa menyampaikan materi dengan baik dan tidak terjebak dalam narasi intoleran. Ketiga, evaluasi berkelanjutan terhadap efektivitas kurikulum. Pemerintah harus melakukan evaluasi berkala terhadap dampak kurikulum cinta dalam sistem pendidikan. Jika ada kendala atau kelemahan dalam implementasi, maka perlu dilakukan penyesuaian agar kurikulum ini bisa diterapkan secara efektif.
Meskipun implementasi kurikulum cinta masih menghadapi tantangan, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada dukungan dari guru, sekolah, orang tua, serta masyarakat secara luas.
Multi-definisi Cinta
Ada satu pelajaran hidup untuk dipelajari. Namun dapat dirumuskan dalam berbagai cara, salah satunya adalah yang ditemukan dari A Course in Miracles yaitu “pelajari cinta, untuk itulah dirimu ada” (Nurachman, 2023).
Cinta adalah penyatuan dua aku yang berbeda, demikian kata pepatah. Akan tetapi, benarkah itu merupakan definisi dari cinta. Jika merunut pada kajian yang dilakukan oleh William C. Chittick, dalam bukunya Tasawuf di Mata Kaum Sufi, cinta justru tidak memiliki definisi. Menurutnya, cinta tidak akan pernah memiliki definisi. Yang ada hanyalah jejak-jejak yang ditinggal. Meskipun demikian, semua orang (baca: kita) akan sepakat bahwa cinta akan bermuara kepada perasaan sayang, yang darinya meledak kekuatan maha dahsyat. Keunikan sekaligus keuniversalan inilah yang menjadi kekuatan cinta (Fakhruddin, 2007).
Dalam bahasa agama (baca: Islam) cinta diartikan dengan “hubb” yang berarti bersih putih (Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah;1870), yaitu kemurnian, kebersihan dan ketulusan. Secara psikologi cinta adalah perasaan yang datang dari dalam diri manusia yang mencerminkan kepribadian yang murni, bersih dan tulus dalam seluruh asfek kehidupannya.
Cinta dapat diartikan dengan banyak cara. John Bowlby (Aguk Irawan, 2025) menekankan arti cinta sebagai membangun ikatan (attachment). Dua individu atau lebih yang terikat oleh satu ikatan kuat membentuk solidaritas atas dasar cinta. Setiap individu bisa saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Ikatan antarmanusia membentuk struktur sosial baru.
Struktur sosial baru tersebut menjadi framework menganalisis situasi dan kondisi orang-orang yang terikat. Hasil pemahaman atas situasi menjadi modal sosial, termasuk untuk melakukan transformasi. Cinta pada gilirannya menghasilkan transformasi sosial dan perubahan ke arah lebih baik.
Ketika Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi’ wanita tersohor ditanya tentang batas-batas gagasan cinta. Rabi’ah pun menanggapi, cinta adalah bahasa perasaan dan kerinduan. Cinta hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengalaminya. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata karena sulit bagi seseorang untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tidak mereka pahami atau sesuatu yang mereka pahami tetapi belum pernah mereka alami. Nafsu tidak dapat memahami cinta, terutama ketika persyaratan cinta diabaikan. Cinta memiliki kekuatan untuk mengatur hati, membuat bingung seseorang, dan membisikan orang untuk mengungkapkan sesuatu (Mustamin, 2020).
Mahabbah atau cinta menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (2003). Ia percaya bahwa semua makhluk hidup harus memiliki cinta, kehendak, dan perilaku. Saat didorong oleh cinta, semua yang ada dan tampak akan kelihatan harmonis dan selaras. Seseorang yang tidak memahami cinta dan tidak pernah mencintai maka rasa akan kebahagiaan tidak akan pernah bisa mendekatinya, karena tanpa cinta seseorang tidak dapat mengalami kebahagiaan. Cinta adalah landasan iman, dan tanpa cinta, tidak ada yang bisa masuk.
Ibnu Qayyim merangkum mahabbah atau cinta menjadi beberapa definisi. Pertama, cinta merupakan kecenderungan berkelanjutan dalam hati orang yang dimabuk cinta. Seseorang yang sedang jatuh cinta akan mengalami cinta terus-menerus. Kedua, cinta adalah api batin yang menghabiskan segalanya kecuali objek yang dicintainya. Ketiga, cinta adalah memberikan semua yang dimiliki kepada apapun yang dicintai sampai tidak punya apa-apa lagi yang sisa. Keempat, cinta adalah usaha yang dilakukan untuk mendapatkan kerelaan (keridhaan) dari yang dicintai. Kelima, cinta adalah butanya hati terhadap segala sesuatu kecuali obyek yang dicintai dan tulinya telinga dari mendengarkan segala sesuatu selain yang dicintai. Keenam, cinta adalah tenang tetapi gelisah, gelisah tapi tenang. Hati akan merasa gelisah, kecuali sedang berdekatan dengan yang dicintai, kegelisahan dan kegundahan muncul karena adanya kerinduan, dan ia akan merasa tenang ketika berada di dekat kekasihnya.
Dalam konteks filosofi, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih, dan kasih sayang maka pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri mereka untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia.
Mendidik dengan Cinta
“Where there is love, there is life”, di mana ada cinta, di situ ada kehidupan.
Menjadi guru yang selalu dirindukan kedatangannya, disegani ketika berkata, menginspirasi setiap kebijakannya, serta ditangisi ketika kepergiannya adalah salah satu ciri dari guru yang mengajar denga cinta, mendidik dengan hati dan membina dengan suka cita. Guru yang seperti ini berarti sudah membangun ikatan batin yang kuat dengan siswa/santrinya. hal ini bisa terbentuk dari ketulusan sang guru dalam memberikan pendidikan dan pengajaran (Nurachman, 2023).
Mendidik anak dengan cinta kasih berarti mendidik mereka dengan landasan cinta (kasih sayang). Guru harus tampil bijaksana dan penuh sentuhan kasih sayang (cinta) dengan memberikan nasihat-nasihat sehingga anak didik merasa diperhatikan di sekolahnya (Nurdin, 2005).
Mendidiklah dengan cinta dan penuh dedikasi serta tanggung jawab penuh. Mendidiklah dengan cinta dan lakukan bahwa kita mengajar untuk anak-anak kita sendiri bukan orang lain. Mendidiklah dengan cinta, artinya mendidiklah dengan rasa sayang tanpa Ada paksaan sedikit pun.
Rasa kasih dan sayang yang perlu dibangun adalah rasa kasih sayang sebagaimana orang tua kepada anaknya. Meskipun seorang guru bukanlah orang tua kandung bagi anak didiknya, namun rasa kasih dan sayang yang bersumber dari dalam hati tetaplah perlu dibangun dengan sebaik-baiknya oleh seorang guru yang ingin dicintai oleh anak didiknya (Azzet, 2013).
Sikap cinta dan kasih sayang seorang guru tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap-sikap positif lainnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, khususnya dengan para siswa. Sosok guru yang selalu menebar kasih sayang pada siswa akan melahirkan sebuah kharisma. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya, serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa dan disegani. Cinta adalah sikap batin yang melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakkal. Jaring-jaring cinta yang kita tebar dengan penuh keikhlasan akan tersambut positif oleh siswa. Sesuai dengan kalimat hikmah “Siapa menanam, dialah yang akan memetik hasilnya” (Iflahul Karim, 2023).
Sikap kasih sayang yang ditunjukkan guru akan memberikan ikatan batin yang kuat antara peserta didik dengan gurunya, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang mana anak akan merasa bersalah bila ia melakukan sesuatu yang melanggar ketentuan yang diajarkan gurunya. Keterkaitan emosional antara guru dengan anak didik inilah yang harus diupayakan (Nurdin, 2005).
Kunci untuk menjalin hubungan emosional yang baik adalah cinta. Guru yang baik adalah guru yang melandaskan interaksinya dengan peserta didik di atas nilai-nilai cinta. Hubungan yang berlandaskan cinta akan melahirkan keharmonisan. Sikap cinta, kasih dan sayang tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, serta sikap-sikap positif lainnya (Mahfudz, 2011).
Respon balik dari rasa cinta siswa bisa terwujud melalui sikap-sikap positif. Misalnya penghormatan, kepatuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya. Dengan sikap-sikap seperti ini, maka siswa akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Maka akan muncul gairah untuk berprestasi di dalam jiwa siswa. Namun dalam realita di lapangan, ungkapan rasa cinta guru dalam mengajar tidak mudah ditangkap oleh siswa. Mengungkapkan kata cinta tidak semudah mengucapkan. Dibutuhkan kiat dan seni tersendiri agar sinyal cinta guru dapat dipahami siswa (Anonymous dalam Usman, 2025).
Cinta adalah bahan dasar dari hidup. Kita perlu cinta dan juga perlu memberikan cinta. Cinta memang akan sangat mudah menghidupkan dan menggairahkan kehidupan serta bahan bakar manusia untuk melakukan aktifitas dan pekerjaan besar. Setiap pekerjaan besar dan dahsyat pasti didasari oleh cinta. Cinta adalah bahan bakar utama untuk mencapai prestasi tertinggi (Wibowo, 2012).
Toto Tasmara dalam buku Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas karya M. Furqon Hidayatullah, mengemukakan bahwa cinta adalah keinginan untuk memberi dan tidak memiliki pamrih untuk memperoleh imbalan. Cinta bukan komoditas, tetapi sebuah kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan. Cinta berarti kemampuan untuk membuka pintu pemaafan serta jauh dari sikap dendam dan benci. Dalam konteks cinta ini, maka peran suara hati sangat penting artinya dan sekaligus merupakan kunci keberhasilan dalam mendidik peserta didik (Hidayatullah, 2010).
Untuk membuat suasana belajar di kelas menyenangkan dan menarik minat peserta didik untuk belajar lebih giat, maka guru harus dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan peserta didik. Karena peserta didik sendiri sebagai manusia yang mempunyai rasa cinta (Idris, 2015).
Bahasa Cinta
Dalam bahasa Paulo Freiere pendidikan adalah art of love. Dia mengatakan bahwa rasa cinta merupakan syarat yang paling utama dalam proses belajar-mengajar. Cinta yang bersumber dari hati akan mampu menjadi salah satu alat yang dapat memicu totalitas seorang guru dalam mengajar (Miftahul, 2012).
Bahasa cinta adalah suatu bentuk sikap dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan menerapkan cinta dalam dunia pendidikan, di mana seorang guru mengajar anak didiknya murni didasari atas perasaan cinta (kasih sayang) untuk menciptakan hubungan yang harmonis (Miftahul, 2012).
Bahasa cinta merupakan salah satu kunci sukses bagi semua guru untuk membangun sebuah hubungan yang indah dengan siswa agar tercipta suasana yang menyenangkan. Seorang guru dapat membangun hubungan yang indah dengan peserta didik jika mau mengakui kesalahan yang pernah dilakukan, memberikan pujian untuk meningkatkan motivasi belajar, memberi kesempatan berpikir kreatif, dan mau menghargai orang lain.
Dengan bahasa cinta, hubungan yang kaku antara guru dan peserta didik akan berubah menjadi hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang. Dengan demikian akan mencetak calon-calon generasi yang unggul di masa mendatang.
Jika tidak tercipta suasana yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar, peserta didik akan bosan dan tujuan penanaman ilmu oleh pengajar tidak akan tercapai. Oleh karena itu, seorang guru harus menggunakan bahasa cinta untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan demi terciptanya keberhasilan proses belajar mengajar dan tercapainya tujuan pembelajaran yang diinginkan (Idris, 2015).
Beberapa jenis bahasa cinta : pertama, bahasa cinta kata-kata pendukung. Kata-kata bisa diibaratkan sebilah pisau bermata dua. Satu sisi bisa untuk membantu, tapi di sisi lainnya bisa mencelakai. Dalam kehidupan sehari-hari, pendidik bisa membuat anak merasa dicintai atau bisa membuatnya merasa dibenci dan diabaikan hanya dengan berkata-kata (Ariesandi, 2008). Kedua, kata-kata pujian. Setiap anak, juga orang dewasa menyukai pujian. Lebih-lebih jika bahasa cinta dominan seorang anak adalah kata-kata pujian, maka ini akan menjadi makanan emosionalnya (Wibowo, 2012). Ketiga, kata-kata dorongan yang membesarkan hati. Kata-kata dorongan sangat perlu diucapkan saat anak mengalami kegagalan, situasi sulit, atau krisis percaya diri yang dengan kata-kata tersebut anak akan merasa punya keberanian lebih untuk melanjutkan upayanya. Contoh, “Bagus coba lagi, kamu pasti bisa, Nak!” (Wibowo, 2012). Keempat, kata-kata penghargaan. Seorang guru yang dicintai oleh anak didiknya adalah yang bisa memberikan penghargaan kepada anak didiknya. Namun, penghargaan yang diberikan tidak harus bermakna penghargaan yang berupa materi atau pemberian hadian berupa barang (Azzet, 2013). Kelima, kata-kata bimbingan. Kata-kata bimbingan menjelaskan suatu hal pada anak. Biasanya menjelaskan tentang moral, etika, dan nilai-nilai hidup. Kata-kata bimbingan yang positif seperti “Saya peduli padamu, Nak!”. Dengan begitu anak akan respek kepada kita sebagai guru yang penuh perhatian dan peduli padanya (Wibowo, 2012).
Cinta dan Kelembutan sikap
Pendidikan yang dilandasi oleh cinta memiliki dampak yang mendalam pada perkembangan anak. Cinta adalah perasaan kasih sayang, perhatian, dan kepedulian yang tulus terhadap anak. Ini adalah cinta tanpa syarat, yang tidak tergantung pada prestasi atau perilaku anak. Ketika anak merasakan bahwa mereka dicintai, mereka akan merasa aman, dihargai, dan didorong untuk tumbuh dan berkembang.
Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap. Kelembutan akan melahirkan cinta, dan perasaan cinta akan semakin merekatkan hubungan antara guru dengan siswanya. Bila seseorang mencintai sesuatu, pasti ia akan berperilaku lembut terhadap sesuatu yang dicintainya tersebut. Jika siswa selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan guru, maka siswa akan meyakini bahwa gurunya memang mencintai mereka. Hampir semua guru berkeinginan untuk mencintai dan dicintai siswanya. Namun tidak semua guru berhasil melakukannya. Kiat-kiat untuk melembutkan hati guru: pertama, jangan pernah ragu menyatakan “aku juga mencintaimu” terhadap siswa. Menurut Gary Chapman, semua tingkah laku anak adalah “bahasa cinta.” Dari tingkahnya yang beraneka rupa, anak mengharap respon positif dari orang dewasa. Oleh karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa menstempel/cap hitam terhadap anak yang bertingkah polah negatif, tetapi segeralah kita menangkap pesan cinta dari anak tersebut. Di sinilah muasal hati menjadi lunak dan lembut. Kedua, nyatakan “aku hadir demi kamu.” Jika guru menganut filsafat ini maka, bagaimanapun karakter siswa yang dihadapi, guru akan mampu menerima dan menghadapinya dengan bijak. Ketiga, nyatakan “akulah sahabatmu.” Apabila ada teman yang selalu setia bersama kita di kala susah atau senang, maka dialah teman sejati. Guru jangan jadi model “polisi” yang akan menjadi teman dinas bagi siswanya. Sebagai teman sejati guru harus mampu menciptakan komunikasi “pemecah es” untuk memecahkan kebekuan suasana dalam berinteraksi dengan siswa (Diana Safitri, 2020).
Guru sebagai sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Menurut Rudolf Dreikurs, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru untuk mengembangkan sekolah ramah anak. Pertama, jadilah guru yang tidak lagi bertindak sebagai penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi bertindaklah sebagi pembimbing kelas atau mata pelajaran; kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara; ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti dengan ajakan; keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa; kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan pemberian motivasi terhadap anak sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi pemberian stimulus; dan keenam, jauhkan sikap guru yang ingin”menguasai”siswa karena sikap yang lebih baik ialah mengendalikan siswa. Hal yang terungkap bukan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian dan kepercayan diri siswa (Yuliagusti, 2022).
Nuansa ”Loving and Caring”
Ketegasan seorang guru sangat diperlukan dalam pembelajaran. Namun mendidik siswa harus penuh nuansa ”loving and caring.” Cinta dan kepedulian pada siswa perlu diekspresikan agar suasana pembelajaran menjadi hangat. Suasana kehangatan seperti di dalam keluarga harus dapat diciptakan guru. Dalam sikap yang membangun motivasi siswa sangatlah diharapkan. Bahasa tubuh seperti eye contact (kontak mata), senyum, dan gerak tubuh, ekspresi wajah menunjukkan sikap persahabatan. Selain itu intonasi suara, volume suara, dan humor juga sangat penting untuk menunjukkan cinta dan perhatian guru pada siswa.
Guru yang altruistik pasti mengajar dengan cinta. Cinta adalah sebuah kata yang memiliki makna yang sangat luas. Bila kita menanyakan definisi tentang cinta kepada setiap orang, maka akan didapatkan beragam pengertian dan definisi tentang cinta.
Definisi yang paling umum dan popular di kalangan masyarakat, “cinta adalah keseimbangan dalam menerima (to take) dan memberi (to give)”. Definisi itu ingin menjelaskan bahwa di dalam kamus cinta berlaku sebanyak apapun harapan yang kita terima dari yang dicintai tergantung sejauhmana kita memberi sesuatu kepadanya. Namun, pengertian cinta yang mendahulukan menerima (to take) daripada memberi (to give) dalam kenyataannya seringkali tidak seimbang. Bahkan boleh jadi kita lebih banyak menerima ketimbang memberi. Sehingga di kalangan muda-mudi ada pemeo, “ada uang abang kusayang, tak ada uang abang kutendang.”
Cinta bagaikan energi yang mampu memompa semangat dan memotivasi. Jika seorang anak mendapatkan cinta yang maksimal maka anak akan merasa bahagia (terlihat penuh semangat) dan mudah diajak kerja sama, serta mudah diarahkan untuk mencapai potensi diri yang terbaik (Wibowo, 2012).
Kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yang dituju dan diusahakan, dengan tanpa merasa berat dan sulit untuk mencapainya, karena segala sesuatunya dilakukan dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (Muhammad, 2002).
The Art of Loving-nyaErich Fromm
Eric Fromm dalam bukunya ”The Artof Loving” tentang filsafat cinta mengatakan indikator orang yang memiliki cinta yang murni adalah apabila ia sudah memenuhi lima rukun cinta, yaitu: pertama, siap menerima; kedua, siap memperhatikan; ketiga, siap menghargai; keempat, siap mendukung; dan kelima, siap memberi peluang untuk berkembang.
Dari kelima indikator tersebut, ternyata hanya orang tua saja yang mampu mengaplikasikannya. Oleh karena itu, dalam mendidik anak ternyata penanaman rasa cinta dalam diri orang tua terhadap anak sangatlah diutamakan. Karena cinta akan menjadi dasar dan motivasi bagi orang tua dalam mengembangkan kepribadian seorang anak.
Jika kita mau mengintrospeksi diri, kita cenderung mencintai dengan cara yang kita anggap baik, bukan menyesuaikannya dengan kebutuhan dari yang kita cintai. Akhirnya kita menganggap telah melakukan banyak hal untuk yang kita cintai. Sementara kita merasakan bahwa pengorbanan kita tidak dihargai dan kita tidak mendapatkan yang diharapkan dari yang kita cintai. Hal ini sebenarnya dapat dihindari jika kita mencintai secara produktif dan altruistik, sebagaimana dikemukakan Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog asal Jerman, dalam bukunya The Art of Loving.
Menurut Erich Fromm, cinta mengandung unsur kepedulian (care), tanggung jawab (responsibility), respek (respect), dan pengenalan (knowledge). Dalam pandangan Fromm, cinta tidak pasif melainkan aktif bertindak. Sebuah contoh sederhana adalah kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mencintai bunga jika kita tidak menyiramnya. Karena cinta yang peduli dan bertanggung jawab adalah cinta yang memberi tanpa berharap untuk mendapat balasan.
Erich Fromm menambahkan, cinta dasarnya adalah memberi. Memberi adalah ungkapan kemampuan atau potensi yang paling tinggi. Dengan melihat orang yang dicintai bahagia tumbuh dan berkembang secara fisik, psikis dan spiritual, maka kita pun akan bahagia. Bahagia semacam ini muncul karena kita merasa mampu dan berarti bagi orang lain. Menurut Fromm, cinta yang berprinsip take and give bukanlah cinta sejati, tetapi cinta dagang. Itulah sebabnya konsep cinta yang ditawarkan Fromm disebut sebagai cinta yang altruistik.
Cinta altruistik ditandai dengan adanya perhatian, keinginan untuk selalu memberikan sesuatu, dan selalu siap menerima dan memaafkan kesalahan atau kekurangan yang dicintainya. Cinta diartikan sebagai suatu tugas yang harus dilakukan tanpa pamrih.
Bentuk cinta ini diungkapkan melalui pengorbanan diri, kesabaran dan rasa percaya terhadap orang yang dicintai.
Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah contoh dari cinta altruistik. Betapapun besarnya pengorbanan, demi kecintaan pada buah hatinya, ia akan senatiasa melakukannya. Tentu saja kecintaan itu tidak memiliki pamrih sekecil apapun.
Begitu juga cinta seorang guru terhadap tugasnya dan cinta terhadap muridnya. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah pekerjaan mulia dalam rangka mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik, maka pengorbanan bagi seorang guru adalah keniscayaan. Walaupun, seringkali pengorbanan yang dilakukannya itu tidak sebanding dengan apa yang ia terima.
John F. Kennedy, salah seorang Presiden Amerika dalam salah satu pidatonya yang sangat terkenal, mengatakan. “Janganlah Anda bertanya tentang apa yang bisa diberikan Amerika kepada anda, tetapi tanyalah tentang apa yang bisa anda berikan kepada Amerika.“
Pidato itu ingin menyindir rakyat Amerika, terutama kaum mudanya, yang sudah mengalami kemerosotan dalam semangat cinta tanah airnya. Banyak kaum muda yang menolak mobilisasi, berdemonstrasi menentang kenaikan bahan makanan pokok, menolak kenaikan pajak dan lain-lain. Ucapan Kennedy ini menjadi masyhur untuk digunakan menyemangati bangsa agar mau berkorban demi kecintaan pada tanah air.
Cinta Altruistik, Memang Unik
Cinta altruistik memang cinta yang unik. Cinta yang didasari oleh ketulusan. Cinta yang mendatangkan energi kuat untuk melakukan pengorbanan apa saja. Seringkali kita berbuat kebaikan kepada orang lain, tetapi balasannya tidak sebanyak kebaikan yang kita lakukan. Tetapi ingatlah bahwa Tuhan tidak akan pernah luput untuk memberi ganjaran kepada umatnya yang senantiasa berbuat kebaikan. Meminjam kata-kata seorang bijak, “Give to the world the best you have, and the best will comeback to you“. Berikan yang terbaik yang engkau miliki, niscaya yang terbaik pula yang akan engkau terima.
Pestalozzi (Heaford dalam Usman, 2024) menyarankan guru-guru untuk menciptakan kehidupan kelas bagaikan kehidupan hangat dalam keluarga. Guru harus selalu memberikan cinta dan kasih sayang, serta kepercayaan kepada anak didik. Pestalozzi mengatakan bahwa ”without love, neither the physical nor theintellectual powers will develop naturally.” Apabila tidak ada cinta dan kasih sayang, maka kekuatan intelektual dan fisik dalam diri anak tidak akan berkembang dengan alami. Dia memandang bahwa disiplin yang keras dan kaku, seperti yang banyak diterapkan di berbagai sekolah, hanya akan menjauhkan anak didik dari guru, sehingga menghalangi pertumbuhan dan perkembangan alami dan normal, terutama dalam bidang moral dan etika.
Perilaku Altruistik Susah Diwujudkan
Tiga syarat yang meliputi theoretical knowledge, self regulated training and practice, dan authority of clients relatif mudah dipenuhi oleh guru, namun syarat yang keempat yakni community rather than self interest orientation, yang salah satu wujudnya perilaku altruistik susah untuk diwujudkan. Di era materialisme, hanya manusia-manusia pilihan yang mampu menanggalkan motif pribadi dan orientasi materi. Tidak terpenuhinya seluruh syarat profesi menandakan bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, tidak sembarang individu mencapai derajat guru sejati.Yang mudah dicapai baru pada tataran guru administratif. Guru administratif tidak akan memiliki ruh dan ghiroh sebagaimana guru sejati.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tergerusnya altruisme guru. Sebab-sebab itu dapat dilihat sebagai dampak yang sistemik, di sisi lain faktor tersebut berwujud motif pribadi yakni peningkatan kesejahteraan. Dampak yang sistemik utamanya karena faktor aturan yang “memaksa”. Misalnya Ujian Nasional dan portofolio untuk sertifikasi guru yang tidak mudah. Adanya produk-produk peraturan yang tidak mudah untuk dijangkau memaksa guru melakukan”penyesuaian” dengan caranya sendiri. Dan selanjutnya mudah ditebak, reaksi tersebut berpotensi menggerus kapasitas guru sebagai manusia yang baik.
Wilayah pendidikan mestinya wilayah suci yang mengajarkan nilai-nilai luhur yang include dalam setiap materi pelajaran. Azzumardi Azra pernah menyatakan bahwa apa yang dilihat atau yang terjadi di negara adalah apa yang dilihat dan terjadi di sekolah. Carut marut di tanah air adalah proyeksi atas carut marut yang terjadi di sekolah. Lalu siapa yang salah? Gurunya, kurikulumnya, atau sistemnya? Menyalahkan salah satu komponen tidaklah menyelesaikan masalah.
Guru sebagai ujung tombak pembelajaran sejatinya menjadi kunci dalam transfer pengetahuan dan nilai-nilai luhur. Yang menjadi persoalan adalah jika gurunya sendiri tergerus jiwa altruismenya bagaimana dapat menanamkan nilai-nilai luhur tersebut kepada siswanya. Tergerusnya altruisme guru menjadikan pembelajaran hambar, kehilangan elan vitalnya. Yang tercipta hanyalah generasi-generasi kognitif yang (oleh St. Kartono) disebut generasi yang besar kepalanya namun kerdil hatinya.
Altruistik merupakan dorongan atau tekanan dari diri, dan keprihatinan yang sangat (eksklusif) terhadap kesejahteraan orang lain. Ini adalah kebajikan tradisional di banyak budaya, dan aspek inti dari berbagai tradisi agama, meskipun konsep ‘orang lain’ terhadap siapa perhatian harus diarahkan dapat bervariasi antara agama satu dengan agama lainnya. Altruistik adalah kebalikan dari keegoisan. Altruistik dapat dibedakan dari perasaan kesetiaan dan tugas. Altruistik adalah motivasi untuk memberi kepada pihak yang harus diberi, siapa pun kecuali diri sendiri. Sementara tugas berfokus pada kewajiban moral terhadap individu tertentu (misalnya, dewa, raja), atau kolektif (misalnya, pemerintah) . Beberapa orang mungkin merasa baik altruistik dan tugas, sementara yang lain tidak mungkin. Altruistik murni adalah menyerahkan nilai tanpa memperhatikan imbalan atau manfaat yang bisa menyebabkan pengakuan dari orang lain.
Istilah altruistik secara luas juga dapat merujuk kepada suatu doktrin etika yang mengklaim bahwa individu-individu secara moral berkewajiban untuk kepentingan orang lain. Dalam pengertian ini digunakan sebagai kebalikan dari egoisme.
Memberikan sedekah kepada orang miskin sering dianggap sebagai tindakan altruistik dalam banyak budaya dan agama. Altruistik adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti objektivisme berpendapat bahwa altruistik adalah suatu keburukan. Altruistik adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Lawan dari altruistik adalah egoisme.
Altruistik dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruistik memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, Raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dan sebagainya). Beberapa orang dapat merasakan altruistik sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruistik murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Mengajar “Dari”, “Ke” dan “Dengan” Cinta
Mestinya, guru yang mengajar “dari”, “ke” dan “dengan” cinta. Menurut Amir Tengku Ramly (2006), guru yang mengajar dari ke dan dengan dalam cinta memiliki sifat-sifat yang unik yaitu: guru mengajar untuk kebahagiaan; guru mengajar untuk kesadaran; guru mengajar untuk memahami; guru mengajar untuk pembebasan; guru mengajar untuk kompetensi; dan guru mengajar untuk belajar.
Seperti kata Ahmad Fu’adi (Lukas, 2018), “Metode pendidikan boleh canggih, pelajaran boleh hebat, tapi di atas segalanya itu, ruh guru yang bersih dan berdedikasilah yang paling menentukan dalam menyamai generasi terbaik.”
Seorang guru haruslah mempunyai rasa cinta, baik cinta pada profesinya sebagai guru maupun dalam pengajaran, dia harus mengajar penuh dengan rasa cinta pada siswa-siswinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Leblanc (Destia, 2016), inti dari pengajaran dan pendidikan adalah cinta. Dalam hal ini, bisa juga dikatakan, bahwa cinta, di dalam pendidikan, lebih penting daripada penalaran rasional semata. Karena di dalam cinta, ada niat yang dapat mendorong orang untuk belajar, untuk membantu mereka menemukan sendiri pola belajar yang pas, untuk menemukan diri mereka sendiri.
Seorang guru pun harus mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya kepada para siswa, sehingga diharapkan dapat menular kepada para siswa agar dapat mencintai ilmu pengetahuan tersebut dan terus-menerus mau belajar seumur hidupnya (long life education). Demikian juga ketika guru tersebut menjadi pemimpin di kelas mata pelajarannya, dia tidak akan semena-mena terhadap siswanya tapi tetap mengedepankan pengajaran dengan cinta dan pengertian.
Semoga !!!