Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Kecurangan akademik, terutama yang melibatkan oknum pejabat, tidak hanya merugikan sistem pendidikan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Sejumlah kasus kecurangan akademik oleh oknum pejabat yang pernah menggemparkan dunia pendidikan Indonesia, di antaranya : skandal gelar doktor palsu Rektor Universitas Terkemuka; plagiarisme tesis oleh anggota DPR; jual beli ijazah oleh pejabat Pemda; pemalsuan Nilai Ujian Nasional oleh Kepala Dinas Pendidikan; skandal sertifikasi guru oleh Pejabat Kementerian; plagiarisme disertasi oleh calon gubernur; pemalsuan ijazah oleh Bupati; dan masih ada “seribu satu” ragam kecurangan akademik lainnya.
Kumba Digdowiseiso, salah satu guru besar termuda di Indonesia, menarik perhatian komunitas akademisi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Nama Kumba jadi perbincangan karena kasus yang melibatkan dugaan pencatutan nama beberapa dosen internasional dalam publikasi ilmiahnya. Insiden ini terungkap ketika Retraction Watch melaporkan pada tanggal 10 April 2024 bahwa sekelompok dosen dari Malaysia terkejut menemukan nama mereka terdaftar sebagai penulis dalam karya ilmiah milik Kumba. Tercatat, ada 24 akademisi dari Universiti Malaysia Terengganu yang namanya dimasukkan tanpa persetujuan mereka dalam daftar penulis artikel tersebut. Bisa dibayangkan, ada 164 artikel jurnal yang terekspor selama waktu kurang setahun.
Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, mengatakan, tidak masuk akal bisa menerbitkan jurnal sebanyak itu kurang dari setahun. Menurutnya, ada praktik-praktik salah yang disengaja di dalam publikasi itu. Cenderung masuk kategori fraud itu masuk kategori pelanggaran akademik. Sehari bisa membuat satu artikel itu gimana caranya? Ini impossible.
Kita telah menjadi hamba scopus. Kultur pengejaran status di dunia akademik. Kumba telah menulis 679 makalah sepanjang tahun 2023, angka yang mengejutkan dan memicu spekulasi mengenai validitas dari makalah-makalah tersebut. Banyak dari publikasi ini muncul di Journal of Social Science, yang diduga kuat sebagai jurnal predator. Situasi ini membuka mata banyak pihak tentang bagaimana sistem penilaian akademik di Indonesia yang cenderung mendorong praktik tidak sehat demi status dan pengakuan akademik.
Menurut Satria, para akademisi terikat dengan etik. Salah satu yang diatur dalam etika Committee on Publication Ethics (COPE) tersebut adalah jurnal predator. Hal ini sebaiknya jadi perhatian para akademisi agar tak memanfaatkan jurnal predator. Jika tidak, integritas tercederai. Dalam tulisannya, Kumba juga diduga mencatut sederet nama dosen Malaysia. Satria mengatakan apa yang dilakukan oleh guru besar muda Unas itu merupakan pelanggaran berat dari etika akademik.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa kecurangan akademik tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak sistem pendidikan secara keseluruhan (Ardi Bagus Prasetyo, 2025). Menurut teori Academic Dishonesty yang dikemukakan oleh McCabe dan Trevino (1997), kecurangan akademik sering kali dipicu oleh tekanan sosial, kurangnya pengawasan, dan lemahnya penegakan hukum. Di Indonesia, faktor-faktor tersebut diperparah oleh budaya korupsi yang masih mengakar.
Fraud (kecurangan) adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyalahgunakan sesuatu yang bukan milik pribadi (Faradiza dalam Pambudi, 2022). Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) kecurangan adalah suatu tindakan penipuan yang dilakukan oleh pribadi/kelompok dengan tujuan menguntungkan pribadi atau kelompok tersebut (Albrecht, et al., 2012).
Sejumlah pakar menyimpulkan bahwa kasus Kumba Digdowiseiso hanyalah puncak gunung es dalam masalah yang lebih besar di dunia akademik Indonesia, di mana akademisi menjadi budak dari sistem publikasi yang tidak sehat. Perubahan mendesak diperlukan untuk mengembalikan fokus pada penelitian yang bermakna untuk ilmu pengetahuan dan masyarakat, bukan hanya untuk pencapaian status atau keuntungan pribadi.
Terjadi pada Semua Jenjang Pendidikan
Tim peneliti dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya yang terdiri dari 2 Dosen Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya yaitu Rahma Kusumandari, M.Psi., Psikolog dan Dr. Mamang Efendy, S.Pd.,M.Psi, bersama 2 orang mahasiswa yaitu Meininda Rhivent Norhidayah dan Emilia Nur Aini Putri melakukan penelitian tentang ketidakjujuran akademik pada 320 mahasiswa yang tersebar dari seluruh penjuru provinsi se Indonesia dari berbagai jenjang yaitu S1, S2, S3 serta dari PTN dan PTS.
Penelitian dilakukan sejak bulan Agustus sampai dengan Bulan November 2023, sebanyak 320 responden yang terlibat dalam penelitian ini direkrut melalui pengumuman di media sosial yang kemudian diminta untuk mengisi intrument penelitian yang dikemas secara online melalui gform. Penelitian ini dilakukan berangkat dari permasalahan yang tengah ramai terjadi dalam dunia akademik, sejumlah laporan mengenai praktik kecurangan akademik atau ketidakjujuran akademik banyak terjadi di berbagai jenjang pendidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakjujuran akademik terjadi pada pendidikan Sekolah Dasar (Fredrika & Prasetyawati, 2013), Sekolah Menengah Pertama (Lestari & Asyanti, 2015), Sekolah Menengah Atas (Ungusari & Lestari, 2015), dan Peguruan Tinggi (Herdian & Wulandari, 2018). Pada tingkat pendidikan tinggi, ketidakjujuran akademik juga terjadi misalnya perilaku menyontek, mengklaim karya akademik orang lain sebagai miliknya, plagiasi, menjiplak, dan kerjasama yang tidak sah (Shmeleva, 2016; Jensen et al. 2002; Maramark & Malina, 1993; Colnerud & Rosander, 2009).
Kasus ketidakjujuran akademik ini terjadi di berbagai belahan dunia. Meningkatnya kasus ketidakjujuran akademik di seluruh dunia menimbulkan kekhawatiran besar bagi semua negara. Kasus ketidakjujuran akademik yang berkembang di seluruh dunia menjadi perhatian serius bagi tiap negara karena sangat berdampak pada pelanggaran-pelanggaran moral dan perilaku sosial yang tidak baik lainnya (Mamang Efendy, 2023).
Eastman, dkk. (Indriani, 2019) menyatakan bahwa ada 4 bentuk kecurangan akademik. Pertama, cheating, merupakan suatu bentuk kecurangan yang dilakukan oleh seseorang dalam bidang akademik seperti mencontek teman lain pada saat ujian, membawa catatan yang berisi materi ujian ke dalam ruangan, membantu teman lain berlaku curang pada saat ujian (contohnya: menjadi perantara antar teman untuk saling bertukar jawaban). Kedua, seeking outside help, merupakan salah satu bentuk kecurangan dalam bidang akademik dengan cara mencari bantuan dari luar, contohnya seperti; mencari informasi mengenai materi ujian kepada teman lain yang sudah melakukan ujian, memberi tahu teman lain mengenai materi yang akan diujikan, mencontek tugas individual milik teman lain. Ketiga, plagiarism, yaitu suatu penjiplakan atau pengambilan karangan milik orang lain dan mengakuinya sebagai karyanya sendiri. Contohnya seperti; tidak mencantumkan sumber pada setiap tugas yang dibuat, tidak mengubah sama sekali kutipan yang diambil dari sumber untuk tugas atau karyanya, mengakui tugas orag lain sebagai tugasnya sendiri, menggunakan tugas teman lain untuk dijadikan tugasnya. Keempat, electronic cheating, merupakan suatu bentuk kecurangan yang dilakukan seseorang dengan menggunakan media elektronik seperti; meggunakan telepon genggam untuk saling bertukar jawaban pada saat ujian, menggunakan kamus elektronik pada saat ujian bahasa Inggris walaupun peraturannya tidak memperbolehkan membawa kamus atau media apapun sebagai alat bantu.
Lin & Wen (2007) juga membagi empat area dalam kecurangan akademik di antaranya : pertama, cheating on test; kedua, cheating on assigment; ketiga, plagiarism; dan keempat, falsifying document.
Pemicu Academic Fraud
Kecurangan akademik (academic fraud) merupakan kecurangan yang sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kecurangan ini terjadi bisa dilakukan oleh mahasiswa, karyawan ataupun oleh kalangan pendidik dengan secara sadar dan sengaja demi memperoleh keuntungan diri sendiri atau kelompok.
Donnald E. Cressey (Tuanakotta, 2010) mengemukakan suatu gagasan mengenai penyebab terjadinya kecurangan, gagasan tersebut dinamakan sebagai Fraud Triangle theory. Teori ini menjelaskan faktor yang melatar belakangi penyebab terjadinya kecurangan, yaitu: pertama, opportunity. Opportunity biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian internal di organisasi tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau kelompok yang sebelumnya tidak memiliki motif untk melakukan fraud. Kedua, pressure. Pressure atau tekanan pada sesorang akan membuat mereka mencari kesempatan melakukan kecurangan. Beberapa contoh pressure dapat timbul karena masalah keuangan pribadi, dan sifat-sifat buruk seperti: berjudi, narkoba, berhutang berlebihan dan tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis. Ketiga, rationalization. Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktivitasnya yang mengandung fraud. Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang merupakan haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena merasa rekan kerjanya juga melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas tindakan fraud tersebut.
Gone Theory dikemukan oleh seorang pemikir bernama Bologne (Zulkarnain, 2013) di mana terdapat empat faktor penyebab fraud. GONE merupakan singkatan dari huruf depan masing-masing faktor yang ia kemukakan, yakni: pertama, Greed (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang; kedua, Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya; ketiga, Need (kebutuhan), berkaitan dengan faktor‐faktor yang dibutuhkan oleh individu‐individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar; dan keempat, Exposure (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
Mengutip Pratiwi dan Munari (2024), ada enam elemen dalam fraud hexagon yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalization), kemampuan (capability), arogansi (arrogance), dan kolusi (collusion).
Pertama, tekanan (pressure). Dorongan atau tekad untuk mencapai keinginan yang ingin dicapai, tetapi terbatas oleh ketidakmampuan untuk mencapainya (Albrecht, et al. dalam Hendra & Deviani, 2022). Karena dorongan dan tekad ini, seseorang dapat melakukan kecurangan. Faktor-faktor seperti tekanan keuangan, tekanan atas kebiasaan buruk, tekanan pekerjaan, tekanan keluarga, tekanan pendidikan, dan tekanan waktu adalah beberapa contoh tekanan ini. Menurut Pratiwi & Putra (2023) semakin tingginya tekanan, maka semakin besar pula kemungkinan perilaku kecurangan akademik akan terjadi.
Kedua, kesempatan (opportunity). Menurut Fuad (Alfian, et al., 2021) opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu tindakan kecurangan terjadi. Biasanya tindakan kecurangan ini terjadi karena pengendalian internal di lingkup perguruan tinggi yang lemah, kurangnya pengawasan dan penyalahgunaan wewenang. Opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
Ketiga, rasionalisasi (rationalization). Menurut Albrecht dkk. (Hendra & Deviani, 2022), rasionalisasi adalah suatu tindakan di mana individu memberikan alasan untuk kecurangan yang mereka lakukan. Faktor-faktor seperti keserakahan, keegoisan, dan keinginan yang besar akan kekuasaannya adalah beberapa yang sering digunakan. Dalam konteks kecurangan akademik terhadap mahasiswa misal, tindakan “rasionalisasi” (rationalization) dalam fraud pentagon merujuk pada tindakan rasionalisasi ini dapat terjadi karena proses mental di mana individu merasa dapat membenarkan perilaku tidak jujur mereka dengan alasan-alasan yang seolah-olah masuk akal, seperti “semua orang melakukan itu” atau “saya butuh nilai tinggi untuk masa depan saya, sehingga mereka menganggap tindakan curang yang mereka lakukan tidak merasa bersalah.
Keempat, kemampuan (capability). Kemampuan teknis atau keterampilan yang dimiliki individu untuk melakukan kecurangan, seperti kemampuan menjiplak dengan cepat atau menggunakan teknologi untuk mencontek. Menurut Agustin & Achyani (2022), kemampuan (capability) adalah keterampilan individu yang berperan penting dalam menentukan apakah kecurangan benar-benar dapat terjadi. Dalam konteks kecurangan akademik terhadap mahasiswa, kemampuan (capability) dalam fraud pentagon merujuk pada pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa untuk melakukan kecurangan secara efektif tanpa terdeteksi.
Kelima, arogansi (arrogance). Arogansi (arogance) menurut Horwarth (Hendra & Deviani, 2022) adalah sikap yang mencerminkan kesombongan dan tidak memiliki hati nurani untuk dirinya. Oleh karena itu, sikap tersebut pelaku merasa bahwa dirinya paling berkuasa, dan memiliki peran penting dibandingkan orang lain. Dalam konteks kecurangan akademik terhadap mahasiswa, “arogansi” (arrogance) dalam fraud pentagon merujuk pada sikap sombong dan merasa dirinya superior (Sari, 2022), sehingga mahasiswa merasa berhak atau kebal terhadap konsekuensi dari tindakan curang mereka.
Keenam, kolusi (collusion). Menurut Vousinas (2019), kolusi mengarah pada kesepakatan untuk melakukan penipuan antara dua orang atau lebih, hal ini dari satu pihak melibatkan pihak lain dengan tujuan yang merugikan. Individu yang terlibat dalam kolusi sering memiliki sifat persuasif atau mampu mempengaruhi orang lain, yang diikuti dengan rendah dan tingginya tingkat integritas dan kemampuan. Dengan demikian, penelitian Nailah & Murtanto (2023) menunjukkan bahwa kolusi mampu mempengaruhi kecurangan akademik. Selain itu, penelitian lain dilakukan Jamilah, et al., (2023) juga menunjukkan adanya pengaruh kolusi terhadap kecurangan akademik. Maka diperoleh H6 yaitu kolusi dapat mempengaruhi kecurangan akademik.
Pemicu lainnya adalah efikasi diri. Menurut Bandura (Mawaddah, 2019), efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang akan kemampuan-kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu hal. Efikasi diri merupakan penilaian terhadap kemampuan diri seseorang. Disebutkan bahwa efikasi diri mengacu pada harapan yang dipelajari seseorang bahwa dirinya mampu melakukan suatu perilaku ataupun menghasilkan sesuatu yang diharapkan dalam suatu situasi tertentu (Schunk dalam Suseno, 2009). Menurut Pajares (Imriani, 2022), efikasi diri adalah penilaian terhadap kompetensi diri dalam melakukan suatu tugas khusus dalam konteks yang spesifik. Selanjutnya efikasi diri diartikan dengan fokus pada kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan sejumlah tugas dengan sukses. Locke, dkk. (Suseno dalam Khiyaroh, 2024) mengatakan bahwa efikasi diri yang tinggi akan menumbuhkan rasa percaya diri akan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas.
Membangun Kejujuran Akademik
Kejujuran akademik adalah perilaku benar dalam berkata dan melakukan segala pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan akademisi. Ada tiga urgensi kejujuran akademik, yaitu: 1) aspirasi moral dan agama, 2) menuntut kepuasan dan kenyamanan hati nurani, 3) memelihara sistem kehidupan manusia dan alam semesta. Ketiga landasan inilah yang menjadi fondasi seseorang untuk berperilaku jujur, khususnya di dalam bidang akademik (Citra Anggun Dwi Martha dan Yustanti, 2013).
Membangun kejujuran akademik tidak dapat dilakukan dengan memberikan nasehat saja, melainkan dengan pembiasaan dan latihan-latihan. Contoh kecilnya dengan mengadakan kantin kejujuran dan tempat penampungan barang temuan.
Masalah kejujuran akademik adalah masalah kesadaran moral. Oleh karena itu, sanksi utama pelanggaran kejujuran akademik adalah hukuman moral. Namun, akibat pelanggaran kejujuran akademik tersebut telah menyentuh hukum pidana, maka suatu komunitas pendidikan perlu merumuskan suatu indikator pelanggaran kejujuran akademik dan sanksi-sanksinya di dalam sebuah peraturan yang tertulis jelas.
Usaha membangun kejujuran akademik yang lebih pasnya menurut Citra Anggun Dwi Marthadan Yustanti (2013) sebagai berikut. Pertama, pemahaman makna dari kejujuran. Proses pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman makna kejujuran setidaknya mengandung: a) penyampaian indikator kejujuran dengan jelas, b) mengajak peserta didik untuk menghayati makna kejujuran dan memikirkan mengapa ia harus berperilaku jujur, c) melakukan evaluasi dan refleksi kejujuran akademik. Melalui pembelajaran semacam ini diharapkan peseta didik akan menjadi orang yang selalu berpikir setiap melakukan. Cara kasarnya siswa bukan hanya mendapatkan teori saja, melainkan aplikasinya.
Kedua, menciptakan situasi yang baik terhadap tumbuhnya sikap jujur. Teknik untuk menciptakan situasi yang baik adalah dengan menyediakan sarana pendukung tumbuhnya sikap jujur, seperti; kantin kejujuran, tempat penampung barang temuan, dan memberikan reward kepada setiap orang yang telah berperilaku jujur dalam pengabdiannya.
Ketiga, keteladanan baik. Tahu tidaknya anak, mengerti sifat jujur dan berbohong adalah hasil peniruan dari apa yang dia lihat dan ia mengerti. Oleh karena itu, suatu komunitas pengelola pendidikan perlu memberikan pelayanan yang bebas dari kebohongan dan menjunjung tinggi azas kejujuran. Jadi sangat perlu sekali orang tua dan seorang pendidik mendampingi dan memberi pengertian yang dalam bagi anak atau peserta didik, sehingga pada dewasa nanti anak menjadi anak yang benar-benar tahu makna dari kejujuran.
Keempat, membangun sikap terbuka. Suatu komunitas pendidikan semestinya membangun budaya keterbukaan di lembaga pendidikannya. Baik ia dalam hal laporan pertanggung jawaban anggaran kegiatan, teknik pelayanan sekolah, peraturan-peraturan sekolah, serta jalinan komunikasi antara pendidik, peserta didik, dan tenaga pendidik. Dengan membangun sikap keterbukaan ini diharapkan peserta didik merasa bahwa ia tidak dapat berbuat semaunya sendiri karena keberadaannya telah diikat oleh berbagai peraturan-peraturan tertentu.
Kleima, memberikan sanksi sampai efek jera. Sanksi atau hukuman pelanggaran kejujuran akademik harus dicantumkan dengan jelas dan rinci di dalam sebuah peraturan instasi. Dewasa ini, pelaku pelanggaran mendapatkan sanksi atau hukuman yang berlebihan, tetapi tidak memberikan pengaruh besar bagi pelaku pelanggaran kejujuran alias tidak kapok. Oleh karena itu, suatu instasi pendidikan harus pandai menciptakan aturan bagi pelaku pelanggaran sampai efek jera dan lebih penting menjadi lebih tahu makna dari kejujuran. Hal ini dapat dilakukan dengan contoh-contoh, penegasan, pemahaman, pembelajaran yang bermakna.
Keenam, selalu berusaha untuk ingat pada sang kholiq. Tidak ada kata bahwa seseorang akan melakukan tindak kriminal jika dia ingat Sang Kholiq, melainkan orang akan melakukan tindak kriminal karena dia jauh dari Sang Kholiq. Itu yang paling terpenting dari hidup untuk menjadi perisai menghindari sifat-sifat tercela salah satunya adalah kebohongan.
Kecurangan Akademik
Colby (2006) menyatakan bahwa di Arizuna State University kategori kecurangan akademik dibagi menjadi lima kategori seperti yang dipublikasikan oleh Arizuna State University Integrity Advocates. Kategori tersebut adalah: pertama, plagiat (menggunakan kata-kata atau ide orang lain tanpa menyebut atau mencantumkan nama orang tersebut, dan tidak menggunakan tanda kutipan dan menyebut sumber ketika menggunakan kata-kata atau ide pada saat mengerjakan laporan, makalah dari bahan internet, majalah, koran, dan lain-lain. Kedua, pemalsuan data, misalnya membuat data ilmiah yang merupakan data fiktif. Ketiga, penggandaan tugas, yakni mengajukan dua karya tulis yang sama pada dua kelas yang berbeda tanpa izin dosen/guru. Keempat, menyontek pada saat ujian (menyalin lembar jawaban orang lain, menggandakan lembar soal kemudian memberikannya kepada orang lain, dan menggunakan teknologi untuk mencuri soal ujian kemudian diberikan kepada orang lain atau seseorang meminta orang lain mencuri soal ujian kemudian diberikan kepada orang tersebut. Dan kelima, kerja sama yang salah (bekerja dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas individual, dan tidak melakukan tugasnya ketika bekerja dengan sebuah tim).
Perilaku tidak jujur lain dalam konteks pendidikan (Anonim, 2013) antara lain: pertama, plagiarisme (plagiarism). Sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata, dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan nara sumbernya. Kedua, plagiarisme karya sendiri (self plagiarism). Menyerahkan/mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang berbeda tanpa ijin atau tanpa memberitahu guru yang bersangkutan. Ketiga, manipulasi (fabrication). Pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun.
Keempat, pengelabuan (deceiving). Memberikan informasi yang keliru, menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya, memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali belum menyerahkannya. Kelima, menyontek (cheating). Berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru. Dan keenam, sabotase (sabotage). Tindakan untuk mencegah dan menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di perpustakaan, ensiklopedi, dll, atau secara sengaja merusak hasil karya orang lain.
Guru dan Kejujuran Akademik
Kecurangan menjadi salah satu fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan, karena tindakan ini dilakukan dengan tindakan yang tidak jujur atau curang untuk memperoleh hasil maksimal dan kesuksesan dalam bidang akademik (Tonasa & Setyorini, 2019). Dalam lingkup pendidikan tindakan kecurangan akademik salah satu masalah yang begitu serius. Kecurangan akademik juga menjadi masalah besar yang dapat mengakibatkan pelanggaran etika profesi untuk masa depan dalam dunia kerja (Dewi & Pertama, 2020).
Keluasan guru dalam membangun budaya (tradisi) kejujuran di lingkungan akademiknya, bisa dilihat dengan tugas utama seorang guru yaitu: 1) Mendidik, dalam perspektif ini pentingnya guru mengembangkan keterpaduan kualitas manusia (anak didiknya) pada semua dimensinya yang merupakan manifestasi dari iman, ilmu, dan amal; 2) Mengajar, dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan guru dalam membimbing, membantu dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman belajar. Posisi ini sangat memungkinkan bagi guru untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti dengan terus melakukan pembinaan tingkah laku (behavior) dan akhlak mulia sebagaimana penjabaran dari sifat shidiq (jujur), pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai perwujudan dari sifat fathonah (kecerdasan), pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang sebagai penjabaran dari sifat amanah (kredible), dan kemudian pembinaan keterampilan kepemimpinan (leadershif skill) yang visioner dan bijaksana sebagai bentuk penjabaran dari tabligh. 3) Melatih, dalam konteks ini seorang guru mempunyai tanggung jawab yang luas melatih keterampilan dan kecakapan kepada peserta didiknya, yang diwujudkan dengan bentuk konkret dalam proses kehidupan sehari-hari, misalnya melatih kedisiplinan, kejujuran, baik perkataan maupun perbuatan (tindakan) kepada peserta didiknya, dan tentunya adalah keteladanan (contoh) yang ditunjukkan oleh sikap disiplin dan kejujuran, artinya sikap dari dirinya sendiri (guru), utamanya disiplin dalam mengajar, kejujuran dalam perkataan, perbuatan dan tindakan. 4) Menilai dan mengevaluasi, proses ini sangat penting karena menyangkut kepribadian anak didik, sebab dikhawatirkan jika penilaian dan pengevaluasian dilatarbelakangi suka tidak dan tidak suka, maka penilaian serta evalausi sudah tidak obyektif dan tentu yang dirugikan adalah peserta didiknya. Sehingga kemudian seorang guru memastikan dalam proses penilaian harus mengedepankan nilai obyektifitas dan kejujuran, karena ini menyangkut masa depan anak didiknya. Jika guru sudah tidak obyektif dan jujur dalam penilaian dan pengevaluasiaan, maka sesungguhnya guru sudah membunuh karakter anak bangsa dan merusak tatanan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung (Yanuri, 2013).
Untuk dapat memfasilitasi dan mempromosikan kejujuran akademik, kita perlu tahu apa yang membuat orang berbuat jujur. Dari hasil riset Green dan Paxton (2009) disimpulkan bahwa orang jujur karena absennya godaan (temptation), bukan karena orang dengan kehendaknya berusaha mengatasi godaan. Lebih jauh lagi dapat disimpulkan bahwa orang jujur adalah orang yang terbiasa membebaskan dirinya dari godaan.
Sifat adalah sistem neuropsikis dengan kapasitas untuk merajut berbagai stimulus yang setara secara fungsional serta memulai dan memandu tampilnya bentuk-bentuk tingkah laku adaptif dan ekspresif (Allport dalam Usman, 2024). Sifat memandu tingkahlaku konsisten. Pembentukan sifat pada diri seseorang terkait dengan proses adaptasinya dengan lingkungan. Dari definisi sifat, dapat kita pahami bahwa pembentukan sifat, termasuk sifat jujur, melibatkan pembiasaan, sosialisasi, keteladanan, relevansi sifat dengan tuntutan lingkungan, dan pemaknaan aktif terhadap sifat yang hendak dibentuk. Dalam konteks psikologi moral, kejujuran, juga kejujuran akademik bukan hanya diperlakukan sebagai sifat, melainkan juga sebagai nilai moral yang harus dipegang kuat oleh anggota masyarakat.
Fasilitasi dan Promosi Kejujuran Akademik
Fasilitasi dan promosi kejujuran akademik di universitas perlu dilakukan secara komprehensif, sistematik dan berkelanjutan. Donald L McCbe dan Gary Pavela (1997) mengajukan 10 Prinsip Integritas Akademik yang sekaligus mencakup usaha-usaha memfasilitasi dan mempromosikan kejujuran akademik. (1) Mengafirmasi pentingnya integritas akademik, (2) Mengedepankan kacintaan terhadap pembelajaran, (3) Memperlakukan mahasiswa sebagai tujuan pada dirinya sendiri, (4) Mempromosikan lingkungan yang saling percaya di dalam kelas, (5) Mendorong mahasiswa memiliki tanggung jawab atas integritas akademik, (6) Memperjelas apa yang diharapkan dari mahasiswa, (7) Mengembangkan asesmen yang adil dan relevan, (8) Mengurangi kesempatan untuk terlibat dalam ketidakjujuran akademik, (9) Menentang dan menindak keras ketidakjujuran akademik ketika itu terjadi, (10) Membantu mendefinisikan dan mendukung standar integritas akademik yang berlaku di kampus. Lebih jauh lagi, untuk memfasilitasi kejujuran akademik, universitas, melalui fakultas-fakultasnya, perlu memiliki kode kehormatan yang harus dipatuhi oleh civitas akademikanya. Kode kehormatan di universitas dapat dimodifikasi berdasarkan perkembangan situasi yang terjadi di kampus dan situasi lain yang relevan dengan kehidupan akademik.
Lawan dari kejujuran akademik yakni kecurangan akademik (academic cheating). Lambert, Hogan dan Barton (2003) dalam penelitian yang dilakukannya menyebut kecurangan akademik (academic cheating) dengan istilah academic dishonesty. Lambert, Hogan dan Barton (2003) menyatakan bahwa kecurangan akademik sangat sulit untuk didefinisikan secara jelas. Kibler (Lambert dan Barton, 2003) menambahkan bahwa salah satu masalah yang signifikan dalam review literatur masalah kecurangan akademik adalah tidak adanya definisi yang umum.
Von Dran, Callahan, dan Taylor (Lambert dan Barton, 2003) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai intensitas perilaku yang tidak beretika. Sedangkan menurut Deighton (Irawati, 2008), kecurangan akademik adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur. Kecurangan akademik juga dapat diartikan sebagai perilaku yang dilakukan oleh pelajar dengan sengaja, meliputi beberapa bentuk perilaku seperti pelanggaran terhadap aturan dalam penyelesaian tugas dan ujian, memberikan keuntungan kepada pelajar lain dalam mengerjakan tugas atau ujian dengan cara yang tidak jujur, dan pengurangan keakuratan yang diharapkan pada performansi pelajar (Cizek dalam Riski, 2009). Hendricks (Riski, 2009) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai bentuk perilaku yang mendatangkan keuntungan bagi pelajar secara tidak jujur termasuk di dalamnya menyontek, plagiarisme, mencuri dan memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan akademik.
Kecurangan akademik adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai yang baik dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik termasuk ujian.
Berdasarkan hasil penelitian tahun 2010 di Amerika Serikat yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa dalam seminggu, orang berbohong terhadap 30% orang lain dalam komunitas. Mahasiswa malah menunjukkan angka 38% jumlah orang yang mereka bohongi. Jadi kira-kira, dari 100 orang yang diajak berinteraksi dalam seminggu, maka ada 38 orang yang telah dibohongi.
Dalam ruang lingkup akademis pada hakikatnya untuk membangun sebuah karakter disiplin dan penempaan moral yang lebih baik, meliputi salah satunya adalah penanaman sikap kejujuran di lingkup akademis. Akan tetapi, nyatanya fenomena ini malah menjadi sebuah dilema yang sudah tidak dapat dipungkiri kembali. Terbukti, diberbagai tingkatan dalam dunia pendidikan sering kita jumpai praktik-praktik ketidakjujuran tersebut. Salah satu bentuk ketidakjujuran yang terdapat di lingkungan dunia pendidikan, khususnya di lembaga pendidikan tinggi kerap dilakukan oleh mahasiswa.
Risiko Kecelakaan Kejujuran
Kecelakaan kejujuran lebih membatin daripada resiko kebohongan. Ketidakjujuran akademik dapat dipengaruhi beberapa faktor (Citra Anggun Dwi Martha dan Yustanti, 2013).
Pertama, berfikir sempit. Dalam pandangan filosofis, ketika pikiran menjadi sempit, maka cakrawala pikirannya akan tertutup untuk mengetahui bahaya yang mungkin diakibatkan perbuatannya sendiri. Sehingga, orang yang memiliki pikiran sempit akan berbuat sesuatu dengan tanpa pertimbangan apapun, kecuali aspek kepentingannya.
Kedua, budaya cinta dunia yang berlebihan. Budaya cinta dunia berlebihan sebagai faktor yang telah dinyatakan Allah SWT di dalam surah Al-An’am/6: 150. Aplikasinya tidak jarang kita saksikan bahwa faktor material dan kepentingan personal atau kelompok telah menutup pintu kesadaran seseorang dari berbuat jujur. Audubillahmindalliq.\
Ketiga, kebiasaan buruk. Kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat Indonesia yang dapat mengikis kejujuran akademik, antara lain kebiasaan meremehkan waktu, suka menunda pekerjaan, tidak memiliki rencana atau target kehidupan yang jelas, kebiasaan pesimis terhadap diri sendiri, canggung menerima perbedaan, suka mengeluh, konsumtif, suka meminta dan tidak biasa berfikir kreatif, mau gampangnya saja dan kurang bisa mempelajari kesalahan. Kebiasaan-kebiasaan buruk ini seharusnya menjadi perhatian para pemegang kebijakan pendidikan dalam mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum pendidikan nasional dan lingkungan masing-masing sekolah.
Keempat, stres menghadapi beban studi yang over loud (terlalu banyak). Stress akibat dari muatan beban studi yang melebihi kemampuan peserta didik. Dalam teori psikologi belajar, stress yang menimpa peserta didik akan berdampak pada penurunan daya serap otak, dan ketika kondisi otak sudah lelah karena memenuhi tuntutan tugas studi yang terlalu berat, maka peserta didik pun tidak bisa berpikir kreatif, sehingga ia pun tergoda untuk mencari alternatif yang lebih mudah, yaitu melalui praktik plagiasi alias jibplak, ngerpek dan sebagainya. Di samping itu, materi yang over loud juga dapat mengubah fungsi materi pelajaran dari fungsi penuntun perkembangan menjadi fungsi penuntut peserta didik untuk menghafal dan mengerjakan berbagai hal yang telah diprogram (sebagaimana layaknya sebuah robot).
Kelima, salah menentukan tauladan yang baik. Kegagalan seseorang dalam menentukan tauladan yang baik. Dewasa ini, sudah kita merasakan krisis teladan baik bagi bangsa kita ini. Salah satu contoh krisis ini adalah bahwa orang tua, dan pendidik sudah tidak mampu memberikan suri tauladan yang baik bagi anak-anaknya ataupun peserta didiknya. Akibatnya, peserta didikpun mengambil teladan dari public figure yang menarik perhatiannya, sedangkan yang diidolakannya itu belum tentu berperilaku baik.
Perilaku ketidakjujuran akademis ini telah banyak terjadi di dalam lingkup pendidikan, mulai dari lingkup sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dengan kadar pelanggaran yang berbeda. Pada masa kini, dalam lingkup akademik, perilaku ketidakjujuran akademis seperti ini dipandang sebagai perilaku negatif yang tidak terpuji.
Abdullah Alhadza (2001) menjelaskan bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab kecurangan akademik yaitu: (1) faktor individual atau pribadi, (2) faktor lingkungan atau pengaruh kelompok, (3) faktor sistem evaluasi, dan (4) faktor guru, dosen, atau penilai.
Semoga Bermanfaat !!!