INIPASTI.COM – Ya, mereka juga yakin, Datu Museng adalah manusia biasa. Kendati sakti, tentu akan kehabisan tenaga jika tak diberi kesempatan melepaskan lelah. Oleh sebab itu, ketika bedilnya tak meletup lagi karena kehabisan, dengan bersorak gemuruh, serdadu-derdadu kompeni bersama lasykar tubarani kawan Tumalompoa, serentak berdiri dari tempat-tempat pertahanan mereka, lalu menyerbu gegap gempita laksana banjir dari hulu sungai yang dahsyat menerjang dan menumbangkan apa saja yang menghalanginya.
Beberapa saat saja Datu Museng sudah dikerubuti lagi. Tubuhnya yang hampir-hampir telanjang karena baju koyak-koyak, kini menjadi sasaran terbuka tikaman keris dan tombak yang membadai. Kendati ia mempertahankan dirinya sekuat tenaga dengan menerjang dan menikam, musuh tak mau lari lagi.
Mayat terus-menerus jatuh. Sepuluh, duapuluh, tigapuluh, empatpuluh…., tapi mereka terus menghantamnya. Bedil tak lagi ditembakkan, tetapi digunakan memukuli kepala panglima perang sakti itu.
Akhirnya, perlawanan Datu Museng perlahan-lahan mengendur. Ia amat lelah, karena tak diberi kesempatan melepaskan letih. Namun ia merasa puas, telah membalaskan dendam isterinya, seperti yang dijanjikannya.
Sekonyong-kosong ia sadar, hari berangsur gelap. Magrib telah di ambang pintu. Batas waktu janjinya untuk menyongsong isterinya telah tiba. Dan benarlah, kini terbentang di hadapannya samudra mega berpancarkan sinar keindahan gilang-gemilang. Maipa Deapati, intan zamrud kesayangannya telah datang menggapai, mengulurkan tangan mengajak berjalan seiring ke tempat yang lama dicita-citakannya.
Didorong keyakinan yang kuat, lebih cinta pada janji dan sumpah terhadap kekasih di seberang — di alam baqa — ia segera mengambil keputusan terakhir: menanggalkan ajimat penjaga diri dari tubuh. Kemudian digapainya Karaeng Galesong dan menyerahkan ajimat itu padanya. “Ambillah ajimat ini, dan laksanakan niat yang terkandung dalam hati saudara. Sekaranglah saatnya aku harus menunaikan janji…”
Ketika ajimat sudah di tangan, Karaeng GaIesong menikam Datu Museng dengan tombak. Dadanya tembus, dan ia jatuh terkulai disambar maut, dijembah mati.
Maka bersoraklah para serdadu kompeni dan lasykar tubarani kawan Tumalompoa karena gembira. Datu Museng yang telah membunuh ratusan teman-teman mereka, kini sudah tewas.
Karaeng Galesong kemudian memisahkan kepala Datu Museng dari tubuhnya, lalu diarak keliling kota, diikuti serdadu dan lasykar tubarani sambil bersorak gembira atas kemenangan ini. Mereka bersukaria, menyanyi sepanjang jalan:
Sampailah kini apa di angan
Bahagia sudah hati tertawan
Sampailah pula cita harapan
Bahagia selalu sepanjang jaman
Tumalompoa dan Jurubahasa girang tak terkira ketika Karaeng Galesong datang menghadap dengan seluruh Lasykar sambil membawa kepala panglima perang Sumbawa itu. Tercapailah satu dari dua keinginannya.
Keinginan yang kedua ialah menguasai isteri Datu Museng yang cantik jelita itu, kini teramat mudah untuk dicapai. Bukankah penghalang satu-satunya hanya Datu Museng seorang? Sekarang penghalang itu sudah disingkirkan. Jalan yang akan dilalui sudah lempang.
Tanpa dapat menahan keinginannya, Tumalompoa memerintahkan Jurubahasa cepat-cepat ke rumah Datu Museng, membawa usungan indah permai, menjemput Maipa Deapati.
Tuan Jurubahasa girang alang kepalang menerima perintah itu. Raga bahagia memenuhi rongga dadanya karena mendapat kesempatan menerima puji-sanjungan dari I Tuan Tumalompoa. Apalagi jika diingat-ingat, dialah Yang pertama-tama akan menyaksikan dari dekat kecantikan wanita yang tersohor itu. “Ah, aku akan memandang puteri molek itu sepuas-puasnya sebelum kuantar ke hadapan Tumalompoa”. Katanya di dalam hati.
Bersambung…
Baca juga: Datu Museng dan Maipa Deapati (105)