INIPASTI.COM – Serangan ke Kota New York dan Washington pada 11 September 2001 lalu telah mendatangkan kehancuran, termasuk bagi puluhan negara-negara dan kota di luar Amerika Serikat. Invasi ke Afghanistan dan Irak yang dilakukan menyusul peristiwa 11 September, dan perang global melawan teror berkepanjangan telah memicu reaksi berantai kekacauan yang terjadi secara kompleks di Afrika, Asia Tengah dan Timur Tengah. Hal itu pada gilirannya menimbulkan efek gelombang balik kekerasan yang membentang dari Amerika Utara dan Eropa hingga ke Asia Tenggara. Sejumlah kecil aksi tunggal yang dilakukan telah mengubah secara fundamental jalannya sejarah.
Begitulah pendahuluan dari ulasan yang dikutip dari situs World Economic Forum, tulisan Parag Khanna dan Robert Mugianto.
Keduanya kemudian melanjutkan bahwa lima belas tahun kemudian, alih-alih merasa lebih aman, yang ada justru perasaan bahwa terorisme kian tak terkendali. Serangan-serangan yang dilakukan kelompok ekstremis di kota-kota besar di Belgia, Prancis, Lebanon, Turki, dan Amerika Serikat membuat dunia dilanda ketegangan. Meskipun sebagian serangan dilakukan oleh penduduk setempat yang dipicu oleh masalah yang sebagian bersifat lokal pula, namun pernyataan tentang motivasi mereka hampir selalu dapat ditelusuri kembali ke jalinan krisis yang terjadi di Timur Tengah. Para pengamat yang merasa terancam berbicara tentang sejenis perang dunia baru yang yang berlangsung di seluruh dunia. Para penganjur demokrasi pun menyerukan agar perbatasan negara ditutup untuk menjaga agar para “calon” teroris tetap berada di luar.
Perang Jenis Baru
Perang gerilya gaya baru ini tidak menggunakan pasukan konvensional, tetapi perang gerilya dengan menggunakan drone dan pasukan counter-teroris di satu pihak dan di pihak perubahan konstelasi organisasi seperti ISIS, Al Qaeda, Boko Haram dan Al Shabab. Metode yang digunakan organisasi tersebut bersifat sangat desentralistik, dengan menggunakan jaringan dan bersifat asimetris. Sasarannya tidak terbatas hanya pada kelompok penduduk tertentu atau, seperti pada masa lalu, hanya menyasar pada situs-situs simbolis saja. Tujuan dari kelompok-kelompok seperti ISIS adalah mengepung suatu kota, dan menutup secara efektif semua akses ke kota tersebut selama mungkin.
Meskipun data statistik yang tersedia tidak akurat, namun tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris jumlahnya mengalami peningkatan. Lebih dari 32.700 orang terbunuh akibat tindakan teroris pada 2014, angka yang lebih besar 80% dibanding tahun sebelumnya. Laporan terakhir mencatat bahwa lebih dari 28.000 orang tewas selama serangan teroris pada 2015 dan bahwa jumlah yang hampir sama agaknya terbunuh pula pada periode 2016. Ada pula yang dengan pasrah menerima anggapan bahwa serangan teror pasti akan melanda negara-negara Barat: pertanyaannya bukan lagi tentang apakah akan ada serangan lain di kota-kota besar, tetapi tentang di mana, kapan, dan seberapa parah serangan itu akan terjadi.
Di Balik Berita Utama
Namun, apakah kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat benar-benar menjadi garis depan baru bagi gerakan jihad global? Atau lebih kontroversial lagi, apakah terorisme benar-benar merupakan risiko utama yang mengakibatkan rapuhnya kota-kota pada abad ke-21? Satu di antara cara menjawab pertanyaan itu adalah dengan memperhitungkan jumlah. Namun, hal itu tidak sejelas itu batasannya sebagaimana terdengar. Kelayakan dan ruang lingkup yang dicakup oleh data tentang kekerasan mematikan itu bermacam-macam, namun data statistik kekerasan di kota-kota merupakan indikator penting dari risiko saat ini dan di masa depan. Bila memandang hal itu dengan cara seperti ini, maka apa yang terjadi di Brussels, Paris, London, Nick dan New York merupakan hal yang terpisah jika dikaitkan dengan terorisme. Betapapun mengerikan serangan yang terjadi di kota-kota tersebut, namun semua itu adalah kejadian yang dapat dianggap sebagai selingan saja.
Database Terorisme Global serta laporan-laporan lain yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah memberikan temuan yang sangat konsisten dalam rentang waktu beberapa dekade terakhir. Sebagian besar insiden teror yang terjadi justru merupakan akibat dari ketidakpuasan luar biasa terhadap situasi politik lokal yang terjadi di beberapa negara saja. Ternyata, kurang dari 3% saja pembunuhan berkaitan teroris yang terjadi di negara Barat dalam 15 tahun terakhir. Hal yang sama juga masih berlangsung pada beberapa tahun terakhir ini, dengan jumlah korban besar-besaran terkonsentrasi di sejumlah kecil kota di Afghanistan, Irak, Nigeria, Pakistan, Somalia dan Suriah.
Ruang lingkup terorisme yang terjadi di enam negara tersebut sungguh menyesakkan nafas. Negara-negara tersebut menjadi tempat beradanya 20 kota yang menjadi target tindakan teroris paling parah di dunia dalam empat tahun terakhir.
Ulasan tindakan terorisme pada lebih dari 2.100 kota memperlihatkan tingkat kematian akibat kekerasan (per 100.000) jauh melampaui perkiraan orang tentang korban di medan perang. Jumlah korban tewas di pusat-pusat perkotaan besar seperti Baghdad, Karachi dan Mogadishu angkanya tersebar luas. Namun, Anda mungkin tidak pernah mendengar berapa jumlah korban yang tewas di sebagian besar kota-kota lainnya.
Mudah diduga bahwa sebagian besar sasaran aksi teror ditujukan pada wilayah padat penduduk, khususnya pasar-pasar, stasiun bus, dan fasilitas umum di perkotaan.
Akan tetapi, rincian tentang statistik terorisme memperlihatkan bahwa terorisme bukan hanya fenomena perkotaan, apalagi hanya terbatas pada kota-kota besar saja. Terorisme juga berkaitan dengan kian maraknya urbanisasi di negara-negara tertentu, dan, yang tak kalah pentingnya, juga berkaitan dengan taktik teroris yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Di Irak, sedikit di bawah 50% dari pembunuhan teroris yang terjadi di kota-kota berpenduduk di atas 250.000 jiwa. DI Suriah, angka tersebut mencapai 70%. Sementara itu, di Afganistan rasio terorisme yang terjadi di perkotaan hanya 10%, sedangkan di India hanya 8%.
Bukan Hanya Terorisme yang Harus Dikhawatirkan
Walau ada buktinya bahwa terorisme itu mengkhawatirkan, namun perlu pula dicatat bahwa terorisme bukan penyebab satu-satunya–bahkan bukan penyebab paling signifikan–dari kematian akibat kekerasan di dunia.
Kematian berkaitan terorisme jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan ruang lingkup dan skala kematian akibat pembunuhan di kota-kota. Antara 400.000 hingga 500.000 orang dibunuh setiap tahun, paling tidak 10 kali lipat lebih besar dibanding jumlah orang yang tewas akibat terorisme. Meskipun peristiwa berkaitan terorisme meningkat tajam di beberapa negara Barat dua tahun terakhir ini, namun jauh lebih banyak lagi orang yang berisiko jadi korban pembunuhan. Hal itu terutama terjadi di kalangan anak muda, kelompok yang mengalami ancaman pembunuhan terbanyak.
Sebagaimana halnya terorisme, banyak lokasi perkotaan di mana orang sangat mudah menjadi korban pembunuhan.
Amerika Latin dan Karibia, misalnya, merupakan tempat tinggal 8% penduduk dunia, namun membukukan 33% tingkat pembunuhan. Dalam skala kota, penduduk di kota-kota di Brasil, Republik Demokratik Kongo, Kolombia, El Salvador, Guatemala, Honduras, Jamaika, Meksiko, Afrika Selatan, Trinidad and Tobago, dan Venezuela adalah kota-kota paling berisiko di dunia. Hal yang mencengangkan adalah 47 dari 50 kota paling rawan pembunuhan di dunia ternyata berada di Amerika Latin.
Apa Arti Semua Itu
Lantas, apa implikasi lebih luas dari napas tilas mengerikan terhadap data kematian akibat kekerasan tersebut? Pertama-tama, data tersebut adalah pengingat bahwa beberapa negara (dan kota) di dunia dalam jumlah relatif tidak terlalu tinggi secara dramatis mengalami ancaman kekerasan teroris dan pembunuhan jika dibandingkan dengan negara atau kota lain. Jelas bahwa investasi lebih besar di bidang diplomasi, manajemen krisis dan pencegahan konflik adalah keperluan mendesak, seiring dengan kerja sama berbagi laporan intelijen antarkota di dunia. Hal itu tentu saja jauh lebih murah ongkosnya–baik secara ekonomis maupun dalam menghindarkan jatuhnya korban jiwa–dibandingkan memperketat keamanan sasaran potensial terhadap serangan asimetris yang tak tentu dari mana datangnya terhadap kota-kota di negara-negara Barat.
Mungkin yang jauh lebih penting adalah data yang menunjukkan bahwa kekerasan akibat pembunuhan adalah masalah yang jauh lebih besar dibandingkan ancaman terorisme. Selain itu, jumlah kota yang tidak banyak itu–sebagian besar berada di Amerika Latin, Karibia dan beberapa bagian Afrika–ternyata mengantongi sebagian besar aksi pembunuhan yang terjadi di seluruh dunia.Jika kekerasan berujung maut hendak dikurangi di wilayah itu, maka isu pembunuhan tersebut harus diprioritaskan oleh pemerintah pusat maupun daerah, disertai fokus untuk mengurangi kesenjangan sosial, terkonsentrasinya kemiskinan, pengangguran kalangan usia muda, dan tentu saja memberantas korupsi dan menghilangkan kekebalan hukum politisi dan penjahat kelas kakap. Melipatgandakan penurunan angka kekerasan di kota-kota paling rawan kekerasan di dunia akan berdampak pada menurunnya beban global untuk mengatasi kekerasan maut.
Pada akhirnya, perlu diingat bahwa wilayah perkotaan yang rapuh memiliki ancaman yang lebih luas yang harus dihadapi dibanding sekadar berfokus kepada prevalensi kekerasan mematikan. Jika kota-kota ingin menjadi lebih kuat–dalam menghadapi, beradaptasi, dan bangkit kembali ketika mengalami guncangan dan tekanan–maka kota-kota tersebut harus berjuang melawan ancaman berskala luas, bukan hanya terorisme dan pembunuhan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik, good governance, dan pengurangan risiko struktural, sosial, dan ekonomi di kota-kota yang memungkinkan meningkatnya ekstremisme dan pembunuhan. Paling tidak, tulisan ini menyiratkan pemikiran kembali peran kota bukan sekadar sebagai lokasi kekerasan, tetapi sebagai pengendali keamanan utama dalam kehidupan kita.