INIPASTI.COM – Semuanya tiba-tiba menjadi luar biasa. Menjelang tanggal 4 November, Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden dan tokoh-tokoh penting lainnya seperti kebakaran jenggot, seakan-akan baru menyadari betapa derasnya kekuatan ummat Islam yang keberatan dengan ucapan Ahok yang menyentuh nurani ratusan juta umat Islam Indonesia. Ucapan yang memantik protes kaum muslimin itu telah mengundang perdebatan panjang, ada yang menukik menyalahkan Ahok, sebagian membela Ahok. Polarisasi elit terbentuk dengan jelas, ada banyak yang mencerca Ahok, ada juga yang berdiri tegak di samping Ahok. Luar biasa, Ahok menjadi pemicu terbelahnya elit bangsa, memecah kesamaan perspektif para alim ulama, telah memunculkan idiom-idiom baru yang menjadi dasar bangunan pertentangan.
Semuanya tiba-tiba menjadi tsunami bagi ruang-ruang publik, meluluhlantakkan persepsi para elit, memutar balikkan asumsi para pengamat, tentara dan polisi semuanya waspada. Tidak ada yang mengira “mulut besar” para demonstran yang cerdik memanfaatkan momentum untuk kepentingannya, kini berubah menjadi kekuatan yang sulit dibending, para kyai, alim ulama, pemimpin pesantren, yang bertebaran di mana-mana tidak berhasil dikumpulkan oleh para penguasa. MUI, Muhammadyah, NU dan tokoh inti lainnya “ditarik” ke Istana, coba dijinakkan. Tapi para pendekar Quran dan Hadis itu tidak bergeming, mereka hanya menghimbau agar demonstrasi tidak anarkis. Mereka tidak kuasa untuk melarang.
Lautan manusia muslim yang berkumpul di Istiqlal, pada subuh hari ini (4 November 2016), yang datang dari berbagai pelosok Indonesia, yang merelakan harta dan waktunya dihisap oleh kegiatan ini adalah insan pilihan, yang bergerak dengan keyakinan, jalannya lurus tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan lain. Kedatangan mereka bukan urusan politik, diluar masalah Pilkada Gubernur.
Penguasa, politisi, dan pengamat tidak bisa lagi melihat peristiwa ini dengan paradigma yang sama dengan peristiwa demonstrasi yang terjadi selama ini. Karena demonstrasi selama ini selalu diikuti oleh kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Kali ini, mereka datang dengan kesadaran dan kesabaran, dan disambut oleh kawan-kawannya dengan senyum mekar. Ratusan masjid, posko yang lengkap dengan fasilitas makan minum dibiayai oleh kaum muslimin di Jakarta, menawarkan untuk ditempati dengan gratis. Ini sebuah situasi yang jelas-jelas berbeda dengan situasi politik sebelumnya. Elemen-elemen yang terlibat juga khas. Mahasiswa yang selama ini menjadi penggerak demonstrasi politik, tidak menjadi pelopor dalam gerakan ini.
Ini luar biasa, ini gerakan moral, ini unjuk rasa damai dengan militansi tinggi. Tapi jangan karena unjuk rasanya berlangsung damai, pemerintah lalu lambat memberikan respon atas tuntutan mereka. Tuntutan mereka sederhana, penista agama harus dihukum secepat mungkin, sebagaimana dilakukan kepada semua orang yang pernah menistakan agama apapun di Indonesia. Kalau respon hukum dan politik lamban, aksi damai ini akan berubah menjadi kekecewaan sosial yang semakin besar, akan memutar aksi damai menjadi anarkis.