INIPASTI.COM, RILIS BPS pada Agustus 2016, tentang ketimpangan di Indonesia, menunjukkan ancaman yang paling berbahaya bagi daya tahan NKRI, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kalau kita membaca data gini ratio (GR) di Indonesia sejak 2011 hingga Juli 2016, datanya relatif fluktuatif. Pada Maret 2011 sampai Maret 2012, GR Indonesia sebesar 0,410. Ini berartimasuk dalam kategori ketimpangan sedang.
Pada Maret 2013, kondisi GR Indonesia meningkat menjadi 0,413, meskipun masih tergolong ketimpangan kategori sedang. Mengalami penurun menjadi 0,406 pada Maret 2014, dan sedikit mengalami kenaikan menjadi 0,408 pada Maret 2015. Data GR selama periode 2013-2015 berada pada tingkat ketimpangan sedang. Tingkat ketimpangan pada Maret 2016, Indonesia berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah dengan angka 0,397. Ini berarti pemerintahan Presiden Joko Widodo, GR Indonesia mengalami perbaikan, hingga berada pada kategori rendah.
Turunnya GR di Indonesia pada Maret 2016 bukanlah kabar yang terlalu menggembirakan, karena belum memberikan pemerataan penguasaan aset PDB secara proporsional. Penurunan GR pada 2016, lebih disebabkan karena adanya kenaikan upah buruh tani harian dan buruh bangunan harian, kenaikan jumlah pekerja bebas di sektor pertanian dan nonpertanian, serta kenaikan pengeluaran pemerintah, khususnya infrastruktur padat karya, bantuan sosial, dan perbaikan pendapatan pegawai negeri sipil (PNS) golongan bawah. Kenaikan faktor-faktor ini bersifat semu, terutama kenaikan upah buruh harian, yang sewaktu-waktu mudah turun kembali karena kelompok buruh harian tidak memiliki kepastian pendapatan.
Kita juga harus ingat bahwa gini ratio di Indonesia dihitung berdasarkan data konsumsi per kapita, sehingga tidak menunjukkan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan yang faktual. Ketimpangan berdasarkan pengeluaran atau konsumsi jauh lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan dan kekayaan.
Penurunan GR Indonesia pada 2016 masih dalam batas yang belum bisa membebaskan Indonesia dari ancaman serius dari Gini Ratio. Kalau kita melirik Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Semakin parah jika melihat penguasaan 10 persen terkaya yang menguasai 77 persen kekayaan nasional. Jadi 90 persen penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional.
Lebih parah lagi, sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa. Crony-capitalism index Indonesia menduduki peringkat ketujuh. Data ini memberi isyarat bagi kita, bahwa Indonesia dibawah ancamanGini Ratio dan Kroni Kapitalis. Kebangkrutan Indonesia akan benar-benar menjadi kenyataan kalau pemerintah gagal menyeimbangkan penguasaan aset nasional secara adil dan merata.