Oleh: Muhammad Zaiyani
INIPASTI.COM, Alkisah pada suatu waktu Rasulullah SAW menegur sahabatnya yang hendak dhuhur di Masjid namun belum mengikatkan tali untanya di pohon, dengan alasan tawakkal. Rasulullah SAW mengatakan “Ikatlah lah dulu untamu di pohon sebelum sebelum masuk ke Masjid”. Peristiwa kecil ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa selain karena takdir, hidup ini sesungguhnya tunduk kepada hukum alam. Kita yang hidup didaerah dengan potensi gempa yang besar tentu akan senantiasa akan “berhadapan” dengannya. Karena itu sebagai manusia yang diberi akal dan ilmu, kita seyogyanya berusaha untuk “menyesuaikan” diri terhadap fenomena alam tersebut. Penyesuaian yang dimaksud dalam hal ini adalah berusaha keras untuk meminimalkan risiko bangunan yang hancur dan risiko korban manusia.
Gempa bumi Palu,Sigi, dan Donggala, tsunami, dan fenomena likuifaksi (lequefaction) melahirkan banyak kesimpulan penyebab dan solusinya. Mulai dari tinjauan agama hingga tinjauan ilmiah. Disamping rasa empati yang mendalam bagi saudara-saudara kita yang tertimpa musibah, sindiran-sindiran negatif dan mistis juga tidak kurang adanya. Dalil-dalil agama serta teori-teori gempa dibahas secara luas disemua media, dalam diskusi-diskusi ilmiah, hingga obrolan-obrolan warung kopi. Diskusi-diskusi dan obrolan-obrolan tersebut akan jadi bermanfaat ketika kita kembali kepada sikap mau perduli kepada existing-condition alam kita.
Pergerakan lempeng Palu Koro sebesar 3 cm pertahun, dan gempa dashyat 1907 seharusnya jadi referensi kita untuk waspada. Dr. Mudrik R. Daryono bahkan pernah mengingatkan kita semua bahwa pada tahun 2012-2014 akan terjadi gempa bumi di Sesar Palukoro. Walaupun perkiraannya meleset ke tahun 2018, namun tanda-tanda pergerakan lempeng Sesar Palukoro senantiasa teramati dengan baik.
Kerentanan Kota Palu terhadap gempa, tsunami, dan likuifaksi, sesungguhnya telah lama diketahui sebagaimana berulangkali disampaikan oleh JA Katili, seorang doktor bidang geologi ITB sejak 1970-an, dan menamai sesar ini Palu Koro, karena membelah kota Palu dari Teluk Palu di sebelah utara hingga ke Koro di sekitar Teluk Tondano sepanjang sekitar 1.000 km. Namun karena ketidak-perdulian pemerintah dan masyarakatnya, pembangunan permukiman dan bangunan lainnya mengabaikan data-data di atas. Instansi terkait mengabaikan pada peta zona gempa, peta likuifaksi, dan peraturan-peraturan tentang gempa yang telah kita miliki. Pertimbangan bisnis lebih utama daripada pertimbangan risiko.
Banyaknya bangunan yang hancur/ambruk dan banyaknya korban manusia pada musibah gempa membuktikan bahwa kita sesungguhnya kita tidak perduli terhadap risiko hidup didaerah gempa. Budaya tidak-sadar-risiko masih sangat kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Perhatian kita terhadap mitigasi bencana sangat minim dan (kadang) dengan alasan tawakkal kepada Allah SWT (seperti cerita pembuka di atas). Kita akan ter-sadar-kan (sejenak) ketika gempa itu benar-benar terjadi (lagi). Ketika tsunami telah meluluhlantahkan daerah yang dilaluinya, barulah kita semua membahas perlunya dipasang alat peringatan dini tsunami dan atau memperbaiki alat tsb yang dirusak oleh kita sendiri. Ketika suatu kampung “tenggelam” karena likuifaksi sudah terjadi, barulah kita melihat kembali peta zona gempa dan likuifaksi. Dan kita akan “lupa” lagi setelah masa tanggap darurat dan penanganan pasca gempa selesai. Ya, sesungguhnya kita tidak perduli terhadap existing-condition alam tempat kita berpijak.
Budaya sadar risiko harus kita mulai sekarang. Arsitek sebagai perancang yang banyak bersentuhan langsung di masyarakat bisa memainkan peranan yang besar mengedukasi masyarakat untuk mengenal bangunan tahan gempa, serta menyampaikan kepada masyarakat perihal existing-condition lahan yang akan dibangun, serta melakukan soil test pada tanah yang akan dibangun. Sebagai praktisi, Arsitek seyogyanya setiap saat memperkenalkan struktur bangunan yang tahan terhadap gempa, dan juga mengenalkan/ mengaplikasikan atau mengsosialisasikan bahan-bahan bangunan (non-struktural/ ringan) yang “ramah” terhadap fenomena alam ini. Sebaliknya masyarakat yang hendak mendirikan bangunan seyogyanya melakukan konsultasi kepada perencana/ arsitek, dan pemerintah mengontrol secara ketat keseluruhan perencanaan bangunan melalui izin-izin (izin prinsip, IMB, izin penggunaan bangunan, dll). Dan satu hal lagi yang penting untuk edukasi bagi kita semua bahwa ada “cost” untuk itu semua. Dengan demikian, adanya kerjasama antara arsitek, masyarakat, dan pemerintah, pengurangan resiko (mitigasi) terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi dapat kita kurangi. Berikut ini strategi pengurangan resiko (mitigasi) gempa:
(1) Tsunami (strateginya: mengetahui secara dini dengan alat deteksi dini tsunami sehingga bisa segera dihindari;
(2) Longsor (strateginya: menghindari membangun pada area yang berpotensi longsor);
(3) Likuifaksi (strateginya: menghindari atau menanggulangi);
(4) Goncangan gempa (strateginya: menanggulangi)
Perencanaan bangunan tahan gempa adalah sangat penting bagi seluruh hunian dan atau bangunan umum di Indonesia. Bangunan tahan gempa tidaklah berarti bangunan tersebut tidak akan rusak ketika terjadi gempa, melainkan suatu bangunan yang memenuhi kaidah kaidah tertentu. Kaidah bangunan tahan gempa yang dimaksud adalah :
1. Jika terjadi gempa ringan, bangunan tidak mengalami kerusakan elemen struktural maupun elemen non struktural.
2. Jika terjadi gempa sedang, elemen struktural tidak akan mengalami kerusakan dan non struktural boleh mengalami kerusakan tetapi masih dapat diperbaiki.
3. Jika terjadi gempa yang kuat, elemen struktural dan non struktural rusak, tetapi struktur tidak roboh, setidaknya mekanisme robohnya didesain sedemikian rupa, sehingga korban jiwa dapat dihindari.
Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dimana para Arsitek juga terlibat, seharusnya juga menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana. Pelaksanaan penyusunan RTRW tidak semata-mata karena pertimbangan investasi, melainkan memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi adalah yang paling utama. Pengetatan dalam pelaksanaan desain juga harus dilaksanakan. Dalam mendesain bangunan di Indonesia, kita telah punya banyak referensi seperti : (1) Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung; (2) Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung; (3) Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung, menunjukkan bahwa aturan yang berkaitan dengan perencanaan rumah dan gedung sudah sangat memadai. Karena itu implementasi dilapangan adalah hal yang utama sehingga kita bisa “merencanakan” bangunan kita dengan optimal, yang pada akhirnya akan mengurangi resiko terhadap kerusakan bangunan dan korban manusia.
(*)