INIPASTI.COM, MAKASSAR – Menarik untuk mencermati data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 dan 2016. Kalau melihat perubahan angka dari tahun ke tahun, bagi-bagi kue APBN untuk setiap daerah kelihatan selalu mengalami peningkatan.
Tengok saja perbandingan angka APBN untuk enam provinsi di Sulawesi antara tahun 2015 dengan 2016. Sulawesi Tenggara mengalami penambahan paling tinggi di antara enam provinsi ini, yang mencapai 32.33 persen, dan Sulawesi Tengah yang paling rendah, hanya 9.52 persen. Peningkatan anggaran untuk Sulteng ini bahkan jauh di bawah dua provinsi baru, Sulbar dan Gorontalo yang masing-masing mengalami peningkatan 29.25 persen dan 24.71 persen.
Namun secara jumlah, selisih tertinggi justru didapatkan oleh Sulawesi Selatan, yang mencapai penambahan sebanyak Rp 9.53 triliun. Lagi-lagi Sulteng yang paling rendah, hanya mendapatkan penambahan sebesar Rp 0.6 triliun, hanya setengah dari penambahan anggaran untuk Gorontalo yang memperoleh Rp 1.26 triliun.
Secara angka, Sulsel boleh saja senang dengan penambahan selisih yang besar, atau Sultra yang tertinggi secara persentase. Namun menilik penggunaan anggaran itu sendiri untuk masing-masing provinsi, menimbulkan pertanyaan, cukup kah?
Sulsel adalah wilayah terluas dari enam provinsi yang ada di pulau Sulawesi. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 8.5 juta jiwa lebih, pemerintah provinsi Sulsel memiliki tanggungjawab dan kebutuhan anggaran yang lebih besar untuk dapat melaksanakan pembangunan yang merata bagi seluruh rakyatnya. Tanggung jawab yang sama ada di tangan pemerintah provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki jumlah penduduk 2.8 juta jiwa, terbesar di urutan kedua dari seluruh provinsi di pulau Sulawesi.
Perbandingan antara penerimaan anggaran dalam APBN dengan jumlah penduduk yang ada di masing-masing provinsi, menjadikan alokasi anggaran pembangunan bagi provinsi Sulsel menjadi kecil. Bila bagi-bagi kue APBN ke setiap provinsi didasarkan kepada jumlah penduduk, maka pemerintah Sulsel harus bisa mengalokasikan anggaran yang diterima untuk pembangunan rakyatnya sebesar Rp 5.8 juta per kapita penduduk pada APBN 2016.
Angka yang tertera tersebut harus bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, sosial dan spiritual secara keseluruhan bagi setiap orang.
Sultra, Sulut dan Sulbar mempunyai peluang yang lebih baik dalam proses pembangunan sumberdaya manusianya dengan nilai anggaran yang lebih besar bagi setiap kapita penduduknya. Dengan anggaran sebesar Rp 9.1 juta per orang dalam tahun anggaran 2016, Sultra berpotensi meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya menjadi lebih baik.
Namun tidak bagi Sulteng yang hanya mampu mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.3 juta per kapita penduduk untuk meningkatkan pembangunan manusianya selama satu tahun anggaran.
Secara rata-rata, pembangunan sumber daya manusia yang ada di enam provinsi di pulau Sulawesi, hanya dibiayai sebesar Rp 6.2 juta per orang untuk tahun anggaran 2016. Angka itu harus bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas SDM di semua sektor, baik fisik dan non fisik.
Secara satuan dengan hitungan biaya per kapita penduduk, pembangunan daerah di pulau Sulawesi menghadapi hambatan yang cukup besar pada sisi ketersediaan anggaran. Hal ini menyebabkan ketertinggalan yang cukup serius dibandingkan sejumlah daerah lain di Indonesia, terutama yang ada di wilayah Indonesia bagian barat. Ibaratnya, enam provinsi di Sulawesi hanya mendapatkan remah-remah APBN yang tersisa.
APBN sepatutnya berorientasi bagi peningkatan kesejahteraan umum masyarakat di Indonesia, bukan untuk memenuhi kepentingan satu atau dua daerah tertentu saja. Penggunaan anggaran pemerintah daerah dalam APBN untuk enam provinsi yang pada 2016, mencapai Rp 116.17 triliun, haruslah bermanfaat bagi masyarakat luas. Bentuk konkret dari manfaat itu ialah penurunan jumlah pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Pengalokasian belanja seharusnya bisa lebih adil dan dapat memberikan multiplier effect yang lebih besar bagi masyarakat luas.