INIPASTI.COM, ESAI— Di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, pagi ini, 14 Maret 2025, Hasto Kristiyanto berdiri dengan rompi oranye, menghadap dakwaan yang berat: suap dan perintangan penyidikan. Tapi, di balik kursi terdakwa itu, ada bayang yang tak hadir—Harun Masiku, sosok yang kabur lima tahun lalu, meninggalkan jejak pertanyaan yang menggantung. Sidang ini bukan sekadar panggung hukum; ia adalah cermin retak dari keadilan kita, refleksi dari sebuah negeri yang masih bergulat dengan bayang-bayang politik dan hukum yang saling bertaut.
Hasto, dengan tuduhan mengalirkan Rp600 juta untuk mengongkosi pergantian antarwaktu di DPR, seolah menjadi aktor dalam drama lama: kekuasaan yang membeli kursi, suara rakyat yang ditukar dengan amplop. Jaksa bilang ia suruh Harun rendam ponselnya, hapus jejak, lalu lari—sebuah skenario yang terdengar seperti dongeng gelap tentang buronan yang lenyap di ujung malam. Tapi, di luar ruangan itu, ratusan pendukung PDI-P berteriak, menyebutnya “tahanan politik”. Hukumkah yang bicara, atau politik yang menyanyi dengan nada sumbang?
Ada ironi di sini, Bang. Harun, dengan 5.878 suara yang seharusnya tak cukup mengantarnya ke Senayan, jadi simbol dari sistem yang rapuh—sebuah demokrasi yang kadang lebih mirip pasar malam ketimbang panggung kehormatan. Sementara itu, KPK, yang dulu kita junjung sebagai lentera di kegelapan korupsi, kini diuji: mampu kah mereka menangkap bayang yang bernama Harun, atau hanya puas dengan Hasto sebagai trofi sementara? Lima tahun berlalu, dan Harun tetap jadi angin—terasa, tapi tak terpegang.
Sidang ini seperti sungai yang mengalir di antara dua tebing: hukum dan politik. Di satu sisi, KPK bersikukuh pada bukti—chat, transaksi, perintah yang terucap di balik layar. Di sisi lain, PDI-P melantunkan elegi tentang kriminalisasi, seolah hukum adalah pedang yang diasah oleh tangan kekuasaan. Kita, sebagai penonton, terpaku pada pertanyaan tua: kapan hukum bisa berdiri tegak, bebas dari bayang politik yang selalu mengintip dari balik pintu?
Mungkin, Bang, kasus ini adalah panggilan senyap. Bagi KPK, ini ujian untuk membuktikan bahwa keadilan bukan cuma kata-kata manis di atas kertas, tapi langkah nyata menangkap Harun dan menutup cerita yang terlalu lama menggantung. Bagi kita semua, ini undangan untuk menatap cermin: apakah demokrasi yang kita bangun ini benar-benar milik rakyat, atau cuma panggung bagi segelintir aktor yang pandai bermain peran?
Di ruang sidang itu, Hasto duduk diam, menanti vonis yang belum tiba. Tapi di luar sana, Harun Masiku masih berjalan di antara bayang-bayang—menggenggam rahasia yang mungkin tak pernah kita dengar. Dan kita, seperti penyair yang kehilangan bait terakhir, hanya bisa menanti: kapan akhir cerita ini akan ditulis? (inipasti)