Oleh: Juraid Abd Latief
(Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Tengah)
Tak dapat disangkal bahwa kekuatan utama yang besar dampaknya terhadap cara dan gaya hidup kita terjadi akibat kemajuan IPTEK. Penemuan-penemuan ilmiah serta berbagai terobosan teknologi semakin nyata pengaruhnya terhadap gaya hidup manusia, baik individual maupun sosial. Bahkan akibat kemajuan itu terjadilah perubahan modus eksistensi manusia. Begitu besar dampaknya, sehingga beberapa intektual berbicara tentang kehidupan mutakhir yang semakin menuntut norma, etika, dan sikap baru untuk menanggapi berbagai tantangan hidup.
Budayawan mengedepankan issu konflik, kecemasan, ketidakpastian, dehumaniasi mengilhami karya mereka. Ilmuwan sosial, tidak sedikit gejala-gejala kemasyarakatan yang memaksakan pendekatan dan pemahaman baru; bahkan adakalanya konsep-konsep lama mulai ditinggalkan; demikian juga terasa mendesaknya keperluan untuk melakukan redefinisi terhadap berbagai konsep dalam ilmu-ilmu sosial. Semakin terbukanya kehidupan bersama dan semakin mudahnya komunikasi antar-masyarakat serta semakin pesatnya lompatan arus informasi jelas berdampak terhadap masyarakat yang bersangkutan. Hampir tak mungkin lagi menemukan masyarakat yang tertutup dan kedap terhadap pengaruh luar.
Sejarah telah berhasil merekam berbagai puncak kejayaan kehidupan manusia yang diriwayatkan sebagai manifestasi kehidupan yang sejahtera dan berkualitas tinggi, disusul kemudian oleh kesurutan dan kejatuhan. Maka tidak mengherankan, kalau sejarawan Hesoidus, memandang sejarah terbagi dalam beberapa kurun: Emas, Perak, Tembaga, dan Besi, dengan ciri peralihan dari era pertama ke era terakhir suasana kehidupan semakin keras sifatnya. Era Emas dilukiskan sebagai keadaan yang memungkinkan manusia menyenangkan, indah, dan sejuk, tanpa terancam pencemaran. Sedangkan mengungkap kerasnya sifat kehidupan Era Besi, Hesoidus menggambarkan kehidupan manusia melalui adegan: never by night from the hand of the spoiler.
Sejarah adalah perjalanan panjang yang menampilkan proses regresi secara progesif. Semakin jauh perjalanan itu, semakin parah terjadinya regresi dan degradasi. Apa yang diutarakan oleh Hesoidus delapan abad sebelum Masehi itu, terulang lagi dalam ungkapan pemikir Romawi, Horatius, yaitu bahwa perjalanan waktu akhirnya mengakibatkan keausan nilai kehidupan.
Berbeda dengan pandangan Toynbee yang tidak mengandung sejarah sebagai proses regresi, degradasi dan depresiasi. Toynbee lebih cenderung memandang proses sejarah sebagai serangkaian tantangan dan tanggapan. Teorinya yang terkenal ini cukup lama berpengaruh dalam usaha menerangkan kelangsungan sejarah sebagai perjalanan kebudayaan dan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan juga berkembang sebagai bagian dari kesejarahan manusia; dari abad-abad yang masih gelap sampai bersinarnya cahaya ilmu pengetahuan, kemanusiaan menjalani masa yang sangat panjang.
Betapapun kecemasan terhadap terjadinya perubahan, kenyataan sesungguhnya menunjukkan bahwa perubahan itu tak terhindarkan. Sesuatu tata-masyarakat dapat berubah bahkan oleh sentuhan eksternal yang minimal sekalipun.
Dalam kehidupan ini jelas tersirat terjadinya perubahan-perubahan kondisional yang pada gilirannya juga akan mengakibatkan perubahan terhadap gaya hidup individual dan sosial serta persepsi tentang kualitas hidup; termasuk perubahan yang diakibatkan oleh hasil iptek.
Inovasi yang dilaksanakan niscaya akan kelihatan jejak dan dampaknya terhadap gaya hidup serta persepsi kita tentang peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup. Kenyataan bahwa kita secara sadar dan berencana melakukan inovasi demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, jelas menggambarkan bahwa kita tidak sependapat dengan pandangan Plato yang lebih mendambakan konservasi daripada perubahan.
Kita berinovasi karena ingin maju, tanpa khawatir bahwa kemajuan itu akan berkesudahan dengan regresi, degradasi atau depresiasi. Bagaimanapun juga kita tidak bisa menghindarkan diri dari dampak eksternal yang menjadi upaya inovasi itu tampil sebagai suatu imperatif. Lebih dari sekedar oleh dampak eksternal, hal itu didorong oleh kesadaran menanggung amanat untuk mengisi kehidupan yang berkualitas dan lebih bermakna.
Mengingat hal itu, maka mustahil misalnya kita membuat perubahan yang kesudahannya akan berakibat dehumanisasi, karena hal demikian itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita juga tentu akan waspada terhadap kemungkinan terjadinya despiritualisasi fisik dan materil, karena hal itu dalam analisis akhirnya akan menggoyahkan fundasi iman dan taqwanya seseorang. Pendidikan tidak sewajarnya hanya diarahkan pada kemahiran dan keahlian tertentu. Tugasnya yang lebih utama adalah membangun diri-pribadi sebagai penanggung eksistensi; pengukuhan diri-pribadi sebagai kesejatian berhubungan dengan pembentukan identitas diri yang mantap. Maka pendidikan di Indonesia pada utamanya menanggung upaya membentuk manusia Indonesia dengan identitasnya yang mantap dan ketahanan diri yang tangguh. Bahwa jiwa pertama pendidikan memberikan peluang untuk memiliki sesuatu, maka pada yang kedua ditujukan pada mantapnya kesejatian diri-pribadi; jika yang pertama adalah kesempatan to have, pada yang kedua tujuannya adalah mengukuhkan to be. Apa yang termasuk dalam kategori having bisa dipertukarkan, sedangkan yang diliputi oleh being mustahil dipertukarkan.
Universalisme iptek tak perlu memudarkan kesadaran sejatinya identitas kita; keterasingan atau alienasi dari kesejatian diri-sendiri adalah awal dari suatu perubahan yang akhirnya bisa menjadi tanpa-arah dan bahkan bebas-nilai. Jika kita sependapat bahwa inovasi merupakan suatu gerakan yang berorientasi pada nilai-nilai, maka setiap perkembangan yang cenderung menuju situasi bebas nilai harus diwaspasdai. Itu sebabnya kita juga jangan sekedar terpesona terhadap kemajuan iptek, melainkan juga berusaha keras menguasainya sejauh mungkin, dan senantiasa berpijak pada bumi dan budaya kita sendiri.
Mempertimbangkan segala implikasi disertakannya peran iptek, maka pada kita terpikul beban etis yang utama, yaitu tetap memelihara martabat manusia Indonesia sebagai titik sentral yang paling berkepentingan atas peningkatan kualitas hidupnya, sebagai eksistensi yang merdeka, produktif, dan kreatif.
Ciri khas yang melekat pada pemikiran ilmiah adalah kemampuan berpikir kritis dengan tetap berpegang kepada etika. Apalagi bila seorang masih dihinggapi oleh perasaan inferior terhadap salah satu penjuru yang dianggap “sumber asal ilmu pengetahuan”, maka tidak mustahil ia akan menjadi penurut setia belaka.
Para ilmuwan Indonesia perlu semakin menebalkan kepercayaan pada diri-sendiri dan bersama itu juga integritasnya sebagai ilmuwan. Integritasnya itu sangat tergantung dari apa yang dihasilkannya sebagai prestasi ilmiah di bidangnya, baik oleh diri sendiri maupun dalam kerjasama kolegial interdisipliner. Di samping itu, intelektual seyogyanya menghayati dirinya sebagai bagian yang hidup dari masyarakat dan kondisi Indonesia-bukan mengukur sesamanya dengan masyarakat dan kondisi asing.