Oleh Imam Mujahidin Fahmid (Dosen Universitas Hasanuddin)
Risma, Ahok dan Nurdin adalah contoh dari sedikit Kepala Daerah di Indonesia yang piawai menggunakan wacana, kuasa dan pengetahuan untuk “memperdayai” publik. Disebut memperdayai atau mengelabui manakala mereka ini membangun secara sadar wacana, yang dibungkus pengetahuan dan menggunakan kuasa yang ada dalam dirinya untuk meyakinkan publik dengan menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan konstruksi dan realitas yang sesungguhnya, apa yang dikatakannya berbeda dengan data yang sesungguhnya.
Ahok akan kehilangan kepercayaan publik apabila dalam proses mewacanakan dirinya yang anti korupsi justru ketahuan melakukan praktek korupsi. Dia akan dihantam busur sosial, kalau-kalau Ahok yang dikenal blak-blakan itu justru menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu. Demikian juga nasib yang bisa diterima Risma dan Nurdin. Kalau tingkah laku Risma yang sesungguhnya sangat ekslusive, padahal dia memperkenalkan dirinya sebagai orang yang amat sederhana, inklusive, pekerja keras dan berani, akan tetapi jika hal-hal yang baik yang diperlihatkannya kepada publik adalah mengada-ada, dia akan menerima hukuman berat secara sosial. Hal yang sama bakal menimpa Nurdin Abdullah, jika yang dia sebarkan diseluruh jagad nusantara ini adalah keberhasilan dalam pembangunan, investasi yang sukses, kemiskinan yang menurun, pelayanan publik yang meningkat, kebangkitan sektor pertanian, dan lain sebagainya. Namun kalau faktanya berbeda dengan yang diwacanakan Nurdin, hukuman sosial menantinya. Singkatnya, teori Foucault tentang wacana, kuasa dan pengetahuan untuk “merampas kesadaran” publik, mengharuskan para aktor untuk menyajikan kebenaran, data yang valid sesuai realitas yang sesungguhnya.
Keharusan ini disebut Foucault sebagai upaya menghindari determinisme bahasa. Baginya, tidak selalu bahasa menghasilkan praktik, hal yang sebaliknya juga terjadi. Untuk mengatasi determinasi bahasa, Foucault menyodorkan konsep kuasa, dengan memakai metode sayable (apa yang dapat dikatakan) dan visible ( apa yang dapat dilihat) yang senantiasa berkontestasi, produk dari keduanya adalah kuasa dan pengetahuan. Produk lanjutannya adalah episteme pengetahuan yang dibawanya, dan episteme pengetahuan yang tertolak, dalam upayanya membentuk subjek (teknologi diri). Inilah ruang terbuka bagi publik yang kritis, untuk melakukan counter hegemoni atas aktor-aktor kuasa yang memanfaatkan wacana dan pengetahuan untuk menguasai kesadaran publik, dengan cara cross check terhadap wacana yang ditawarkan para aktor elit, sehingga publik bisa menggeledah kekuasaan yang tersembunyi dibaliknya.
Permainan aktor-aktor elit menggunakan kuasa, wacana dan pengetahuan untuk membius kesadaran publik seringkali tidak diikuti dengan tanggungjawab moral. Para aktor elit dan pemimpin seringkali melakukan manipulasi data, menyembunyikan infromasi, menggunakan standar ganda di dalam mendiseminasi informasi. Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Relasi antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater).
Untuk melawan kuasa dominasi elit, publik (cendekiawan, ilmuan, akademisi) harus membangkitkan kesadaran local centres dari power knowledge, untuk dimasukkan ke dalam strategi publik, untuk dijadikan sebagai pengetahuan sosial yang mampu meng-counter hegemoni kekuasaan. Kapitalisasi power sosial, menumbuhkan kesadaran publik adalah satu-satunya cara untuk menghentikan lajunya wacana dan pengetahuan yang mendominasi hampir semua ruang-ruang sosial. Publik harus melipat-gandakan powernya, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat. Inilah yang disebut sebagai gerakan counter hegemonik. Gerakan ini diharapkan mampu menemukan “mutiara-mutiara” pemimpin-pemimpin berkapasitas tinggi, tapi tenggelam dalam lumpur permainan wacana, kuasa dan pengetahuan yang dipoles oleh elit-elit tertentu (bersambung)