INIPASTI.COM – “Hei suro, cari Karaeng Galesong, I Bage Daeng majjanji. Panggil bersama Karaeng Lewa ri Popo, I Taga ri Mangindara, Karaeng Mangemba ri Dengga dan kawan-kawannya yang lain. Katakan, aku ingin bertemu dengannya di sini !”
Agak lama juga mencari mereka baru Daeng Jarre menemukan tubarani-tubaran itu yang bertahan di sebelah timur.
Suro segera menyampaikan apa keinginan I Tuan Jurubahasa. Para tubarani kemudian beramai-ramai menemui wakil Tumalompoa. Setelah bertemu, mereka pun berembuk mencari jalan untuk menyerbu Datu Museng yang kini sedang mengundurkan diri. Mereka yakin, panglima perang Sumbawa itu kembali ke rumahnya untuk bersholat. Satu kesempatan yang tak boleh diabaikan.
Setelah seia-sekata, barisan kompeni dan pasukan bantuan segera bergerak maju mengepung rumah Datu Museng, sekali lagi. Keadaan rumah kala itu sunyi sekali. Pimpinan penyerangan memperingatkan semua penyerbu agar tidak melepaskan satu tembakan pun ke arah rumah. Jangan sampai peluru yang kesasar mengenai tubuh Maipa Deapati dan menewaskannya. Mereka tentu mendapat hukuman berat dari Tumalompoa.
Sambil berjingkat-jingkat, takut kedengaran suara langkahnya, Daeng Jarre perlahan-lahan menaiki tangga, diiringi para pimpinan tubarani, paha-kanan, pengabis dada kompeni yang kemudian menunggu di belakang pintu.
Daeng Jarre sendiri langsung melangkah masuk ruangan sambil memegang kuat-kuat hulu kerisnya, takut tidak berdaya nanti mencabutnya. Setiba di dalam, didapatinya Datu Museng sedang melakukan shalat. Tangannya sudah gatal-gatal untuk segera menikamnya, supaya tugas membunuh Datu Museng selesai sudah, tak berlarut-larut dan korban lainnya dapat dihindari. Tapi hati nuraninya tidak membenarkan. Ditunggunya dengan tangan gemetar, sampai Datu Museng selesai melakukan sembahyang.
Ketika Datu Museng mengakhiri sholatnya sambil memberi salam ke kanan dan ke kiri, berkatalah Daeng Jarre: “Karaengku Datu Museng… Tidak berguna lagi perlawanan karaeng. Tak ada manfaat lagi mangamuk membabi buta. Tubarani-Tubarani pilihan kompeni sudah di atas rumah, di luar anjungan menunggu pengakuan kekalahan karaeng. Di sekeliling rumah sudah penuh sesak prajurit, ingin menyaksikan penyerahan karaeng tanpa syarat, Sebaiknya karaeng meletakkan senjata, karena sudah banyak darah tertumpah, sudah bersusun tindih mayat berkaparan, sudah…”
“Setan, anjing kompeni!” bentak Datu Museng memotong. “Suro, bukankah telah kukatakan padamu, aku tidak biasa berbicara dua kali untuk satu persoalan. Tidak, aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan tunduk pada siapa pun kecuali tuhan dan apabila…”
Belum habis bicaranya, Daeng Jarre tiba-tiba menghunus kerisnya, kemudian secepat kilat ditikamkan ke dada Datu Museng. Tapi panglima perang tangkas dan sakti ini lebih cepat mengelak dan suro Daeng Jarre menikam angin. Sebelum suro sempat manarik tangannya kembali, keris pusaka Datu Museng sudah terbenam ke ulu hatinya. Daeng Jarre masih sempat menjerit pilu sebelum rubuh ke lantai, laksana pohon yang tumbang. Ia sesaat menggelepar meregang jiwa, lalu tak berkutik lagi. Nyawanya telah menyeberang ke alam yang lain.
Bersambung…