INIPASTI.COM – Ah, sungguh sayang…. Menurut hemat hamba, tak seorangpun yang bisa sadar jika tegak dan memandang wajah putri itu. Iman semua lelaki tanpa kecuali, pasti akan runtuh jika sanggup memandang waJahnya sedikit lama. Barangkali putri itu bidadari yang menjelma manusia, tuanku. Itulah sebabnya hamba gagal mengucapkan kata biar sepatahpun. Otak hamba menjadi buntu, ingatan hilang dan pulang kembali dengan tangan hampa. Tuanku, hamba kembali mencari pesan yang telah hilang dalam ingatan. untuk memungut kata yang tercecer di tengah jalan. Sudah lama hamba menjadi suro, mahir bertutur mengucap kata. bersilat lidah, tapi baru kali ini hamba hilang dah hanyut dalam pikiran. Semoga tuan besar memahami keadaan hamba. Oh tuan besar…, hamba hilang dalam silauan cemerlangnya surya di pagi hari”. Daeng Jarre berhenti berkata dan merenungi ujung cepatu Jurubahasa, seakan-akan cepatu itu yang diajak berbincang.
“Suro, pulanglah dahulu ke rumahmu untuk menenangkan pikiran. Yakinlah, yang kau saksikan itu adalah manusia biasa, bukan jelmaan bidadari. Besok laksanakan kewajibanmu dengan baik !” kata I Tuan Jurubahasa ketika dilihatnya pesuruh kepercayaannya termenung sedih.
“Tapi ingat, kewajiban jangan dilalaikan lagi” sela Tumalompoa, yang sedari tadi mengawasi suro itu dengan dada gemuruh, karena tidak berhasil usahanya.
Lama juga suro Daeng Jarre termenung, baru minta diri. Dengan setengah jongkok ia mundur ke belakang dan hilang di balik pintu kamar I Tuan Jurubahasa.
Setelah suro meninggalkan kamar, Tumalompoa dan Jurubahasa berunding mengenai siasat yang akan dipergunakan andaikata usaha secara demai tak berhasil.
Keesokan harinya, Daeng Jarre datang lagi ke rumah Datu Museng. Kali ini hatinya tak sererti kemarin lagi, ketika ia mula-mula menginjak rumah itu. Jantungnya memang berdebar-debar juga, tapi ditahannya sekuat mungkin. Malu dan takut pada kedua tuannya yang memaksanya menahan debaran dada.
Dan rupanya kali ini langkah baik baginya, karena Maipa Deapati yang telah menggagalkan usahanya kemarin, tidak tampak di ruangan tempat karaeng Datu Museng menerima kedatangannya. Dengan leluasa ia mehgucap kata, menuturkan maksud kunjungannya kepada panglima parang Sumbawa ini.
“Apa gerangan maksud Tumalompoa mengutusmu kemari suro ?” tanya Datu Museng, setelah Daeng Jarre memamah sirih-sekapur.
Dengan menelan ludah membasahi kerongkongan yang tarasa kering, suro mulai mongucap kata, mempergunakan kefasihan-lidahnya.
“Karaeng Datu Museng, hamba datang atas kehendak I Tuan Tumalompoa dan I Tuan Jurubahasa untuk menyampaikan pesannya pada karaengku”.
“Baiklah, apa pesan itu? Kata Datu Museng sambil menatap tajam-tajam abdi ini.
“Anu, karaengku….. eee…., anu….“
“Apa, teruskan suro, jangan ragu-ragu !”
“Begini, karaengku. I Tuan Tumalompoa yang berkuasa di Makassar ini menyuruh supaya karaengku…, menyerahkan segala alat senjata yang ada pada karaengku, dan…, dan…. anu…”
“Ampun karaengku, hamba hanya bagai parang ditetakkan, kapak diayunkan”.
Bersambung…