Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Pendidik yang humanis adalah pendidik yang penuh cinta dan kasih sayang, yang menghormati sekaligus mengakui serta menjunjung tinggi hak peserta didik (Prayitno, 2012). “Anak didikmu bukanlah anakmu. Mereka adalah kehidupan. Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunyai pikiran sendiri. Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tidak melalui mimpimuμ” (Khalil Gibran).
Humanis adalah sebuah pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada masalah-masalah kepentingan manusia, nilai-nilai, dan martabat manusia. Aplikasi humanis lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanis adalah menjadi fasilitator bagi para siswa dan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Witry Yulia dalam Debora, 2018).
Pendidikan menuntut perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, dan membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri (Rogers dalam Palmer, 2003). Proses pembelajaran yang baik menurut Purkey dan Novak (Eggen dan Kauchak, 2012) adalah proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu dan bernilai, mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut.
Uraian di atas menunjukkan pentingnya menilai dan menerima anak secara positif, membangun hubungan dan kepercayaan siswa, dan mengembangkan pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi dirinya. Di sisi lain, keadaan yang sering kita jumpai justru seringkali menempatkan siswa dalam posisi tidak berarti, selalu salah, dan hubungan “guru benar dan siswa salah”.
Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan selayaknya memanusiakan manusia (humanisasi), tetapi yang terjadi justru dehumanisasi yang bersifat ‘nekrofili’, yakni kecintaan kepada jiwa yang kering tanpa makna. Menurut Freire cita-cita pendidikan yang paling luhur adalah bagaimana menjadikan manusia sebagai manusia yang sesungguhnya, yakni manusia yang menyadari dirinya sebagai pelaku aktif, penentu masa depan dan bertanggung jawab terhadap segala peristiwa diri dalam keseluruhan peristiwa kehidupan. Freire mengistilahkan konsep pendidikan yang bermuara pada dehumanisasi dengan sebutan ‘banking concept education’. Seperti halnya tabungan di bank, maka begitulah guru memperlakukan peserta didiknya dengan tabungan-tabungan pengetahuan, yang pada saat ulangan atau ujian akan ditarik kembali oleh si guru (Amir Tengku Ramly, 2008).
Ada dua jenis guru, yaitu guru humanis dan guru kurikulum. Kedua jenis guru tersebut sama-sama profesional. Namun hasil dari kedua jenis guru tersebut akan menghasilkan pendidikan yang berbeda. Dalam dunia pendidikan memerlukan kedua jenis guru tersebut, namun saat ini guru humanis masih sedikit sekali ditemui. Sementara label guru profesional yang terkait dengan dengan manajemen kerja guru semakin banyak ditemui. Namun, apakah guru yang sudah profesional secara kinerja sudah menjadi guru humanis? (Alisa Alfina dalam Ahmad Usman dan Abdul Kadir, 2019).
Guru Humanis
Munif Chatib (2011) membagi guru menjadi tiga, yaitu guru robot, guru materialis dan gurunya manusia (guru humanis).
Guru robot adalah guru yang bekerja seperti robot, mereka dalam kesehariannya hanya pulang pergi dari sekolah ke rumah dan mengajar.Tidak peduli dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dan sesama guru. Guru seperti ini hnya menjalankan program guru saja, yang penting datang mengajar dan pulang. Guru robot adalah guru yang stagnan. Guru materialis adalah guru yang selalu melakukan hitungan mirip transaksi perdagangan dan memikirkan untung serta ruginya. Guru materialis biasanya menjadikan ‘hak’ nya sebagai patokan, baru melakukan kewajiban. Guru materialis adalah guru pintar yang sombong dalam bekerja. Melaksanakan pekerjaannya disesuaikan dengan gaji yang diterimanya, sehingga tidak bisa dilihat benefiditas nya dalam bekerja, dan selalu memberikan ungkapan negatif.
Guru humanis adalah guru yang mengajar dengan keikhlasan. Gurunya manusia selalu belajar dan berusaha untuk membantu kesulitan belajar siswanya, membantu guruguru lain dan melakukan kewajibannya sebagai guru bukan karena kewajiban namun kebutuhan dan sebuah kesadaran. Guru humanis selalu memilki pemikiran positif dan semua permasalahan pasti ada solusinya. Ketiga jenis guru tersebut sama-sama manusia dan sama-sama membutuhkan material untuk kelangsungan hidupnya.yang membedakan dari ketiganya adalah, bahwasannya guru humanis menempatkan penghasilan sebagai akibat yang akan didapat dengan menjalankan kewajibannya, yaitu keikhlasan mengajar. Meyakini bahwa Tuhan Maha mendengar, Maha Melihat dan Maha mengetahui apa yang diinginkan oleh hambanya yang bertawaka dan ikhlas. Guru humanis adalah guru yang memilki karakter jujur, komunikatif, terus melatih ketrampilannya dan pembelajar ((Alisa Alfina dalam Yusuf, 2019).
Guru humanis adalah guru yang memahami bagaimana anak usia belajar.Guru humanis adalah guru profesional yang melakukan kewajiban kinerjanya, namun memiliki filosofi guru, yaitu makna menjadi guru yang sudah tertanam hatinya. Guru humanis yang profesional adalah guru yang inspiratif dan memilki kemampuan mengelola manajemen kerja guru, yaitu mampu membuat perencanaan mengajar, kemudian mengaplikasikannya dengan mengajar di kelas, kemudian harus ada evaluasi tentang kualitas pembelajaran.
Guru humanis adalah guru yang memilki wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan empati serta pengalaman-pengalaman, sehingga bisa memberi rangsangan yang bisa menjadi pondasi agar membuat otak mampu berpikir kritis, memiliki mentalitas dan jiwa positif, memiliki ketrampilan dalam berpikir maupun tindakan dan budaya yang berkarakter. Sehingga guru humanis bukan hanya guru yang memiliki kepandaian dalam berpikir saja, namun juga memiliki ketrampilan, pengalaman dan tindakan lalu menuliskan setiap hal dan pengalamannya menjadi sebuah ilmu yang bisa dibagikan pada generasi selanjutnya (Alisa Alfina dalam Ahmad Usman dan Abdul Kadir, 2019).
Guru humanis adalah guru yang mampu memanusiakan manusia dan mampu memanusiakan dirinya sendiri. Menyadari bahwa manusia itu terdiri dari dua hal, hardware dan sofware. Hardware adalah fisik manusia tersebut, sedangkan hardware adalah ruh manusia yang memiliki hati, rasa, emosi, dan pikiran yang tidak dapat dilihat, namun memiliki kekuatan terbesar dalam keberhasilan.Keberhasilan tertinggi dalam mendidik tidak dilihat secara fisik dan keberhasilan duniawi, tapi perasaan dan kepuasan yang bisa memberikan makna, sehingga mendorong manusia apapun profesi dan dimanapun tempatnya berusaha melakukan yang terbaik dan bermanfaat untuk umat dan alam semesta raya. Guru humanis adalah pencapaian karir tertinggi profesi seorang guru. Karena guru humanis tidak saja melakukan tugasnya sebagai guru secara profesional, namun juga terpatri di dalamnya sebuah filosofi makna menjadi guru, dimana yang dihadapi adalah manusia. Guru memiliki kesadaran bahwa nilai tertinggi mempertanggungjawabkan apa yang diajarkan kepada sang pencipta manusia dan alam raya ini, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta (Alisa Alfina dalam Usman dan Lukas, 2018).
Guru humanis adalah tindakan guru baik bahasa verbal dan non verbal yang menghargai kapasitas siswa dan memperlakukan siswa dengan rasa hormat dan empati sesuai karakteristik masing-masing.
Tanda-tanda Guru Humanis
Magnis-Suseno (2001) menggambarkan pribadi yang humanis adalah pribadi yang memiliki sikap-sikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya, maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan.Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain.Ia anti kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain. Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampu melihat yang positif di balik perbedaan.
Guru humanis adalah guru yang jujur, baik secara fisik maupun lahiriah, karena niatnya mengajar hanya untuk mendapatkan keridhoaan dari Allah SWT.
Ciri-ciri guru yang baik menurut penganut paham humanistik ialah guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan.Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada (Herpratiwi, 2009).
Prayitno (2012) memberikan ciri-ciri para pendidik yang humanis yang meliputi tulus, menghargai peserta didik sebagai pribadi yang utuh, serta memahami serta berempati terhadap siswa.Ketiga sikap tersebut dapat dikembalikan dalam ranah rasio dan rasa sehingga dapat melahirkan sikap pendidik yang peka terhadap para peserta didiknya.
Menurut Rogers (Palmer 2003), pendidikan menuntut perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, dan membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Proses pembelajaran yang baik menurut Purkey dan Novak (Eggen dan Kauchak, 2012) adalah proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu dan bernilai, mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut.
Sebaik apapun konsep pendidikan, yang paling menentukan adalah bagaimana implementasi di lapangan.Sikap dan tindakan guru sebagai pelaksana pendidikan adalah tema yang perlu diperhatikan secara serius.
Perilaku mengajar yang humanis terkait dengan aliran humanism, yaitu sebuah pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada masalah-masalah kepentingan manusia, nilai-nilai, dan martabat manusia (Kartono dan Gulo, 2000). Berdasarkan uraian Djohar (Alimi dan Zaidie, 1996), penulis menyimpulkan bahwa perilaku yang humanis adalah perilaku yang memanusiakan siswa dengan menghargai martabat dan memperlakukan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Menurut Rogers (Palmer, 2003) dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat yang positif, empati, dan suasana yang harmonis/tulus, untuk mencapai perkembangan yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri.
Guru harus mampu menjadi pendidik yang humanis. Yakni guru yang lebih mementingkan humor daripada kegalakannya, senantiasa tersenyum di depan peserta didiknya. Guru yang mampu melakukan refleksi diri untuk dirinya sendiri. Guru perlu mengubah perannya yang sekarang, yang berawal sebagai “penguasa” ruang kelas menjadi seorang fasilitator. Guru hendaknya lebih suportif daripada mengkritisi, lebih banyak memahami daripada hanya menilai. Jika keadaan tersebut dapat dilakukan, maka akan berkembang hubungan menjadi resiprokal, yaitu guru sering menjadi pembelajar, dan peserta didik sering menolong dan mengajar juga. Jadi tidak ada lagi istilah bahwa “guru lebih pintar dari siswa” atau “siswa tidak boleh lebih pintar dari guru”.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah: (1) merespon perasaan siswa; (2) menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang; (3) berdialog dan berdiskusi dengan siswa; (4) menghargai siswa; (5) kesesuaian antara perilaku dan perbuatan; (6) menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa); dan (7) tersenyum pada siswa.
Carl Rogers menyatakan pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan dan hubungan yang nyaman antara terapis dan klien, hubungan dialogis yang memberdayakan klien untuk mencapai aktualisasi diri siswa (Palmer, 2003). Implikasi ajaran tersebut dalam bidang pendidikan adalah perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Pengajaran yang baik adalah “proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu, bernilai, dan mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut” (Purkey dan Novak dalam Eggen dan Kauchak, 2012).
Pendekatan mengajar yang humanis adalah mengakui, menghargai dan menerima siswa apa adanya, tidak membodoh-bodohkan siswa, terbuka menerima pendapat dan pandangan siswa tanpa menilai atau mencela, terbuka untuk komunikasi dengan siswa, dan tidak hanya menghargai potensi akademik, memberi keamanan psikologis, memberi pengalaman sukses kepada siswa; untuk aktivitas-aktivitas kreatif guru tidak banyak memberikan aturan, menceritakan pengalaman, menulis cerita, menghargai usaha, imaginasi, fantasi dan inovasi siswa, stimulasi banyak buku bacaan, dan memberikan aktivitas brainstorming.
Seorang guru yang berkarakter dengan sikap humanisnya dituntut keahliannya mengatur irama kelas dengan nuansa berbhinneka. Sikap humanis sebagai sikap menghargai dan menempatkan seorang peserta didik sebagai seorang yang harus beri harga tak ternilai. Setiap siswa memiliki hak dan perlakuan yang sama serta mendapat kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Borton (Roberts dalam Lukas, 2018) lebih lanjut menjelaskan beberapa karakteristik peran pendidik humanistik. Di samping perhatian terhadap perasaan siswa “di sini dan kini”, yaitu: 1) Guru memfasilitasi siswa mempelajari dirinya sendiri, memahami perasaan dan tindakan yang dilakukannya. 2) Guru mengenali harapan dan imajinasi siswa sebagai bagian penting dari kehidupan siswa dan memfasilitas proses saling bertukar perasaan. 3) Guru memperhatikan bahasa ekspresi non verbal, seperti gesture dan suara. Melalui ekspresi non verbal ini beberapa keadaan perasaan dan sikap dikomunikasikan oleh siswa. 4) Guru menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai cara untuk menstimulasi perilaku yang dapat dipelajari dan diubah. 5) Guru memfasilitasi belajar dengan menunjukkan secara eksplisit tentang bagaimana prinsip-prinsip dasar dinamika kelompok sehingga siswa dapat lebih bertanggung jawab untuk mendukung belajar mereka.
Kriteria bentuk guru yang humanis (Assegaf, 2011) adalah a) Memberikan fasilitas atau sarana dan prasarana yang memudahkan proses belajar mengajar, artinya harus tersedia berbagai macam bahan/sumber pelajaran yang diperlukan. b) Peserta didik diberi kebebasan untuk bergerak di ruang kelas, bebas menyampaikan pendapat mereka, tidak dilarang berbicara yang berkaitan dengan materi pembelajaran, dan tidak ada pengelompokan atas dasar tingkat kecerdasan. c) Menciptakan suasana kelas yang penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka, artinya guru bersedia mendengarkan keluhan peserta didik dengan aman dan mampu menjaga rahasia peserta didik. Jika ada masalah pribadi dengan peserta didik, guru menangani masalah tersebut dengan jalan berkomunikasi secara pribadi tanpa melibatkan suatu kelompok. d) Guru mengamati setiap proses belajar yang dilalui murid dengan membuat catatan dan penilaian secara individual, dan meminimalisir tes formal. e) Adanya kesempatan untuk menumbuhkan keprofesionalan guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan lain termasuk rekan kerjanya (team teaching). f) Guru menghargai kreativitas, mendorong prestasi, dan memberikan kebebasan belajar kepada peserta didik.
Menurut Carl Rogers, guru yang humanis adalah:(Anwar, 2020) : a) Merespons perasaan siswa. b) Mengunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah direncanakan. c) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa. d) Menghargai siswa. e) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan. f) Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa). g) Tersenyum pada siswa.
Cara Menjadi Guru Humanis
Piramida menuju guru humanis jika dibuat sebuah bagan, untuk mencapai tingkatan guru humanis, melewati 4 tahap. Tahap pertama adalah tahap, niat dan akhlak yang memilki prosentasi terbanyak dan sebagai pondasi dasar sebagai guru. Guru yang memilki niat dan karakter akan otomatis menjadi guru kreatif, karena ingin membantu menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi siswanya. Guru yang kreatif akan mampu memenuhi kompetensi guru. Kreatifitas akan membawa guru mengerti banyak hal sehingga guru mampu menuju puncak karis tertingginya sebagai guru, yaitu sebagai guru humanis.
Guru humanis adalah guru yang memanusiakan manusia, yang merupakan karir tertinggi sebagai guru. Guru humanis adalah guru yang mampu melewati tahapan; 1) niat dan karakter, 2) kreatifitas, dan 3) profesionalitas. Tidak ada guru yang bodoh dan tidak bisa mengajar, semua guru pasti bisa mengajar. Guru humanis tidak saja ditemui di sekolah namun di seluruh alam raya yang merupan sekolah informal banyak di dapati guru-guru humanis.
Guru humanis memiliki landasan filoosofi yang kuat. Guru humanis adalah guru yang mampu menciptakan sekolah ramah.
James A. Banks mengungkapkan bahwa pendidikan ibarat people of colour.Artinya pendidikan mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (Moh Saleh dalam Lukas, 2018).
Guru atau pendidik humanis harus mampu mengajar dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan dialogis, pendekatan reflektif, dan pendekatan ekspresif.
Pendekatan dialogis dilakukan dengan membangun dialog dengan para murid atau peserta didik, sifatnya komunikasi dua arah. Pendekatan reflektif dilakukan dengan membangun komunikasi dengan dirinya sendiri, introspeksi, dan evaluasi diri contohnya, sedangkan pendekatan ekspresif dilakukan dengan proses belajar-mengajar atau pembelajaran yang sekreatif mungkin.
Tentu tidak mudah menyatukan ketiga pendekatan di atas, tetapi itu bisa dilakukan.Oleh karena bisa dilakukan, maka menjadi sebuah keharusan bila guru menjadi pendidik yang humanis. Lalu bagaimana caranya?
Kekerasan yang banyak terjadi di dunia pendidikan kita saat ini semakin hari semakin parah saja. Para guru diharapkan dapat mendidik dengan penuh humanis dan berbhinneka. Tanpa pendidikan yang humanis, jangan harap anak didik kita mau menurut atau mengikuti apa yang kita sampaikan.
Pendidik yang berbhinneka dalam mendidik dengan konsep multikultural juga sangat dipentingkan. Sebab, konsep multikultural harus diangkat kembali mengingat saat ini wawasan kebhinnekaan di tengah masyarakat dirasakan sudah mulai pudar. Banyak peserta didik yang kurang memahami arti kebhinekaan. Banyak yang tak mengerti indahnya keberagaman.
Indonesia itu terdiri dari banyak suku, agama, dan bahasa, tetapi karena pengaruh-pengaruh dari luar, paham kebhinnekaan itu mulai luntur. Untuk itulah, para pendidik perlu menanamkan kembali nilai-nilai multikultural dan kebersamaan kepada para siswanya melalui pendidikan humanis.
Kita berharap, dengan adanya pelatihan-pelatihan menjadi pendidik yang humanis untuk para guru, khususnya tentang pendidikan yang humanis, para pendidik bisa menjadi media untuk menyosialisasikan makna agama, radikalisme, dan terorisme yang sebenarnya dengan basis humanisme dan kebhinnekaan.
Guru harus menjadi agent of change danmurid harus diberi pengertian tentang kebhinnekaan Indonesia. Nantinya, diharapkan dengan wawasan humanisme dan kebhinnekaan ini anak-anak kita tidak akan terjerumus kepada radikalisme berbasis agama.
Pelatihan menyosialisasikan pendidikan berbasis humanisme dan Bhinneka Tunggal Ika ini bertujuan agar para guru dapat mengajarkan kebhinnekaan kepada murid-murid mereka sehingga para murid terhindar dari segala bentuk radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Guru menjadi humanis atau tidak humanis bukanlah berdasarkan label yang diberikan oleh pihak luar, melainkan dilihat dari: pertama, terus melakukan usaha untuk mengarahkan dirinya guna memenuhi karakteristik guru yang humanis; dan kedua, selalu mengembangkan kelas yang humanis melalui hubungan yang apresiatif, tindakan guru yang humanis, dan proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran yang tepat.
Prinsip-prinsip pendidik humanis yang diambil dari prinsip progresivisme adalah prinsip pendidikan yang berpusat pada anak (child centered), peran guru yang tidak otoriter, fokus pada keterlibatan dan aktivitas siswa, dan aspek pendidikan yang demokratis dan kooperatif. Prinsip-prinsip pendidikan ini adalah sebagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan pada metode pengajaran formal yang kurang memberi kebebasan pada siswa sehingga siswa menjadi tidak kreatif yang sekadar mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh orang dewasa.
Dimensi Kelas yang Humanis
Ruang kelas dapat menjadi humanis atau tidak humanis bukanlah berdasarkan label yang diberikan oleh pemerintah atau siapa saja, melainkan dapat dilihat dari proses yang terjadi di kelas sebagai hasil dari interaksi antara guru siswa dan antar siswa.
Begitu banyak metode pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk mencapai kelas yang lebih humanis. Mulkan (2010) telah menyadur buku “Humanizing The Class Room; Models of Teching in Affective Education yang ditulis oleh John P. Miller. Dalam buku saduran tersebut, Mulkan menjelaskan tentang 17 model pembelajaran pengembangan kepribadian dalam pendidikan berbasis kelas. Tujuh belas model tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) model pembelajaran pengembangan diri, 2) model pembelajaran konsep diri, 3) model pembelajaran kepekaan sosial, dan 4) model perluasan kesadaran.
Semua model yang dibahas dalam buku tersebut berusaha mengembangkan manusia seutuhnya yaitu dari dimensi kognitif, afektif dan kepribadian, dan psikomotorik (tertentu). Guru dapat memilih model yang tepat untuk dapat diterapkan di kelasnya masing-masing.
Salah satu cara untuk mendeskripsikan pendidikan humanistik adalah dengan melihat apa yang terjadi di kelas. Kirchenbaum (Robertsdalam Yusuf, 2019) melihat ada 5 dimensi yang dapat dijadikan jalan untuk menjadi kelas yang humanis.
Pertama, pilihan dan kendali diri
Dalam hidupnya siswa dihadapkan dengan proses menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Pendidikan humanistik memfasilitasi kemampuan tersebut dengan memberikan latihan mengambil keputusan terkait dengan tujuan sekolah maupun aktivitas harian. Siswa dapat dilatih melalui aktivitas kegiatan siswa dan belajar yang memungkinkannya memiliki pilihan dan kendali dalam merancang, menetapkan tujuan, memutuskan, dan mempertanggung jawabkan keputusan yang telah dibuatnya.
Kedua, memperhatikan minat dan perasaan siswa
Kelas menjadi humanis ketika kurikulum dan pembelajaran menunjukan perhatian pada minat dan perasaan siswa. Mengkaitkan materi pelajaran dengan minat, pengetahuan, dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dan meminta tanggapan siswa merupakan contoh aktivitas yang dinilai siswa memperhatikan minat mereka.
Ketiga, manusia seutuhnya
Perlu perubahan orientasi pembelajaran dan penilaian dari orientasi aspek kognitif menuju ke arah perhatian, penghormatan, dan penghargaan terhadap siswa sebagai manusia seutuhnya. Integrasi keterampilan berpikir dengan kecakapan hidup yang lain sangat penting agar lebih efektif menjadi individu.
Keempat, evaluasi diri
Pendidikan humanistik bergerak dari evaluasi yang dikontrol guru menuju evaluasi yang dilakukan oleh siswa. Siswa perlu difasilitasi untuk memantau kemajuan belajarnya sendiri baik melalui tes atau umpan balik dari orang lain.
Langkah-langkah umum yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran humanistik di kelas adalah: (1) Guru merumuskan tujuan belajar yang jelas; (2) Guru mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan positif; (3) Guru mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri; (4) Guru mendorong siswa untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang ditunjukkan; (5) Guru merumuskan tujuan belajar yang jelas; (6) Guru mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan positif; (7) Guru mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri; (8) Guru mendorong siswa untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang ditunjukkan; lalu bagaimanakah kondisi pembelajaran di kelas yang mengaplikasikan pendekatan humanistik di kelas? (Farichin Farich dalam Ahmad Usman dan Abdul Kadir, 2019).
Ada beberapa ciri aplikasi pembelajaran humanistik di kelas. Ciri-ciri tersebut adalah 1. Memberi kesempatan seluasnya agar siswa mengembangkan diri secara potensi, pribadi, sikap, berkembang menuju taraf yang lebih baik/sempurna; 2. Ada proses pemanusiaan manusia; 3. Siswa memiliki peran; dan 4. Proses yang berlangsung adalah pembelajaran bukan pengajaran. Apakah Anda merasa sudah melakukan ini? Kalau sudah, selamat! Berarti Anda selangkah lebih maju dengan memperlakukan siswa lebih baik. Setelah kita melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan humanistik, tentunya kita berharap pembelajaran tersebut berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pembelajaran humanistik dianggap berhasil apabila: 1. Siswa merasa senang. 2. Siswa bergairah dalam belajar. 3. Siswa berinisiatif dalam belajar. 4. Siswa mengalami perubahan pola pikir. 5. Siswa merasa bebas atau tidak tertekan dalam mengikuti keseluruhan proses pembelajarn. 6. Siswa berani menyampaikan gagasan dan mengekspresikan diri. 7. Siswa tidak terikat oleh pendapat orang lain. 8. Siswa mengatur pribadi secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan dan norma. 9. Siswa berdisiplin. 10. Siswa mengikuti etika yang berlaku (Farichin Farich dalam Ahmad Usman dan Abdul Kadir, 2019).
Guru bukan Dewa
Guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru-guru yang manusiawi. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok (Hamacheek dalam Abu Ahmadi dan W.Supriyono, 2013:237).
Menurut Moh. Amin (Baharuddin dan Moh Makin, 2011), peranan guru dalam pendidikan humanis adalah secara terus-menerus melakukan segala sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept mereka. Ini berarti bahwa guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula.
Guru yang humanis adalah guru yang memperlakukan anak didiknya sesuai dengan potensi mereka, tanpa memaksa, dan menekan siswa menjadi seseorang yang bukan dirinya. Setiap siswa memiliki potensi masing-masing, berbeda antara satu dan lainnya. Dalam hadits, seorang pendidik yang humanis haruslah dapat memberi pengajaran sesuai tingkatan psikologis siswa, menghindari pemberian pengajaran setiap waktu karena dikhawatirkan siswa akan merasa bosan, tegas terhadap siswa tanpa harus marah, dan sikap yang apa adanya. Pendidik harus mampu memunculkan rasa kasih sayang, mampu memberi motivasi, dan menumbuhkan suasana belajar dialogis di dalam kelas.
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
Pada prinsipnya hakekat dan tujuan pendidikan cerdas dan humanis menurut Samsuddin St. (Fahruddin, 2008) adalah membentuk kepribadian peserta didik yang cerdas secara intelektual, spiritual emosional dan sosial yang terwujud dalam sikap dan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kepentingan banyak orang dan lingkungan alam sekitarnya terutama dalam hubungan dengan sesama manusia dan dengan Tuhan penciptanya. Pendidikan yang cerdas dan humanis sebagai sebuah proses yang dilakukan secara sadar dan terencana dengan tujuan yang jelas, materi yang jelas, strategi dan metode yang jelas dengan menggunakan media/alat yang memenuhi standar serta dilakukan secara aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan, maka akan menghasilkan manusia yang cerdas secara intelektual, spiritual, emosional dan sosial serta berarti bagi sesama manusia, lingkungan alam sekitar terutama bagi Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang pencipta.
Semoga !!!