Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Aktor adalah seseorang, sekelompok orang, atau suatu badan hukum yang melakukan suatu proses mediasi atau penggerakan untuk melakukan suatu perubahan yang terecana dengan baik, berdasarkan kaidah pembangunan atau hanya sekadar pengalaman hidupnya (Usman, 2023).
Pembangunan bertalian dengan konsep pertumbuhan (growth), rekonstruksi (reconstruction), modernisasi (modernization), westernisasi (westernization), perubahan sosial (social change), pembebasan (liberation), pembaharuan (innovation), pembangunan bangsa (national building), pembangunan nasional (national development), pengembangan dan pembinaan (Ndraha dalam Adnan dan Sufian Hamim, 2012).
Pembangunan adalah upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistis (Rustiadi, 2011).
Aktor Politik Pembangunan dan Aktor Kebijakan
Di antara aktor pembangunan : ada aktor politik pembangunan dan ada aktor kebijakan.
Aktor politik pembangunan telah menjadi perhatian serius dalam analisis pembangunan. Scramm dan Lerner (Warjio, 2016) telah merumuskan aktor politik pembangunan yang terdiri dari dua kelompok. Pertama, sekelompok kecil warga masyarakat yang merumuskan perencanaan dan berkewajiban dan menggerakkan masyarakat yang lain untuk berpatisipasi dalam pembangunan. Pengertian merumuskan perencanaan pembangunan itu, tidak berarti bahwa ide-ide yang berkaitan dengan rumusan kegiatan dan cara mencapai tujuan hanya dilakukan sendiri oleh kelompok ini, akan tetapi mereka sekadar merumuskan ide-ide atau aspirasi yang dikehendaki oleh seluruh warga masyarakat melalui suatu mekanisme yang telah disepakati. Sedang perencanaan pembangunan di arus yang paling bawah, disalurkan melalui pertemuan kelompok ataupun permusyawaratan pada lembaga terbawah, secara formal dan informal. Kedua, masyarakat luas yang berpatisipasi dalam proses pembangunan, baik dalam bentuk: pemberian input (ide, biaya, tenaga dan lain-lain), pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan pengawasan serta pemantauan hasil-hasil pembangunan. Dalam kenyataan, pelaksana utama kegiatan pembangunan justru terdiri dari kelompok ini, sedangkan kelompok “elite masyarakat” hanya berfungsi sebagai penerjemah “kebijakan dan perencana pembangunan” sekaligus mengorganisasi dan menggerakkan partisipasi masyarakat.
Setiap kebijakan tidak lepas dari peran berbagai atau multi-aktor. Aktor dalam kebijakan dapat berarti individu-individu atau kelompok-kelompok, di mana para pelaku ini terlibat dalam kondisi tertentu sebagai suatu subsistem kebijakan (Aswad Lipu, 2011).
Di era otonomi daerah, ke mana prioritas pembangunan akan bergerak sangat bergantung kepada para pemain (aktor) pembangunan di daerah. Aktor pembangunan di daerah yang cukup berpengaruh terhadap jalannya pergerakan pembangunan adalah eksekutif (bupati, walikota, gubernur), pembantu eksekutif (kepala dinas/badan dan instansi lain setingkat), anggota legislatif, dan juga tokoh masyarakat lokal. Dalam cara pandang politik, ke mana prioritas pembangunan akan bergerak sangat bergantung pada kekuatan masing-masing aktor (pemain) untuk saling berebut “pemaknaan” apa itu “pembangunan”. Akhirnya, aktor yang “power-nya” kuat yang mampu menggiring ke mana pembangunan akan bergerak (Argubi dan Ahmad Usman, 2019).
Gonsalves (Iqbal, 2005) mendeskripsikan aktor implementasi atas siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi, atau lembaga dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Pada umumnya peran aktor dalam implementasi dibagi menjadi tiga, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Thompson (Wakka, 2014) mengungkapkan bahwa peran aktor dalam pelaksanaan suatu kebijakan atau program dipengaruhi oleh kekuatan (power) dan kepentingan (interest) yang dimiliki oleh aktor tersebut, sehingga dapat dikategorikan menjadi empat jenis. a) Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) yang tinggi tetapi memiliki kekuatan (power) yang rendah diklasifikasikan sebagai subyek (subjects). Aktor ini memiliki kapasitas yang rendah dalam pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan aktor lainnya. Aktor ini sering bisa sangat membantu sehingga hubungan dengan aktor ini harus tetap dijaga dengan baik; b) Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang tinggi diklasifikasikan sebagai pemain kunci (key players). Aktor ini harus lebih aktif dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru; c) Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang rendah diklasifikasikan pengikut lain (crowd), untuk melibatkan aktor ini lebih jauh karena kepentingan dan pengaruh yang dimiliki biasanya berubah seiring berjalannya waktu. Aktor ini harus tetap dimonitor dan dijalin komunikasi dengan baik; dan d) Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) yang rendah tetapi memiliki kekuatan (power) yang tinggi diklasifikasikan sebagai pendukung (contest setters). Aktor ini dapat mendatangkan resiko sehingga keberadaannya perlu dipantau dan dikelola dengan baik. Aktor ini dapat berubah menjadi key players karena suatu peristiwa. Hubungan baik dengan stakeholder ini terus dibina. Untuk itu segala informasi yang dibutuhkan harus tetap diberikan, sehingga mereka dapat terus berperan aktif dalam pencapaian tujuan.
Indikator Keberhasilan Peran Aktor
Menurut Yakin (2011) ada empat unsur yang perlu diperhatikan untuk menganalisis keberhasilan peran para aktor dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu sebagai berikut. a) partisipasi aktor, yaitu dengan menilai bagaimana peran aktor-aktor terkait dalam pelaksanaan suatu kebijakan; b) perspektif aktor, yaitu dengan menilai bagaimana aktor-aktor memahami program; c) aksesibilitas aktor, yaitu dengan menilai bagaimana akses aktor-aktor dalam pelaksanaan program; dan d) penentuan tindakan, yaitu dengan menilai bagaimana peran aktor dalam menentukan tindakan.
Kategorisasi Aktor
Aktor-aktor pembangunan itu terdiri atas: (1) pemerintah, (2) dunia usaha, (3) lembaga keuangan, (4) rumah tangga, dan (5) sektor luar negeri (Saksomo, 2012). Aktor atau pelaku pembangunan bukan hanya pemerintah, tetapi meliputi 5 (lima) plus 1 (satu). Yakni: (1) pemerintah, (2) pihak legislatif, (3) swasta, (4) masyarakat, dan (5) akademisi sebagai think tank pembangunan, serta (6) partner (mitra) internasional.
Dalam tahapan implementasi pembangunan, terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka bisa berasal dari kalangan pemerintah maupun masyarakat, dan diidentifikasi dari kalangan birokrasi, legislatif, lembaga peradilan, kelompok-kelompok penekan dan organisasi komunitas (Solahuddin K, 2009).
Menurut Howlet dan Ramesh (Aswad Lipu, 2011), aktor-aktor dalam kebijakan terdiri atas 5 kategori, yaitu : 1) Aparatur yang dipilih (elected official) yaitu berupa eksekutif dan legislatif; 2) Aparatur yang ditunjuk (appointed official), sebagai asisten birokrat, biasanya menjadi kunci dasar dan sentral figure dalam proses kebijakan atau subsistem kebijakan; 3) Kelompok-kelompok kepentingan (interest group), pemerintah dan politikus seringkali membutuhkan informasi yang disajikan oleh kelompok-kelompok kepentingan guna efektifitas pembuatan kebijakan atau untuk menyerang oposisi mereka; 4) Organisasi-organisasi penelitian (research organization), berupa universitas, kelompok ahli atau konsultan kebijakan; 5) Media massa (mass media), sebagai jaringan hubungan yang krusial di antara negara dan masyarakat sebagai media sosialisasi dan komunikasi melaporkan permasalahan yang dikombinasikan antara peran reporter dengan peran analis aktif sebagai advokasi solusi.
Kemitraan Multi-Aktor
Kemitraan multi-aktor terdiri dari pemerintah yang berperan sebagai regulator. Swasta, mendukung kebijakan dengan membuat program untuk pembangunan masyarakat. Sedangkan masyarakat berperan dalam bentuk pastisipasi (Syahrir, 2004).
Adanya kemitraan diharapkan terciptanya “win-win solution partnership” (Hafsah, 2000). Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka aktor-aktor pembangunan menurut Syahrir (2004) memiliki peran sebagai berikut: (1) Pemerintah. Pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan (policy) yang memihak pada community; (2) Swasta. Membuat program yang integrasi dengan pembangunan komunitas dengan cara memberikan pelatihan atau kegiatan magang dan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal; (3) Masyarakat atau komunitas. Masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan dengan cara memiliki ketrampilan. Peran masing-masing aktor dalam kemitraan dapat dilakukan melalui berbagai pola kemitraan, di antaranya yaitu pola kemitraan semu, mutualistik, dan konjugasi (Sulistyani, 2004).
Mestinya, demikian Nana Rukmana DW. dkk. (2006), pengelolaan pembangunan perkotaan mencakup paling tidak tiga jalur gagasan: (a) pengenalan pendekatan sistem dalam perencanaan kota (dikembangkan oleh McLoughlin dan Chadwik); (b) perubahan perspektif sosiologi perkotaan (dianjurkan oleh Pahl); dan (c) perkembangan teknik pengelolaan dari pimpinan daerah dan penentu kebijakan dalam menyediakan sarana-prasarana perkotaan (diungkapkan oleh Stewart dan Edison).
Wajah Kota
Bagaimana bentuk wajah kota di masa depan, bergantung kepada aktor mana yang paling dominan dalam merancang-bangunnya, karena begitu banyaknya aktor-aktor pembangunan yang terlibat. Namun demikian, dilandasi asumsi bahwa salah satu kelompok aktor tertentu akan lebih dominan ketimbang yang lain. Karenanya, terdapat beberapa kemungkinan bentuk wajah kota masa depan. Peter Hall yang dikutip Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto (2009) mengestimasi modelnya sebagai berikut. Pertama, bila yang mendominasi adalah para rekayasawan dan teknolog, yang tercipta adalah “technopolis.” Wujudnya bisa berupa kota yang sarat dengan bangunan jangkung, kota kompak satu dimensi, kota terapung, kota di dalam laut, kota di udara, kota yang bisa berjalan dan semacamnya. Melalui kecanggihan teknologi kehadiran kota yang berorientasi pada kecanggihan teknologi seperti itu bukan merupakan perkara yang mustahil. Kedua, manakala yang sangat berperan adalah kalangan pengusaha atau aktor swasta, yang muncul adalah “profitopolis.” Wujudnya berupa kota yang sangat efektif dan efisien, biasanya dengan pola papan catur, dan potongan atau profil kota mirip piramid. Penataan kota seperti itu dilandasi perhitungan ekonomi atau analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) yang amat cermat, mengabaikan aspek sosial-budaya.
Ketiga, bila penentu kebijakan atau pengelola perkotaan, dalam hal ini pimpinan pemerintah daerah : gubernur, bupati atau walikota, yang mendominasi pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pembangunan kota, yang tercipta adalah “marxopolis.” Kota-kota akan tampak seragam. Memang serba rapi, teratur, menyiratkan kedisiplinan, namun akan terlihat kaku, monoton, tidak ada keberagaman atau variasi. Persepsi atau aspirasi yang memberagam tidak diserap apalagi diwadahi. Keempat, kalau yang lebih berperan adalah dari kalangan ilmuan dan pakar ahli lingkungan, maka yang akan tercipta adalah “ecopolis.” Lingkungan binaan termasuk karya arsitekturnya akan menyatu, selaras, serasi, dan seimbang dengan lingkungan alamnya. Konservasi energi dan pelestarian keseimbangan ekologis menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan kota.
Kelima, yang mungkin dewasa ini masih akan dinilai utopis, adalah bila wajah kota ditentukan sendiri sepenuhnya oleh segenap warganya, sehingga tercipta apa yang disebut dengan “humanopolis.” Keterlibatan warga kota dalam pembangunan kota yang berwajah manusia tidak sekadar terbatas pada pemberian informasi, penyelenggaraan diskusi dan konsultasi, tetapi sudah sampai pada tahap “citizen power.” Rakyatlah yang lebih menentukan wajah kota masa depan.
Karenanya, penataan kota yang manusiawi, merupakan perpaduan antara ecopolis, humanopolis, dan technopolis. Konsekuensi lainnya, pembangunan kota perlu dimanajerial dengan arif.
Bagaikan Jasad Hidup
Suatu kota dapat dipandang dari paham biologisme atau suatu jaringan organisme utuh yang terdiri atas dua subsistem yaitu city’ s hard ware atau jasmani kota dan city’ s soft ware atau rohani kota (Budihardjo, 2003).
Perkembangan kota tentu saja tidak dapat dihambat, karena pada hakikatnya kota merupakan “the single most complex product of the human mind”. Kota dapat diibaratkan bagaikan jasad hidup yang akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan masalahnya, atau sejalan dengan penanggulangan kendalanya (Budihardjo dalam Zakiatussoleha, 2022).
Menurut Eko Budihardio, kota mirip dengan jasad hidup. Jaringan transportasi dapat diibaratkan seperti otot-otot di tubuh yang mengalirkan darah agar selalu lancar menuju ke berbagai bagian tubuh. Selain itu, tidak kalah penting dalam penciptaan kota renaisans adalah yang berkaitan dengan gerakan hijau (meminjam istilah Patricia Martin “environmentally progressive cities”). Seperti diamanatkan dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007, bahwa setiap kota wajib menyisihkan 30 % dari lahan kota untuk ruang terbuka hijau. Akan tetapi. itu saja tidak cukup karena mesti diatur persebaran atau distribusinya, tata lingkungannya, Jenis tanamannya, dan perabot tamannya.
Sistem jasmani kota (city’s hardware). Subsistem ini mencakup gejala:-metabolisme kota, dalam kehidupan kota tentunya terdapat jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan kota. Begitupun dengan pembuangan, kota mempunyai pengolahan limbah dengan perlakuan tertentu. Jika penyaluran masuknya kebutuhan dan limbah tidak beres, maka kota akan mengidap penyakit metabolis yaitu gangguan pencernaan. Gejala ini dapat filigt dengan adanya banjir jika saluran air kotor tersebut tertutup oleh sampah, harga meningkat jika pasokan pangan terganggu. Kardiovaskuler kota, di dalam kota terdapat lalu lintas yang berfungsi untuk mengirim pangan ke pelosok-pelosok, mengantarkan para pekerja. Jika lalu lintas ini terganggu akibat kepadatankendaraan (macet), maka terganggu pula peredaran kota tersebut. Dan udara kotor akibat industri dan transportasi akan mengakibatkan pernapasan terganggu dan membahayakan paru-paru. Nervous, ini bisa diidentikan dengan jaringan informasi atau komunikasi seperti radio, televisi, koran dan sebagainya. Skeletal pada kota, ini bisa diidentikan dengan infrastruktur kota seperti jaringan jalan, gedung-gedung, jembatan, perumahan dan sebagainya.
Semoga !!!