Oleh : Nehru Asyikin
INIPASTI.COM – Januari tahun 2019, yang berarti semakin dekatnya pesta demokrasi di Indonesia. dan semakin sibuknya para politisi tanah air mempersiapkan dirinya menghadapi Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan serentak tahun ini. Maka dalam praktik demokrasi yang sudah berjalan hingga saat ini, perebutan kekuasaan dari indikator sistem perpolitikan Indonesia di tandai dengan partai politik dan kekuatan parlemen yang kuat. Sehingga di tahun politik seperti saat ini, kepentingan untuk berkuasa kembali maupun mengambil alih kekuasaan, baik di Parlemen maupun di kursi Eksekutif (Presiden) adalah tujuan yang hendak di
capai.
Seperti lazimnya tahun politik, banyak anggota-anggota DPR RI yang izin dari kewajibannya di Parlemen untuk kembali ke daerahnya masing-masing, hal ini ternyata menimbulkan pandangan berbeda-beda dari masyarakat, pro dan kontra mewarnai sikap para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, mengingat bahwa kewajiban para anggota dewan harus tetap dilaksanakan, apalagi menyangkut fungsinya sebagai wakil rakyat.
Secara teori, para pejabat yang di pilih oleh rakyat dalam sistem demokrasi di Indonesia, ialah para pejabat yang dipilih melalui pemilihan dengan di usung oleh partai politik maupun perseorangan yang diatur oleh undang-undang, biasanya pejabat yang mendapatkan jabatannya melalui pemilihan secara langsung, ialah Presiden dan wakilnya, Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Walikota, Kepala daerah tingkat I dan II, dan bahkan seorang Kepala Desa.
Dalam perspektif Hukum Tata Negara, legitimasi yang di dapatkan dari konstitusi adalah sah, karna konstitusi yang mengamantkan langsung, seperti lembaga bernama DPR, lembaga yang termuat di dalam UUD 1945 beserta hak- hak yang dimilikinya, bahkan diberikan pula hak-hak anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (Vide Pasal 20 dan 20A UUD 1945) ikut di atur di dalam Konstitusi. Akan tetapi, hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan kewajiban anggota DPR, sebab dalam pasal tersebut di katakan beberapa hak yang baik secara kelembagaan maupun secara individu, baik di atur langsung oleh konstitusi maupun oleh undang-undang.
Dalam perannya sebagai anggota DPR, selain hak-haknya di dalam Konstitusi, anggota DPR juga memiliki batasan-batasan yang tidak boleh di langgar hal ini mengacu pada Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib yang di dalamnya mengatur susunan dan kedudukan, hak dan kewajiban, serta pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia beserta alat kelengkapannya sebagai peraturan internal.
Di dalam peraturan tata tertib tersebut, dituliskan secara tegas mengenai kewajiban anggota DPR RI, salah satunya adalah mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, serta memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kewajiban tersebut harus ditaati sebagai konsekuensinya sebagai wakil rakyat di Parlemen, di dalam tata tertib tersebut, menghimpun tugas-tugas pokok anggota DPR RI.
Konsekuensi yang dimaksud adalah diberhentikan atau pemberhentian antar waktu, yaitu apabila anggota DPR tidak dapat melakasanakan tugasnya selama tiga bulan berturut-turut tanpa ada keterangan apapun, dan apabila anggota DPR diberhentikan oleh Partainya. Di sini dapat dilihat bahwa ada tarik ulur antara kepentingannya sebagai anggota DPR yang disisi lain karna diusung oleh partainya.
Dalam melaksanakan sanksi yang diberikan kepada oknum DPR RI atas sikapnya yang melanggar peraturan tata tertib tersebut, maka dibentuklah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai alat kelengkapan DPR. Fungsi MKD dalam internal DPR berasal dari para anggota dewan itu sendiri dengan memperhatikan perimbangan jumlah dari setiap fraksi-fraksi. MKD memiliki fungsi pencegahan, pengawasan dan penindakan.
Tetapi hanya sebatas pelanggaran Kode Etik atas ucapan, sikap, perilaku dan tindakan anggota, maka logikanya adalah, pelanggaran etika tersebut belum tentu melanggar hukum karna pelanggaran etika jabatan, kecuali oknum DPR melakukan pelanggaran hukum berupa korupsi sudah pasti ia melanggar kode etik. Jadi, peraturan tata tertib diatas di dalam hukum administrasi negara di biasa dikenal dengan regulation self body atau peraturan yang mengatur diri sendiri di internal lembaganya.
Mengenai kinerja legislatif yang menurun, bisa jadi bentuk kebimbangan dari anggotanya, apakah tetap menjalankan kewajibannya sebagai anggota DPR yang sudah terpilih, yaitu sebagai legislator dan fungsi DPR lainnya, atau pulang kampung bersiap-siap menuju pemilihan legislatif dan Presiden yang akan dihadapi sebentar lagi.
Kewajiban yang terbagi inilah menimbulkan dilema, yang mana kedua kewajiban tersebut harus bisa dijalankan berbarengan atau memilih salah satunya yang di prioritaskan, karna memang di dalam Tatib di atas, konsekuensi yang cukup urgent sebenarnya bukan pada pemberhentian karna tidak melaksanakan tugasnya selama tiga bulan tanpa kabar, karna hal itu bisa di antisipasi, apalagi izin anggota yang tidak hadir bisa diselang-selingkan, misal hari ini hadir dalam rapat, besok atau lusanya izin tidak hadir agar tidak mendapatkan sanksi.
Namun pemberhentian yang dilakukan oleh partailah sangat berat, karna tindakan itu dapat mencabut keanggotaannya di dalam partai sekaligus sebagai wakil rakyat diparlemen.
Akan tetapi, pelayanannya terhadap rakyat, DPR harus tetap menjalankan kewajibannya sebagai wakil-wakil rakyat, sebagaimana hubungan antara si wakil yang di wakilinya, karna hubungan ini telah timbul sejak si wakil terpilih dalam pemilihan, maka diharapkan si wakil dapat membagi tenaga dan pikirannya terhadap kepentingan rakyat terlebih dahulu baru pada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya.
Maka kemudian, selain kontrol dari internal yang dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan, kontrol terhadap kinerja parlemen sebenarnya dapat dilakukan dari eksternal lembaga, yaitu kontrol (pengawasan) masyarakat itu sendiri, sebab kekuasaan yang didapatkan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu bersumber dari rakyat, apabila rakyat tidak puas terhadap kinerja dari anggota parlemen tersebut, atau pun partai yang mengusungnya tidak memperdulikan kepentingan rakyat, maka menurut budaya demokrasi yang kita anut, kekuasaan melalui perwakilan melalui pemilihan legislatif selanjutnya, rakyat di berikan hak konstitusional untuk tidak memilih kembali orang yang
sama.
*) Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta