Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Alan Deutschman dalam bukunya Change Or Die (2008) mengungkapkan betapa pentingnya perubahan sehingga diibaratkan orang yang tidak mau berubah sama saja dengan mati. Berubah atau mati! Seorang arsitek Revolusi Perancis, Mirabeau, pernah berkata, “Ada orang-orang yang tidak pernah mengubah pemikirannya. Itulah orang-orang yang tidak pernah berpikir sama sekali.”
“Jika kita tidak berubah, kita tidak tumbuh. Jika kita tidak tumbuh, kita tidak benar-benar hidup” (Gail Sheehy). “Hidup hanya akan berubah ketika Anda menjadi lebih berkomitmen pada impian Anda daripada berada di zona nyaman Anda” (Billy Cox). “Orang pesimis mengeluh tentang angin; orang yang optimis mengharapkannya berubah; realis menyesuaikan layar” (William Arthur Ward).
Seorang pemikir, sekaligus arsitek hukum Romawi bernama Cicero, pernah berkata “Yang senantiasa berubah adalah perubahan itu sendiri.”
Setiap perubahan penting berakar dari keberhasilan sebelumnya. Kebutuhan akan perubahan lahir dari keberhasilan sebelumnya. Keberhasilan adalah merupakan ukuran tentang melakukan suatu yang benar dan melakukan sesuatu dengan baik (Black dan Gragersen, 2002).
Kunci Perubahan
Alan Deutschman (2008) mengemukakan tiga kunci perubahan. Pertama, relate (menjalin hubungan), dalam hal ini kita perlu menjalin hubungan emosional yang baru dengan seseorang atau sebuah komunitas yang dapat memberikan inspirasi dan mempertahankan harapan. Kedua, repeat (mengulangi), di mana hubungan baru memerlukan pengulangan yang terus-menerus hingga pola-pola kebiasaan baru menjadi sesuatu yang alami. Ketiga, reframe (membingkai kembali), setelah terbiasa dengan sesuatu yang baru (perubahan) akan memberikan pelajaran bagi kita cara-cara berpikir yang baru mengenai situasi yang kita alami dalam kehidupan.
Fullan (2004) memberikan lima butir kunci tentang perubahan, sebagai berikut. Pertama, perubahan bersifat cepat dan nonlinear sehingga dapat menimbulkan suasana berantakan. Akan tetapi, perubahan juga menawarkan potensi besar untuk terobosan kreatif. Paradoks yang timbul adalah bahwa transformasi tidak mungkin terjadi tanpa terjadi kekacauan. Kedua, kebanyakan perubahan dalam setiap sistem terjadi sebagai respon terhadap kekacauan dalam sistem lingkungan internal dan eksternal. Apabila respons terhadap gangguan dilakukan segera dan bersifat reflektif, seringkali tidak dapat dikelola, dan masalah lain justru dapat timbul sebagai akibatnya. Masalah juga dapat timbul ketika seseorang berusaha mengelola atau memanage perubahan. Ketiga, faktor rasional dalam organisasi termasuk strategi dan operasi tidak terintegrasi dengan baik; adanya perbedaan individual, cara pendekatan, dan masalah, persahabatan dan perseteruan yang terjadi mempengaruhi fungsi subsistem, dan faktor politik, seperti kekuasaan dan kewenangan, perlindungan, dan kompetisi atas sumber daya. Keempat, stakholder utama dan budaya rganisasi menjadi pertimbangan pertama untuk perubahan organisasi. Kelima. perubahan tidak dapat di-manage atau dikelola atau dikontrol. Akan tetapi, dapat dipahami dan mungkin memberi petunjuk. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Drucker bahwa kita tidak sekadar mengelola perubahan, tetapi menciptakan perubahan.
Filosofi Tiga “Mulai”
Keberhasilan perubahan tergantung dari strategi yang diterapkan oleh agen pembaharu. Hal yang paling penting untuk sebuah perubahan adalah harus diawali dengan filosofi tiga “mulai”. Apa itu? Yakni (1) mulai dari diri sendiri (start with yourself), (2) mulai dari hal-hal yang kecil (start small), dan (3) mulailah sekarang (start now), jangan menunggu-nunggu atau lakukan sedini mungkin (start early).
Pertama, mulai dari diri sendiri. “Ketika kita tidak mampu lagi mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri” (Viktor Frankl). “Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri” (Leo Tolstoy).
Perubahan dan pembenahan terhadap diri sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai profesi merupakan titik sentral yang harus dimulai. Setiap orang umumnya selalu memiliki cita-cita. Bahkan tidak sedikit orang yang mengiringi cita-citanya dengan do’a, agar hidup dengan kebaikan (hasanah) di dunia dan di akhirat. Tetapi, bertumpu kepada do’a saja tentu tidak cukup. Karenanya, setiap manusia perlu mengetahui dan memulai untuk dapat mencapai perubahan menuju hasanah yang diinginkan.
Perubahan seseorang, dimulai dari perubahan dalam dirinya. Kalau pikirannya berubah dan ia melakukan perubahan itu secara berkelanjutan. Bagus sekaliWalter Doyle Staples (Usman dan Kadir, 2020),menulis dalam kalimat yang puitis namun penuh tenaga.
Bila engkau mengubah pikiranmu,
maka engkau mengubah keyakinanmu
Bila engkau mengubah keyakinanmu
maka engkau mengubah harapanmu
Bila engkau mengubah harapanmu
maka engkau mengubah sikapmu
Bila engkau mengubah sikapmu
maka engkau mengubah perilakumu
Bila engkau mengubah perilakumu
maka engkau mengubah penampilanmu
Bila engkau mengubah penampilanmu
maka engkau mengubah hidupmu.
Rhenal Kasali (2015) memperkenalkan lima sifat yang perlu dimiliki seseorang agar orang itu dapat mengembangkan perubahan yang positif di dalam dirinya.
1.O = openness to experience – Terbuka pikiran karena melihat + karena mengalami
2.C = conscientiousness – Terbuka hati + telinga
3.E = extrovertness – Terbuka pada orang lain
4.A = agreeableness – Terbuka pada kesempatan
5.N = neuroticism – Terbuka terhadap berbagai tekanan
Orang ini dapat: sabar, tabah, teguh, konsisten pada tujuan hidupnya.
Mulai dari diri sendiri. John Maxwell mengatakan, “Di kala kita bodoh, kita memang ingin menguasai orang lain, tetapi kala kita bijak, kita ingin menguasai diri sendiri.” Pendapat lain mengatakan, “Semua orang ingin mengubah dunia, tetapi mereka lupa mengubah atau menguasai diri mereka sendiri”, demikian Leo Trostoy. Walt Emerson menyatakan hal senada bahwa, “Yang ada di belakang dan yang di depan tidak ada artinya dibanding dengan yang terdapat di dalam dirinya”, dan “cepat atau lambat, pemenang adalah mereka yang menganggap diri mereka bisa” (Aswandi dalam Tasrif, 2019).
Beberapa faktor yang mempengaruhi diri seseorang untuk memulai perubahan adalah pikiran dan sikap atau perasaan. Mahatma Ghandi selalu mengingatkan, ”Perhatikan pikiranmu, karena ia akan menjadi kata-katamu. Perhatikan kata-katamu karena ia akan menjadi perilakumu. Perhatikan perilakumu karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu karena ia akan menjadi karaktermu, dan perhatikan karaktermu karena ia akan menjadi taqdirmu.”
Pendapat yang sama disampaikan Harun Yahya (2002) dalam bukunya “Ever Thought about The Truth”, ia menjelaskan bahwa “Dunia yang kita ketahui sebenarnya adalah dunia di dalam pikiran kita dimana ia didesain, diberi suara dan warna atau dunia yang diciptakan oleh pikiran kita”. Stephen Hawking (2010) bapak teori relativitas dalam bukunya ”The Grand Design” mengatakan bahwa ”Tiada konsep realitas (kenyataan) yang independen dari gambaran atau teori yang ada dalam pikiran atau persepsi kita”. Demikian pula, John Kehoe (2012) dalam bukunya ”Mind Power” menyatakan bahwa pikiran menciptakan realitas. Segala peristiwa dipengaruhi dari apa yang kita bayangkan, kita visualisasikan, kita hasratkan, kita inginkan atau kita takutkan, serta mengapa dan bagaimana gambar yang ditetapkan dalam pikiran bisa dibuat menjadi kenyataan.
Namun dalam kenyataan hidup ini, seseorang tidak tepat waktu dalam menggunakan pikirannya untuk memulai perubahan sebagaimana disinyalir oleh Peter F. Drucker bahwa kesalahan berpikir seringkali terjadi ketika kita berpikir tentang masa depan kita dengan cara berpikir kemarin. “Bukti lain, pikiran kita hingga saat ini belum tersekolahkan”, demekian Gardner (2012) dalam bukunya The Unschooled Mind. How childern thing and how school should tesch.
Selain pikiran, faktor diri yang sangat mempengaruhi saat memulai perubahan adalah sikap dan perasaan. John P. Kotter dan Dan S. Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of Change” menambahkan bahwa jantung perubahan bukan berada dalam pikiran, melainkan pada “sikap atau perasaan”. Dikatakan, “Orang mengubah apa yang mereka lakukan bukan karena mereka diberi analisis yang mengubah pikiran mereka, namun lebih karena mereka ditunjukkan sebuah kebenaran yang mempengaruhi perasaan mereka”. Tantangan tunggal terbesar dalam setiap perubahan adalah mengubah sikap. Kunci dan pergeseran sikap tersebut tampak jelas dalam transformasi yang sukses, tidak terlalu banyak kaitannya dengan analisis dan pertimbangan, namun lebih cenderung terkait dengan melihat dan merasakan.
Kedua, mulai dari hal-hal yang kecil. Perubahan yang besar tidak akan pernah berhasil, kalau tidak dimulai terhadap hal-hal yang kecil. Mulailah dari hal yang kecil untuk merubah hal yang besar. Seribu langkah, dimulai dari langkah pertama. Sukses adalah akumulasi dari usaha-usaha kecil, yang dilakukan secara berulang-ulang (Robert Collier dalam Nurnajmi, 2019). Kata orang bijak, langkah-langkah kecil akan menentukan langkah-langkah besar. Mulailah dengan rencana kecil, sekecil apapun yang bisa kita kerjakan, namun membuat kita dan sekeliling kita tumbuh. Perubahan tidak dapat dilakukan seketika menjadi lompatan besar, melainkan harus dimulai dengan hal-hal kecil di sekitar kita.
Rhenald Kasali (2007) dalam bukunya “Re-Code Your Change DNA” mengatakan bahwa dunia berubah bukan dimulai dengan banyak orang, tetapi selalu dimulai dari sedikit orang. Nabi Muhammad SAW bersama empat orang khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) dalam waktu 20 tahun mampu merubah peradaban Arab dari biadab menjadi beradab. Demikian pula Nabi Isa As bersama tujuh orang rasulnya mampu membuat perubahan besar pada zamannya. Menjadi tidak aneh, jika Bung Karno diawal kemerdekaan mengatakan, “Serahkan kepadaku sepuluh orang pemuda, akan kuubah Indonesia ini.”
Uraian di atas mendapat penguatan dari Hukum Pareto atau Hukum 20/80 yang diperkenalkan oleh Vilvredo Pareto, yakni yang sedikit (20%) akan memberi hasil yang terbesar (80%). Berdasarkan hukum ini menunjukkan segala hal kecil, berbiaya kecil, dan dengan jumlah terbatas mampu memberi dampak yang luar biasa. Gladwell (2010) dalam bukunya “Triping Point” menegaskan bahwa,”how little thing can make a big difference”.
Friel & Friel (2015) mengatakan hal yang sama bahwa “satu perubahan kecil yang dilakukan secara konsistem dan dengan integritas, benar-benar bisa mengubah keseluruhan sistem.” Dalam banyak pendapat dikatakan bahwa ”tidak jarang kelompok kecil mampu atau dapat mengalahkan kelompok besar karena kelompok kecil itu terorganisir dengan baik.”
Tidak hanya itu, jika kita memulai perubahan dari hal-hal yang kecil, kemudian ternyata gagal melakukan perubahan itu, maka perubahan yang gagal tersebut tidak memberi dampak yang merusak keseluruhan sistem yang ada, dan bahkan kegagalan itu menjadi pembelajaran yang bermakna bagi perubahan yang lebih besar. Orang bijak mengatakan, ”Jika kita tidak segera menangani atau menyelesaikan perkara-perkara kecil, maka kitapun tak akan mampu menangani atau menyelesaikan perkara-perkara besar” dan ”Banyak orang yang tidak menyadari bahwa setiap kerusakan nilai-nilai selalu dimulai dari hal-hal kecil”. Sebaliknya, sering terjadi kegagalan dalam memulai perubahan karena suka meributkan hal-hal kecil.
Ketiga, mulailah sekarang, jangan menunggu-nunggu. Lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali, lebih baik sekarang daripada harus menunggu-nunggu terus. Kesempatan tidak akan datang dua kali dengan tawaran yang sama. Harus diakui siapapun kita, punya kebiasaan buruk. Belajar di hari terakhir sebelum ujian, dan berpikir keras sesaat sebelum keputusan diambil. Di Meksiko, orang-orang berperangai buruk dikenal sebagai penganut “mania (besok) principle.” “Kalau bisa dipikirkan besok, mengapa harus dikerjakan hari ini.” Nyatanya, hidup mereka tak pernah sejahtera.
Marilah kita mengeksplorasi sebab-sebab penundaan yang paling sering muncul, di antaranya. Pertama, stress. Saat seseorang stres, kuatir, cemas atau gelisah, maka sangatlah susah untuk bisa bekerja dengan produktif. Dalam situasi tersebut menunda seringkali menjadi salah satu pilihan yang sering diambil. Kedua, terjebak dalam tumpukan tugas dan jadwal. Ketiga, rasa malas. Terkadang seseorang menunda karena terlalu letih secara fisik dan emosi. Akibatnya kita mengambil waktu untuk istirahat sejenak, dan disinilah jebakannya. Keempat, kurangnya motivasi. Kelima, kurangnya disiplin. Keenam, buruknya manajemen diri karena kebiasaan buruk. Ketujuh, kurangnya keterampilan yang dibutuhkan. Dan kedelapan, perfeksionis. Salah satu sebab penundaan yang cukup sering adalah ingin perfeksionis yaitu keinginan untuk melakukan segala sesuatu setelah semuanya sempurna yang akhirnya membuat kita menunda melakukan rencana-rencana kita untuk menunggu ‘waktu yang tepat’ (Anonymous dalam Irfan, 2019).
Semua orang ingin berubah, tetapi sedikit orang yang melakukannya karena alasan yang sama, yakni sulit memulainya. Kemampuan individu dan institusi menerima, merespons dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi menjadi kunci terpenting bagi mereka yang memulai dan berhasil melakukan perubahan.
Dari berbagai penelitian dan kajian mendalam serta komprehensif, Arnold Toynbee (Subhan, 2019) menyimpulkan bahwa “Kebangkitan (berubah, maju dan sejenisnya) umat manusia ini bergantung pada kemampuannya merespons atau menanggapi secara cepat, tepat atau akurat dan pantas terhadap tantangan atau masalah yang dihadapinya.”
Orang sukses adalah orang yang segera melaksanakan idenya, tidak menunggu atau menunda pekerjaannya karena suka menunda pekerjaan terbukti 64% menjadi faktor kegagalan”, demikian Frans Bruno. Albert Einstein kembali menasehati melalui kalimat pendek, ”Ideas and than action”, artinya jika ada ide, maka segera ambil tindakan. Maxwell menambahkan, ”kesalahan terbesar yang diperbuat seseorang adalah tidak berbuat apa-apa”. Sudah tepat jika Presiden Jokowi dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ”Kerja, Kerja, Kerja” karena bangsa ini memerlukan manusia gesit dan cepat bertindak. Dikatakan, ”Tidak peduli seberapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”, demikian Rhenald Kasali (2010) dalam bukunya berjudul ”Change !”.
Efek kupu-kupu (bahasa Inggris: butterfly effect) adalah istilah dalam “Teori Chaos” (Chaos Theory) yang berhubungan dengan “ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal” (sensitive dependence on initial conditions), di mana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Jika suatu sistem dimulai dengan kondisi awal misalnya 2, maka hasil akhir dari sistem yang sama akan jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001 di mana 0,000001 sangat kecil sekali dan wajar untuk diabaikan. Dengan kata lain: kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana dikemudian hari.
Seuntai Harapan
Ada tiga modal mental yang paling inti agar kita menjadi orang yang efektif dalam menghadapi perubahan (personal effectiveness) atau winner. Apa saja ketiga modal mental itu? Pertama, pengendalian diri (self control); kedua, kepercayaan diri; dan ketiga, kemampuan berpikir (Darwis, 2019).
Pertama, pengendalian diri (self control). Modal mental pertama adalah kemampuan menggunakan (mengontrol) berbagai ledakan emosi (self-control). Orang yang rendah kemampuannya di sini akan reaktif dan terus reaktif (terbawa hanyut ke dalam situasi yang sulit). Sedangkan orang yang tinggi kemampuannya di sini akan cepat proaktif (punya kesadaran untuk memilih yang positif).
Kedua, kepercayaan diri. Modal mental kedua adalah kepercayaan diri (pede). Pede adalah sejauhmana kita punya keyakinan atas kemampuan yang kita miliki berdasarkan alasan, bukti, atau semangat yang positif untuk mewujudkan tujuan atau untuk mengatasi masalah. Orang yang pede-nya rendah akan terus menuding faktor eksternal dengan tujuan hanya untuk menuding. Sebaliknya, orang yang pede-nya tinggi akan cepat act on decision (memutuskan langkah perbaikan sebagai panggilan tanggung jawab).
Ketiga, kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir ini terkait dengan sejauhmana kita bisa membuat target, sasaran, atau arah pengembangan dan perbaikan yang akurat (bisa kita capai dari keadaan kita), sejauhmana kita bisa membedakan masalah eksternal dan internal, persepsi dan fakta (analitis), dan sejauhmana kita bisa melihat berbagai kemungkinan yang bisa kita tempuh (kreatif).
Semoga !!!