INIPASTI.COM – Pagi 26 Desember 2004, gempa tektonik berkekuatan hampir 9 pada Skala Richter mengguncang lepas pantai barat laut Sumatra. Menyusul, gelombang laut raksasa (tsunami) menerjang dan memorak-porandakan sejumlah lokasi di berbagai negara, mulai dari Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India (termasuk Kepulauan Andaman dan Nicobar serta Republik Maldivia, keduanya di barat daya India), hingga ke Somalia di pesisir timur Afrika. Konon, sepanjang sejarahnya, umat manusia belum pernah mengalami peristiwa alam “seberimbas” itu.
Di Aceh saja, menurut hitungan Radio Australia, 127.000 orang diperkirakan tewas dan sekitar 50.000 tidak diketahui nasibnya. Orang yang ke Aceh mengulurkan bantuan harus “membebalkan-hati-menulikan-telinga-menumpulkan-hidung-membutakan-mata”. Bila tidak, bagaimana mungkin bisa bertahan dan bekerja di tengah rintihan dan tangis pilu sekian banyak orang, di antara ribuan mayat dan bangkai membusuk, atau menyaksikan kawanan anjing menggondol potongan-potongan tubuh manusia!
“Untunglah”, gempa dan tsunami itu seakan merobohkan dan menerjang pula dinding pembatas dan pembeda: suku, bangsa, agama, ras, warna kulit. Umat manusia sekonyong-konyong jadi satu. Sumbangan membanjir. Badan bantuan PBB terpana oleh miliaran US dollar. Dana sumbangan “membukukan rekor”.
Theodicy berasal bahasa Yunani: theos ‘Tuhan’ dan dike ‘keadilan’. Kedua patah kata tersebut digabungkan oleh filsuf Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz [1647-1716] (Frank J. Tipler, The Physics of Immortality: Modern Cosmology, God and the Resurrection of the Dead, 1990). Theodicy merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan dalam teologi sebagai dasar argumentasi bahwa walau dunia ini tidak steril dari bencana dan kejahatan, Tuhan tetap Mahabaik dan Mahaadil.
Selama ini, bencana alam dan kejahatan manusia (the problem of evil) adalah “senjata klasik” yang sering digunakan untuk “menyerang” agama samawi (Judaisme, Kristen, dan Islam). Kaum ateis berpendapat tiga sifat Tuhan—Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahabaik—secara logis tidak konsisten dengan adanya kejahatan (the empirical fact that evil exists).
Menurut mereka, jika Tuhan benar-benar Mahakuasa (omnipotent), Mahatahu (omniscient), dan Mahabaik (all good), bagaimana mungkin ada bencana alam?
Tuhan yang Mahabaik pasti tidak menghendaki ada bencana. Tuhan yang Mahatahu, tidak mungkin tidak tahu akan terjadi bencana alam; tak mungkin tidak tahu ketika menciptakan alam bahwa kelak bencana akan terjadi akibat hukum alam yang Dia tetapkan. Tuhan yang Mahakuasa tentu mampu menciptakan alam yang bebas dari segala kejahatan.
Tuhan pasti tahu gempa bumi dan letusan gunung akan terjadi akibat hukum alam, tahu kapan hal itu akan terjadi. Namun, Dia tidak menghentikannya; tidak pula memberi peringatan kepada orang-orang yang bakal menderita atau terenggut nyawanya.
Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami yang terjadi di daerah berpenduduk padat di bumi dan membunuh ribuan orang—dan mereka yang selamat menderita hebat—adalah peristiwa yang saban kali terjadi akibat ketetapan Tuhan. Dialah yang menetapkan materi dan hukum fisika yang mengatur agar peristiwa seperti itu terjadi. Oleh karena itu, secara moral, Dia bertanggung jawab penuh atas terjadinya bencana alam (natural evil).
Satu dekade telah lewat. Air bah telah surut, lumpur sudah mengendap-kering, dan air mata telah habis diseka. Tahap tanggap-darurat dan rekonstruksi pun telah lewat. Namun, bagaimana dengan tahap rehabilitasi—pemulihan kembali kehidupan?
Membangun kembali sarana dan prasarana, fasilitas dan infrastruktur yang porak-poranda mungkin telah selesai. Hal itu dapat dilakukan dengan ralatif “mudah”. Dananya melimpah: puluhan triliun rupiah. Tinggal niat, komitmen, dan “kelurusan hati” pengelola.
Lain halnya yang tidak kasat mata: istri/suami/anak yang kehilangan seluruh anggota keluarga, misalnya. Merekonstruksi dan merehabilitasi jiwa mereka tentu tidak cukup hanya dengan memeluk dan menepuk-nepuk pundak mereka, menyerahkan sekotak mie instan dan berjanji akan membangunkan mereka sebuah rumah, menyuruh mereka bersabar menerima cobaan dan memetik hikmah. Tidak cukup mengajari bocah sebatang kara berpuisi “Thank you God for sending my father and mother into heaven…” dan mengirim kopinya ke BBC World Service untuk disiarkan ke seluruh dunia.
Jiwa manusia bukan sekarung pasir—kian solid bila diguncang-kiri-kanan-dibanting-ke-atas-ke-bawah dan direndam air. Jiwa manusia mungkin lebih mirip asosiasi “kucing” Sutardji Calzoum Bachri. Ia ibarat “kucing-dalam-darah” yang tak pernah diam, senantiasa resah-gelisah, selalu mengendap-lapar.
Pertanyaan teologis di atas bukan persoalan eksklusif yang hanya bisa terlintas di benak elite cendekiawan, agamawan, atau rohaniawan. Siapa saja mungkin pernah mengajukan pertanyaan berkategori “gempa” dan “tsunami” teologis seperti di atas.
Pertanyaan itu perlu jawaban meyakinkan untuk meredam “gempa” dan “tsunami” lahir-batin sedahsyat apapun; perlu jawaban sekokoh masjid Baiturrahman—rumah Sang Maha Pengasih—sebagai fondasi jiwa, bendungan pengendali diri, dan saluran orientasi dalam kehidupan. (Makassar, 12 Desember 2016)