INIPASTI.COM – Sembilan tahun lalu, adalah masa-masa terberat bagi Greysia Polii. Ia bukan hanya sekadar kalah di Olimpiade London 2012, tetapi ia tersingkir dengan noda hitam.
Bila ada jurang yang lebih dalam dari kekalahan telak, itu tentu adalah diskualifikasi dan diusir dari pertandingan secara tidak hormat.
Bersama Meiliana Jauhari, Greysia dianggap tidak menunjukkan niat bertanding untuk menang.
Greysia dan Meiliana saat itu terjebak pada situasi rumit sehingga membuat ia melakukan kesalahan fatal dalam olahraga yang dicintainya. Greysia benar-benar berada di titik terkelam.
Banyak caci-maki yang tertuju deras kepadanya. Dari yang menggemari badminton, hingga mereka yang tidak rutin mengikutinya. Namun kesimpulan mereka sama, Greysia/Meiliana memberikan noda hitam dalam sejarah badminton Indonesia.
Di tengah kemelut dan situasi yang rumit tersebut, Greysia dan Meiliana tetap dengan gagah berani bertemu media.
Greysia saat itu mengenakan kaus putih berlogo ‘Superman’ di bagian depan. Ia duduk dengan tenang, menceritakan hal yang terjadi di London 2012 dan menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan.
Rasa sedih masih tergambar dari wajahnya dan terdengar dari tutur katanya. Namun bersamaan itu pula, ada kepercayaan dan harapan terhadap hal-hal yang mungkin bisa didapatkan setelah badai tersebut terlewati.
Dalam kisah Superman, Kal El yang kemudian dikenal sebagai Clark Kent dan Superman adalah bayi pertama selama berabad-abad yang dilahirkan lewat proses alamiah di Planet Krypton.
Sebelumnya masa depan bayi-bayi di Krypton sudah ditentukan sejak awal, entah itu pekerja atau petarung. Kedua orang tua Kal El merasa Krypton sudah kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu pilihan dan kesempatan.
Kal El yang dikirim ke Bumi sebelum Krypton hancur adalah representasi harapan dan pemberian kebebasan untuk memilih dalam hidup.
Greysia pun demikian. Dalam situasi sulit tersebut, Greysia punya kebebasan untuk menentukan pilihan. Greysia bisa memilih, untuk menuntaskan kariernya sebagai pebulutangkis dengan insiden London 2012 jadi bagian akhir kariernya.
Atau Greysia bisa memilih melanjutkan perjalanan, dengan lebih dulu menjalani hukuman skorsing, menelan segala pahit, dan terus dikenang sebagai pemain yang pernah terhukum.
Namun semua itu diiringi dengan harapan ada hal-hal baik yang bisa ia lakukan di fase kehidupan berikutnya setelah lembar kelam yang ia tuliskan.
Greysia memilih yang kedua. Berjalan sebagai pemain yang terhukum karena diskualifikasi di Olimpiade London 2012, waktu tidak berjalan mudah bagi Greysia.
Greysia tahu bahwa harapan yang ia genggam adalah kesempatan mengubah keadaan. Semua celaan dan ejekan yang masih mengiringi dianggap Greysia sebagai bahan bakar untuk memotivasi diri.
Greysia menata ulang kariernya. Greysia menata ulang fokusnya. Transformasi Greysia sebagai pemain mulai terlihat nyata, baik dari segi fisik maupun mental.
Dua tahun berlalu, Greysia bersama Nitya Krishinda Maheswari di bawah polesan Eng Hian berhasil jadi juara Asian Games. Ini sudah menjadi sebuah kejutan besar dan luar biasa! Greysia/Nitya sukses menyumbangkan emas dengan situasi tak diunggulkan di atas kertas.
Selepas Asian Games, Greysia/Nitya masuk sebagai salah satu ganda putri 10 besar dunia. Sayangnya, Greysia/Nitya harus puas hanya mencapai perempat final Olimpiade Rio 2016.
Usai Olimpiade duet Greysia/Nitya sempat ingin dipertahankan hingga Asian Games 2018, saat Indonesia jadi tuan rumah. Ajang ini juga diyakini sebagai penutup karier Greysia/Nitya di ajang internasional.
Namun Nitya mengalami cedera parah dan butuh pemulihan untuk waktu yang lama. Dalam titik ini Greysia sempat bimbang perihal kelanjutan karier.
Mencari pasangan baru, itu berarti Greysia mengulang dari awal, bahkan mungkin jauh lebih berat karena ia akan berpasangan dengan pemain yang jauh lebih muda.
Setelah berganti beberapa pasangan, Greysia akhirnya menjalani tur secara resmi dengan partner permanen bernama Apriyani Rahayu. Dengan beda usia 11 tahun, Greysia bisa berkolaborasi apik dengan Apriyani.
Duet Greysia/Apriyani berhasil melejit dalam waktu singkat sebagai pasangan. Mereka mulus melaju masuk 10 besar.
Namun tak lantas semua berjalan lancar tanpa hambatan. Ketika sudah di fase elite, Greysia/Apriyani masih kesulitan untuk memenangi turnamen besar.
Greysia/Apriyani belum mampu menghadirkan gelar di turnamen besar macam All England ataupun Kejuaraan Dunia selama berpasangan.
Ketika Olimpiade Tokyo 2020 digelar, nama Greysia/Apriyani tidak masuk daftar unggulan. Mereka ‘hanya’ pemain peringkat enam dunia.
Tetapi sebagai mana lazimnya hukum di dunia olahraga, pemenang adalah yang paling siap di lapangan. Greysia/Apriyani menunjukkan hal tersebut sepanjang Olimpiade digelar.
Transformasi permainan Greysia dan Apriyani terasa terlihat di lapangan selama Olimpiade Tokyo 2020. Mereka lebih ganas, lebih tajam, lebih solid saat bertahan, dan punya rotasi permainan yang tak mudah ditebak lawan.
Satu per satu lawan mengadang, satu per satu lawan mereka lumpuhkan. Hingga akhirnya kemenangan atas Chen Qing Chen/Jia Yi Fan membuat mereka menangis bahagia bersama pelatih Eng Hian di lapangan.
Bila saja Greysia memutuskan berhenti di 2012, tak ada emas Olimpiade, emas Asian Games, dan bahkan emas SEA Games. Kini, Greysia jadi segelintir atlet Indonesia yang memiliki itu semua.
Bila Greysia memutuskan meninggalkan badminton di 2012, tak ada tiga medali perunggu Kejuaraan Dunia yang melingkar di lehernya.
Dan bila Greysia pensiun pada 2012, maka Indonesia mungkin tidak akan mendapat medali emas di Olimpiade Tokyo 2020.
Keputusan Greysia Polii untuk terus melanjutkan badminton selepas insiden kelam di Olimpiade London 2012 itu sendiri, sudah merupakan pilihan terhadap keberanian dan pengharapan.
Dan Greysia Polii membuktikan, bahwa emas Olimpiade adalah hasil terbaik yang bisa didapatkan, ketika pilihan untuk terus percaya dan berharap tetap diapungkan.
(syakhruddin)