Debat agama, terutama antara Islam dan Kristen, seakan menemukan arena baru di media sosial. Kalau dulu perdebatan teologis berlangsung dalam seminar terbatas, artikel-artikel ilmiah, atau di ruang privat, kini ia tumpah ke linimasa, disaksikan jutaan pasang mata yang siap memihak atau melontarkan serangan. Ada sesuatu yang janggal sekaligus ironis dari fenomena ini.
Di satu sisi, debat di media sosial seolah menawarkan kebebasan berekspresi yang luar biasa. Setiap orang bisa menjadi “teolog” instan, mengutip ayat-ayat suci, memposting potongan video, atau mengunggah artikel dengan hanya sekali klik. Tapi di sisi lain, alih-alih memperluas pemahaman, hiruk-pikuk ini lebih sering menghasilkan kebencian dan polarisasi. Bukannya mendekatkan pada kebenaran, yang terjadi justru perang opini tanpa henti.
Mengapa demikian? Barangkali ada yang menarik dari pola perdebatan di media sosial yang berbeda dari dialog tradisional. Dalam ruang publik digital, orang berlomba-lomba menjadi yang paling vokal. Algoritma media sosial, yang didesain untuk meningkatkan interaksi, justru memberi insentif bagi kontroversi. Semakin panas perdebatan, semakin viral topik itu—dan semakin besar dorongan untuk terus berdebat. Kebenaran akhirnya bukan lagi soal isi argumen, tetapi soal seberapa banyak likes, komentar, atau shares yang diperoleh.
Debat teologis yang seharusnya menjadi dialog penuh kedalaman berubah menjadi sirkus performatif. Pertarungan bukan lagi soal gagasan, melainkan tentang siapa yang lebih menang dalam logika, siapa yang lebih tajam dalam mematahkan argumentasi lawan. Dan di tengah semua ini, agama—yang sejatinya membawa pesan kedamaian dan kasih sayang—terjebak dalam kekerasan verbal dan hujatan.
Tidak ada yang lebih gamblang daripada ketika dua tokoh agama besar berdebat di depan ribuan netizen. Saling tuding, menyalahkan, dan mencerca menjadi tontonan harian. Agama, yang sejatinya mempromosikan dialog, kini seperti berada di bawah cengkeraman hiperrealitas media sosial, di mana segala sesuatu harus cepat, instan, dan bombastis. Pertanyaan mendasarnya: apa yang kita cari di sini? Pencerahan atau sekadar kemenangan retorika?
Medsos seharusnya bisa menjadi wadah yang baik untuk berbagi informasi dan memahami perbedaan. Tapi ketika media ini dimanfaatkan untuk tujuan lain, yakni mendominasi lawan, pesan agama yang luhur justru tergerus oleh fanatisme. Alih-alih mendekatkan manusia pada pencarian kebenaran, ia malah menjauhkan kita dari perenungan mendalam yang sesungguhnya.
Ada ironi yang lebih besar di sini. Debat teologis yang awalnya dimaksudkan untuk membuka ruang dialog, dalam wujudnya di media sosial, justru mempersempit ruang itu. Bukan lagi pertanyaan-pertanyaan hakiki yang muncul, melainkan slogan-slogan kosong, narasi antagonis, dan kebencian yang mengakar lebih dalam.
Lalu, di mana akhir dari semua ini? Mungkin jawabannya tidak sesederhana berhenti berdebat. Debat, bagaimanapun, adalah bagian dari dinamika kehidupan beragama yang tak terelakkan. Namun, yang perlu diperbaiki adalah cara kita memperdebatkan hal-hal yang sakral ini. Daripada menyerah pada algoritma media sosial yang memperparah konflik, barangkali kita perlu kembali pada esensi dialog: mendengar, memahami, dan mencari hikmah di balik perbedaan.
Sampai kapan kita akan terus terjebak dalam hiruk-pikuk ini? Atau, mungkin, kita hanya menikmati adu argumen ini tanpa peduli bahwa agama sedang dikorbankan di altar perdebatan kosong? (pastisyah)