Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Menarik perumpamaan Tamin, 2008) dalam jurnalnya “Etika Komunikasi Aparatur Humas dan Protokol”. Kata etika sudah sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Namun tak jarang, begitu ditanya makna sebenarnya, tidak jarang jawaban yang keluar keragu-raguan. Susahnya menjelaskan etika itu seolah bagaikan susahnya orang bisu bermimpi. Ingin bercerita namun tak kuasa, terasakan ya, terkatakan tidak. Keraguan juga bisa timbul misalnya jika etika dihadapkan pada hukum positif yang berlaku karena bisa saja, sesuatu yang melanggar hukum otomatis juga “tidak etis,” atau sebaliknya.
Bagi penulis, bukan hanya pengertian etika yang susah didefinisikan seperti ditulis Tamin di atas, pun definisi atau arti istilah-istilah lain, termasuk etika komunikasi.
Etika komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi pada suatu masyarakat (Haryatmoko, 2007).
Secara sederhana etika komunikasi dapat dipahami sebagai suatu pedoman bertindak atas dasar moralitas yang berkaitan erat dengan adat kebiasaan, norma, nilai, dan kaidah yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sehingga diharapkan penerapannya dalam proses komunikasi di media sosial dapat mencegah dampak negatif penggunaan media sosial.
Etika komunikasi adalah ilmu yang mengajarkan tentang akhlak yang baik dan buruk moral dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada manusia yang disampaikan secara langsung atau secara tidak langsung (menggunakan media). Etika komunikasi juga merupakan suatu prosedur atau aturan dan norma yang mengatur manusia dalam proses atau aktivitas komunikasi (Wandi, 2021).
Johannesen, Valde & Whedbee (2008) mendefinisikan etika komunikasi sebagai bagian penting dalam proses interaksi. Interaksi itu terpusat pada bagaimana kita bisa hadir—mempengaruhi dalam artian positif. “Etika bukan hanya masalah kebijakan politik atau sosial tetapi juga merupakan bagian dari kebijakan pribadi kita, merupakan bagian yang tidak terpisahkan perilaku kita dan penghargaan kita terhadap orang lain. Komunikasi etis akan mencakup pandangan hormat audiensnya, pertimbangan konsekuensi komunikasi untuk semua.
Etika Komunikasi Publik Relation
Tulisan ini penulis sengaja menyerempet ke etika komunikasi publik relation, sebagai salah sub pokok bahasan yang penulis ajarkan kepada mahasiswa.
Publik relation atau humas tidak hanya berperan sebagai penghubung organisasi dan masyarakat, melainkan juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai etika dan profesionalisme. Mereka mengikuti prinsip-prinsip etika dalam menggunakan pendekatan persuasif yang terencana dengan cermat.
Pada dasarnya seorang praktisi publik relation atau humas adalah seorang professional communicator (Seitel, 1992) karena tugasnya yang harus mengkomunikasikan institusinya dengan publik. Berkomunikasi adalah “a process of exchanging information, bertukar informasi.” Dan seperti dikatakan Bowman & Ellis (1982), ini mudah karena “everyone does all the time (semua orang melakukannhya setiap waktu).” Walau begitu justru banyak problem yang terjadi karena komunikasi yang tidak lancar.
Teknologi komunikasi begitu maju dewasa ini, sehingga memungkin orang berkomunikasi dengan seseorang di angkasa luar, atau antara dua orang di negara yang berbeda. Namun sering kita dengar bahwa banyak perkawinan putus di tengah jalan karena kurang serasinya komunikasi antara suami isteri, padahal mereka tidur di satu tempat yang sama. Dalam kehidupan bernegara, sering kita mendengar keluhan rakyat atas kebijakan pemerintah yang tidak mereka pahami, dan citra pemerintah yang negatif di mata mereka. Sebaliknya pemerintah juga mengeluh atas kurangnyanya pengertian dan support masyarakat terhadap berbagai kebijakannya (Taamin, 2008).
Dalam kaitan ini, lanjut Bowman & Ellis (1982) “Effective Communication”-lah yang kita bicarakan, dan ini tidak mudah karena komunikasi efektif menyangkut berbagai aspek. Aspek-aspek ini antara lain : pertama, atensi (komunikasi harus mampu menimbulkan atensi sasaran); kedua, interest (harus mampu merangsang minat dan menimbulkan rasa penting untuk mendengar/melihat message yang disampaikan). Ketiga, conveying information with: impact, accuracy, lack of ambiguity (menyampaikan informasi yang menghasilkan dampak yang diharapkan, diusahakan seakurat mungkin, dan menghindari ketidakjelasan). Keempat, audience (sasaran) harus jelas; kelima, means of reaching audience (media dan teknik yang digunakan dalam komunikasi hendaknya disesuaikan dengan kondisi sasaran/audience yang hendak dicapai).
Menurut Paul Seiter (1992), komunikasi adalah backbone-nya Humas. Sebagai seorang professional communicator, PR practitioner harus lebih menguasai komunikasi dibandingkan orang lain dalam organisasinya. Pengetahuannya tentang komunikasi seyogyanya membedakannya dengan anggota organisasi lainnya. Pada intinya keberhasilan PR tergantung pada kinerjanya berkomunikasi.
Menerapkan etika dalam suatu profesi memiliki tingkat kepentingan yang tinggi, berfungsi sebagai peraturan atau norma yang mengarahkan perilaku manusia dalam masyarakat atau profesi. Perilaku etis melibatkan kepatuhan terhadap norma peraturan, moral, dan hukum, namun seringkali kita menyaksikan kasus perilaku tidak etis dalam profesi yang berdampak pada praktisi dan pihak yang tertarik terlibat. Ada dua faktor yang mendorong perilaku melanggar norma etika, yaitu variasi antara norma etika individu dan norma etika umum, serta kepentingan personal menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan. Konflik nilai etis sering muncul dalam situasi moral sulit di mana individu harus membuat keputusan tepat (Briantono & Achmad, 2020).
Meskipun tujuan setiap organisasi berbeda, tetapi dalam kegiatan humas terdapat kesamaan yakni membina hubungan yang harmonis antara organisasi dengan publik dalam membentuk citra positif. Hubungan yang baik atau harmonis dalam public relations mengandung arti luas, yakni sikap yang menyenangkan (favorable), itikad baik (goodwill), toleransi (tolerance), saling pengertian (mutual understanding), saling mempercayai (mutual confidence), saling menghargai (mutual appreciation), dan citra baik (good image).
Penting Diperhatikan
Etika public relation sebagai penerapan pengetahuan, pemahaman dan penalaran tentang perilaku “benar atau salah” dan “baik atau buruk” dalam praktik profesional public relation. Etika profesional public relation juga dibuat agar dapat menjalankan perannya untuk perusahaan yang diwakilinya. Sebagai perusahaan yang mengandalkan pada kepercayaan publik, citra positif menjadi sebuah keharusan tersendiri.
Public relations yang melaksanakan praktik menyampaikan informasi kepada publik melalui media sebagai perwakilan perusahaan, tentunya setiap kata-kata, ekspresi, dan sikap harus dilakukan dan dipertimbangkan dengan hati-hati.
Nilsen (Nugroho, 2010) mengungkapkan bahwa untuk mencapai etika komunikasi perlu diperhatikan sifat-sifat di antaranya penghormatan terhadap seseorang sebagai person tanpa memandang umur, status, atau hubungannya dengan pembicara, penghormatan terhadap ide, perasaan, maksud dan integritas orang lain, sikap suka memperbolehkan, keobjektifan, dan keterbukaan pikiran yang mendorong kebebasan berekspresi, penghormatan terhadap bukti dan pertimbangan yang rasional terhadap berbagai alternatif dan terlebih dahulu mendengarkan dengan cermat serta berhati-hati sebelum menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan.
Manusia dalam proses etika komunikasi perlu diletakkan sebagai subyek. Subyek yang saling menyapa satu sama lain. Subyek yang hidup dalam proses kehidupan yang menghargai setiap gagasan, perasaan, dan apa pun yang dimiliki oleh orang lain. Semua perlu menyatu dalam laku interaksi yang harmonis. Johannesen, Valde & Whedbee (2008) menegaskan jika orang memiliki martabat dan harga diri, maka mereka perlu diperlakukan seperti itu ketika kita mungkin sangat tidak setuju dengan mereka. Inilah dasar etika komunikasi yang perlu dipahami dan dilaksanakan dalam membangun keadaban hidup ini.
Vital Etika dalam Berkomunikasi
Sifat dan peran etika dalam komunikasi yaitu sebagai proses penyampaian pesan dengan tujuan dan makna, menyiratkan bahwa etika dan aturan diperlukan untuk menyampaikan pesan (Jalil dan Evy Septiana Rachmaan, 2020).
Etika komunikasi menjadi inti dalam risalah kehidupan. Kehidupan itu perlu saling menghormati, menghargai, dan saling menyapa. Proses itulah yang menjadikan masalah terhormat dalam pandangan kemanusiaan. Etika komunikasi menjadi kunci utama dalam menjamin harkat dan martabat manusia itu. Johannesen, Valde & Whedbee (2008) menambahkan, dalam praktik etika komunikasi, manusia harus dianggap bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan melainkan sebagai peserta yang berharga yang kesejahteraannya penting dan dianggap sebagai bagian dari interaksi.
Haryatmoko (Dzaljad, 2022) mengatakan bahwa ada 3 (tiga) pertimbangan mengapa etika harus melandasi praktik komunikasi antar manusia. Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi dan mengalienasi audiens. Kekuatan media yang begitu besar harus dikontrol secara benar dengan panduan etika, sehingga meminimalisir potensi penyalagunaan dan penyimpangannya. Kekuatan besar media harus diorientasikan pada tersebarnya informasi yang benar, memupuk kebaikan dalam berkomunikasi, serta menggerakkan ke arah kehidupan yang lebih baik.
Kedua, etika dalam komunikasi sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab. Etika dapat menjadi peringatan yang menghalangi monopoli kritik. Dengan standar etika yang jelas, maka tidak ada monopoli dalam komunikasi. Semua dapat menjadi komunikator yang inspiring, mencerahkan dan menggerakkan kebaikan di tengah- tengah masyarakat, sekaligus sebagai pendengar (komunikan, receiver) yang baik. Ada keseimbangan dalam komunikasi yang memberi porsi seimbang bagi kebebasan dan tanggung jawab, bagi penyampaian informasi dan aspirasi, sekaligus pembuktian peran aktif individu terhadap kehidupannya. Keseimbangan tersebut membuka terbentuknya kesadaran umum untuk saling berbagi informasi, saling mendengar, saling merasakan, dan bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini hanya mengandalkan kredibilitas diri di depan publik tetapi abai terhadap nilai dan makna hakiki. Dalam komunikasi citra diri penting, tetapi mendasarkan kebenaran berita pada pencitraan tentu dapat berakibat fatal. Selain mudah tertipu, akurasi informasi yang didapatkan akan cenderung tidak valid dan menyesatkan.
Prinsip Etika Komunikasi
Untuk mencapai efektif komunikasi, manusia perlu memahami prinsip-prinsip komunikasi manusia (Nikmah, dkk. dalam Wandi, 2021). Sehingga etika komunikasi yang baik akan tercipta baik dan harmonis hubungan antar manusia. Sebaliknya, tanpa pengetahuan etika komunikasi, akan terjadi kesalahpahaman yang berujung pada perselisihan dan perkelahian yang dapat memecah belah umat manusia hidup (Sari, 2020).
Prinsip-prinsip etika komunikasi mencerminkan fondasi yang kuat untuk membangun hubungan yang sehat dan produktif antara individu. Ada beberapa prinsip yang ada dalam etika berkomunikasi yaitu : a) Prinsip kejujuran, sebagai salah satu pilar utama, menekankan pentingnya tidak menyembunyikan atau memanipulasi informasi. b) Prinsip integritas, sebagai wujud konsistensi dalam perilaku, menuntut agar seseorang tetap setia pada prinsip-prinsip moral yang baik dalam berbagai situasi. c) Prinsip tanggung jawab, dalam konteks komunikasi menekankan arti bertanggung jawab atas setiap tindakan dan kata yang diucapkan. Ini menciptakan dasar yang kokoh untuk menjaga kepercayaan dan menjalankan komunikasi yang transparan. d) Prinsip penghormatan, sebagai unsur penting lainnya, mengajarkan kita untuk menghargai keberagaman, keyakinan, dan pandangan orang lain. e) Prinsip empati, sebagai prinsip terakhir, menandakan kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Kemampuan ini membuka jalan untuk menciptakan ikatan emosional yang kuat dan menguatkan hubungan interpersonal (Nanda, 2024).
Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika komunikasi ini, seseorang dapat membangun lingkungan komunikasi yang positif, menghormati, dan mendukung pertumbuhan bersama.
Sari (2020) mengatakan komunikator dan komunikan dituntut harus berbicara lemah lembut, jujur, sesuai fakta, berbekas di hati, tepat dan mengedepankan akhlak.
Ginting (2021) dalam bukunya “Etika Komunikasi dalam Media Sosial : Saring Sebelum Sharing”, mengatakan etika komunikasi yang baik akan membangun sebuah hubungan yang baik juga harmonis antar manusia.
Berikut prinsip-prinsip dalam etika komunikasi (Dzaljad, 2022), antara lain:
Mengarusutamakan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Komunikasi yang dilakukan atas dasar kebenaran dapat meningkatkan kredibilitas sumber. Kredibilitas sumber dapat ditunjang dari kejujuran dalam mendapatkan penerimaan orang lain dengan meningkatnya tingkat kepercayaan. Lebih lanjut, keseimbangan komunikasi dapat tercapai dengan menerapkan prinsip keadilan untuk membangun kesederajatan atas keragaman tanpa merendahkan satu sama lain.
Mendukung kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi menjadi hak dasar manusia. Pemenuhan atas hak tersebut menjadi sarana pengimplementasian prinsip utama kemanusiaan.
Menghormati privasi. Setiap individu mempunyai hak asasi. Hal-hal tertentu menjadi domain personal yang sifatnya terbatas sebagai ranah privasi seseorang.
Memangkas jara krelasi. Komunikasi dimaksudkan untuk memangkas jarak relasi sebagai upaya mencapai kedekatan (proximity) di antara para peserta komunikasi.
Membangun empati dan tanggung jawab. Upaya memelihara hubungan dapat didukung dengan melibatkan aspek emosional terkait dengan empati dari setiap proses komunikasi. Tanggungjawab menjadi kerangka etis sebagai kesadaran pelaku komunikasi sebagai subjek.
Ada enam prinsip dasar dari etika komunikasi dalam Islam. Pertama, qaulan sadīdan. Prinsip ini merupakan upaya berkomunikasi dengan menyampaikan pesan yang benar seperti yang terdapat di dalam surat al-Ahzab ayat 70. Kedua, qaulan balighan, prinsip balighan merupakan pesan yang disampaikan itu menimbulkan kesan yang baik bagi komunikan. Prinsip itu terdapat dalam surat an-Nisa ayat 63. Ketiga, qaulan maysuran. Dalam QS. Al-Isra‟ ayat 28 ditemukan istilah qawlan maysuran yang merupakan tuntunan untuk melakukan komunikasi dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti dan melegakan perasaan. Keempat, qaulan layyinan. Prinsip layyinan adalah berkomunikasi dengan bahasa yang lembut. Tidak mengarah kepada perkataan yang kasar dan dapat menyakiti hati orang yang mendengarnya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Taha ayat 44. Kelima, qaulan kariman. Prinsip ini mendorong komunikasi dilakukan dengan cara yang baik atau dengan perkataan yang mulia. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23. Keenam, qaulan makrufan. Prinsip dari etika komunikasi ini juga mengarahkan komunikator untuk berkomunikasi yang baik dengan komunikan. Prinsip ini sesuai dengan surat an-Nisa ayat 5 (Ar-Raniry dalam Akbar, 2019).
Keenam prinsip tersebut dapat menjadi acuan dalam berkehidupan dalam masyarakat. Bukan hanya sekadar konsep saja, keenam prinsip tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada hambatan sebab prinsip tersebut tidak hanya berlaku dalam Islam saja, namun berlaku dalam keseluruhan hidup manusia di dunia ini karena prinsip tersebut sangat universal dan mampu menjangkau semua elemen masyarakat tanpa membedakan ras, suku, budaya dan bangsa.
Membentuk Sebuah Citra
Pembentukan citra perusahaan yang positif merupakan tujuan utama dari public relations, karena efek kognitif dari komunikasi yang dilakukan oleh PR sangat berpengaruh dalam proses pembentukan citra itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh sifat komunikasi yang secara tidak langsung menimbulkan perilaku tertentu, serta cenderung mempengaruhi cara pandang publik terhadap citra perusahaan. Sesuai dengan pernyataan Soemirat dan Ardianto (2011) pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima oleh seseorang mampu membentuk sebuah citra dari perusahaan. Citra yang dimaksud adalah gambaran yang dimiliki oleh setiap orang mengenai pribadi perusahaan, organisasi, atau produk yang merupakan suatu penilaian yang sifatnya abstrak dan hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak yang terkait. Sedangkan, citra perusahaan menurut Jefkins dan Yadin (2004), merupakan citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, sehingga bukan hanya citra pada produk dan pelayanannya saja.
Citra didefinisikan sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi (Aprinta, 2014). Rajagukguk dan Kasmiruddin (2015) menyatakan bahwa citra perusahaan merupakan persepsi publik tentang perusahaan yang menyangkut pelayanan, kualitas produk atau jasa, budaya perusahaan, perilaku perusahaan, atau perilaku individu-individu dalam perusahaan dan lainnya. Sesuai dengan pernyataan Harrisondalam Prihastiti (2012), informasi yang lengkap mengenai citra perusahaan meliputi empat elemen, yaitu : (1) personality; (2) reputation; (3) value ethics;dan (4) corporate identity.
Hawkins (Prihastiti, 2012), menyatakan bahwa tahap-tahap dalam proses pembentukan citra terdiri dari : (1) tahap penangkapan informasi (exposure) yang terjadi disaat suatu rangsangan mencapai daerah syaraf penerima indera seseorang; (2) tahap perhatian (attention), agar kegiatan yang dilakukan menjadi perhatian seseorang, maka setelah rangsangan mencapai daerah syaraf penerima maka selanjutnya rangsangan tersebut harus dapat menggetarkan syaraf indera dan menimbulkan respon atau sensasi pada otak; dan (3) tahap pemahaman (comprehensive), setelah adanya perhatian, obyek mencoba memahami semua yang ada pada upaya perusahaan.
Untaian Harapan
Pada dasarnya profesional public relations memiliki fungsi yang sama yaitu, (1) bertindak sebagai communicator dalam kegiatan komunikasi pada organisasi perusahaan, prosesnya berlangsung dalam dua arah timbal balik (two way traffic reciprocal communication). Dalam hal ini, satu pihak melakukan fungsi komunikasi merupakan bentuk penyebaran informasi, di lain pihak komunikasi berlangsung dalam bentuk penyampaian pesan dan menciptakan public opinion; (2) membangun hubungan yang positif dan baik dengan pihak publik sebagai target sasaran yaitu publik internal dan eksternal. Khususnya menciptakan saling mempercayai (mutually understanding) dan saling memperoleh manfaat bersama (mutual symbiosis) antara lembaga/organisasi perusahaan dan publiknya; (3) Peranan back up management dan sebelumnya dijelaskan bahwa fungsi public relation melekat pada fungsi manajemen, berarti ia tidak dapat dipisahkan dari manajemen. Fungsi manajemen dalam konsep public relations bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan persepsi terbaik bagi suatu lembaga, organisasi, perusahaan, atau produknya terhadap segmen masyarakat, yang kegiatannya langsung atau tidak langsung mempunyai dampak bagi masa depan organisasi, lembaga, perusahaan atau produknya; (4) menciptakan citra perusahaan atau lembaga (corporate image) yang merupakan tujuan akhir dari suatu aktivitas program PR. Peranan public relations mencakup bidang yang luas menyangkut hubungan dengan berbagai pihak dan tidak hanya sekadar berbentuk relations arti sempit, tetapi PR berperan dalam bagaimana meningkatkan kesadaran, pengertian dan pemahaman tentang aktivitas perusahaan dan lembaga, termasuk membentuk sikap yang menyenangkan (favoritable), itikad baik (good will), toleransi (tolerance), saling pengertian (mutual confidence), saling menghargai (mutual appreciation), dan pada akhirnya akan menciptakan citra baik (good image) (Ruslan, 2013).
Mungkin dinamika dan romantika praktek kehumasan kita belum complicated seperti praktek di negara-negara maju, seperti diceritakan Lovell (Tamin, 2008). Sering dalam melakukan tugasnya, praktisi PR bertemu dengan dilemma etika. Bagaimana misalnya kalau ia diminta berbohong, menulis press release yang misleading, berbohong pada reporter, dan menutup-nutupi hal-hal yang tidak mungkin dicapai? Kalau berani menolak, mungkin ada risiko dipecat. Kalau mereka turuti, dan apalagi kalau berkali-kali, mungkin mereka akan tersiksa terus karena telah bertindak yang tidak sesuai dengan hati nurani dan etika. Ini bisa menijmbulkan stress.
Semoga !!!