Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Menggelitik dan menarik gubahan manis Achmad Sobirin (Subair, 2020) berikut ini. “Nothing changes except the change itself Everything changes except change All things are flowing Change or die.” Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, ungkapan-ungkapan tersebut akan berbunyi…… “di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri”, “semuanya berubah hanya satu yang tidak berubah yaitu perubahan”, “tidak ada satupun yang tetap diam, semuanya selalu bergerak mengalir” dan “berubah atau mati”. Itulah ungkapan-ungkapan populer tentang perubahan.
Seorang pemikir, sekaligus arsitek hukum Romawi bernama Cicero, pernah berkata “Yang senantiasa berubah adalah perubahan itu sendiri.” “Change is the metaphysic of our age” bahwa “hakikat zaman ini ditandai dengan pelbagai perubahan…” (Richard Kostalanet dalam Usman dan Kadir, 2020).
Perubahan merupakan suatu keniscayaan atau hal yang pasti terjadi dan akan terus terjadi. Hal tersebut sudah diketahui oleh manusia sejak zaman dahulu, yang diungkapkan melalui kata-kata “pantai rhei” (bahasa Belanda: alles verandert, bahasa Inggris: everything changes). Atau “Neverything flows, everything is constantly changing”. Yang abadi hanyalah perubahan. Tidak ada yang permanen, kecuali perubahan. “There is nothing permanent except change” (Heraclitus, Filsuf Yunani, 500 SM). Makhluk manusia pada prinsipnya memiliki sifat jenuh atau bosan yang merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan sosial (Subair, 2020). Heraclitus, filosof Yunani yang hidup pada masa 535-475 SM, pernah menyinggung “Anda tidak mungkin melangkah dua kali dalam sungai yang sama”. Dengan kata-kata itu, Heraclitus ingin mengemukakan pemikirannya bahwa di dunia ini tidak ada yang tetap, semuanya selalu berubah: “Panta chōrei kai ouden menei” (semuanya berubah dan tidak ada yang tetap). Atau seperti pendapat Bertrand Russel: “All thing are flowing”—semuanya mengalir. Albert Einstein mengatakan bahwa sesuatu yang pasti adalah perubahan. Gayung bersambut dengan pernyataan Einstein, Evelyn Waugh juga mengungkapkan “Change is the only evidence of life” (Kasali, 2010). Perubahan merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Hanya mereka yang mau dan siap berubah saja yang akan menjadi ‘petarung’ tangguh dalam kehidupan ini. Diungkapkan juga oleh ilmuwan penemu rumus E= mc² Albert Einstein mengatakan bahwa sesuatu yang pasti adalah perubahan.
Segala dan semua sesuatu bergerak terus-menerus dan bergerak secara abadi. Perubahan terjadi dengan tiada hentinya. Segala sesuatu bergerak dan berubah, tidak ada yang tetap. Semua berubah dan bergerak. Tidak ada yang pasti. Yang ada dan pasti adalah perubahan.
Karena ucapan-ucapan tersebut menyebabkan Heraclitus dikenal sebagai filosof perubahan.
Hanya ada sesuatu yang pasti terjadi dalam dunia ini yaitu: perubahan. “If you learn you will change, but if you don’t change you will die” (Prahalad & Hamel, 2011). Semua fenomena yang ada di dalam alam semesta ini selalu mengalami perubahan yang tak putus-putusnya, selalu dalam keadaan bergerak dan mengalami proses, yaitu: timbul, kemudian berlangsung, dan lalu berakhir/lenyap.
Masyarakat selalu bergerak, berkembang, dan berubah. Dinamika masyarakat ini terjadi bisa karena faktor internal yang melekat dalam diri masyarakat itu sendiri, dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal (Narwoko, 2004). Ada banyak perspektif teori yang menjelaskan tentang perubahan sosial, misalnya perspektif teori sosiohistoris, struktural fungsional, struktural konflik, dan pikologi sosial.
Perubahan adalah sesuatu yang inheren dalam tabiat segala sesuatu. Jadi semua masyarakat itu pasti berubah hanya saja yang berbeda adalah rate of change (derajat perubahan). Sebuah perubahan bisa berjalan jika sudah ada perubahan dalam pikiran atau cara berpikir (Syukrie, 2011).
Sudah menjadi aksiomatis pada saat sekarang untuk mengatakan bahwa segala sesuatu mengalami perubahan dan yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Perubahan sosial tidak akan selalu berjalan mulus. Perubahan sosial seringkali dihambat oleh beberapa faktor penghambat, di antaranya : kurangnya hubungan dengan masyarakat yang lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terhambat, sikap masyarakat yang tradisional, adat atau kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tertanam kuat sekali, rasa takut akan terjadinya disintegrasi (meninggalkan tradisi), sikap yang tertutup, hambatan yang bersifat ideologis, dan hakikat hidup, dan masih “1001” penghambat lainnya.
Untuk menuju ke sebuah perubahan, tidak semudah membalikkan telapak tangan, apatah lagi bagi orang-orang yang berada dalam “zona aman”. Ada “1001” macam penghambat perubahan dan salah satu di antaranya yakni intellectual cul-de-sac atau kebuntuan pemikiran.
Mustahil ada perubahan ke arah yang benar jika kesalahan berpikir masih berada dalam benak kita. Berpikir merupakan aktifitas otak, maka berpikir akan menentukan apa tindakan kita selanjutnya.
Kesalahan berpikir merupakan sebuah ketidak-sinergisan antara isi akal pikiran dengan realita yang harus dijalani oleh masyarakat. Kesalahan berpikir ini timbul akibat adanya kebutuhan masyarakat terhadap sebuah perubahan.
Perkataan fallacy dalam bahasa Inggris secara umum berarti gagasan atau keyakinan yang salah (palsu), dalam arti teknis yang sempit itu perkataan fallacy kita terjemahkan dengan istilah “kerancuan berfikir” atau “berfikir rancu” yang semuanya menunjuk pada jalan pikiran yang tidak tepat atau keliru. Jadi, kekeliruan berfikir adalah bentuk-bentuk atau jenis-jenis argumen yang tidak tepat atau yang salah (incorrect argument) (Sidharta, 2010).
Menurut Michel M. LaBoissiere dalam jurnal Logical Falacies (2010), logical fallacy adalah kesesatan logika berpikir yang timbul karena terjadi ketidaksesuaian antara apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk merumuskan pokok pikiran.
Logical fallacy muncul bukan karena ada kesalahan terhadap ide yang dikemukakan atau fakta yang disampaikan. Pembedaan apakah suatu argumen ber-logical fallacy atau tidak
melihat pada hubungan antara premis dan kesimpulan yang dibentuk. Walaupun premisnya benar, tetapi apabila kesimpulan yang dibentuk tidak menghasilkan konklusi yang sebenarnya, maka argumen tersebut dapat dikatakan sesat atau fallacy (Irving dalam Gitayuda, 2021).
Kesalahan berpikir daripada manusia memang sering kita jumpai apakah itu disengaja atau tidak disadarinya. Kesalahan berpikir itu harus dihindari atau kita ketahui bahwa hal-hal tersebut memang kesalahan berpikir. Membiarkan suatu kesalahan berpikir adalah sama dengan menjerumuskan diri kita sendiri dan orang lain.
Apakah yang dimaksud dengan perubahan? Perubahan adalah suatu kondisi dimana adanya gejolak atau perubahan strukturdan fungsi dalam satu sistem sosial. Perubahan dibagi menjadi 2 jenis; perubahan alami dan perubahan ikhtiari. Seperti kita tahu perubahan alami adalah perubahan yang berasal atau bersumber dari alam, sedangkan perubahan ikhitari adalah perubahan yang terjadi akibat adanya campur tangan dari manusia. Kedua perubahan tersebut adalah hal yang sangat wajar dan saling berkaitan, perubahan alami memang sudah hakikatnya terjadi karena adanya sebuah siklus, sedangkan perubahan ikhtiari juga hal yang wajar karena manusia diberikan akal pikiran oleh tuhan untuk melakukan sebuah perubahan, jadi menusia hendaknya tidak hanya menunggu sebuah perubahan dari alam.
Ada dua jenis kesalahan berpikir dalam melakukan perubahan sosial, yakni pertama, intellectual cul-de-sac yang terjadi akibat penggunaan logika yang tidak benar, dan kedua, mitos, yaitu sesuatu yang tidak benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang termasuk oleh para ilmuwan. Dua bentuk kesalahan ini acapkali menghampiri kita dan membuat pemahaman kita terhadap masalah sosial yang dikritisi menjadi tidak tepat dan pada akhirnya tidak bisa menemukan solusi tepat. Mustahil kita melakukan perubahan sosial apabila kesalahan berpikir (intelegent culdesac) masih menjangkit pada tiap orang (Rakhmat, 2010).
Secara umum, intellectual cul-de-sac terbagi atas 7 (tujuh) jenis, yaitu: (1) fallacy of dramatic instance, (2) fallacy of retrospective determinism, (3) post hoc ergo propter hoc, (4) fallacy of misplaced concretness, (5) argumentum ad verecundiam, (6) fallacy of composition, dan(7) circular reasoning (Jalaluddin Rakhmat, 2010). Atau ada yang membaginya dengan istilah lain, seperti: over generalization, retrospective determinance,post hoc ergo proper hoc, misplaced concreetness, argumentum ad verecundiam, falacy composition, andcicular reasoning.
Guna lebih jelasnya pendapat Rakhmat (2010) tersebut, akan diuraikan sebagai berikut.
Fallacy of dramatic instance
Fallacy of dramatic instance berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Padahal setiap masalah meskipun memiliki kesamaan tipe pastilah berbeda secara kondisional. Kita tidak jarang melakukan over-generalisation ini saat memandang dan menilai seseorang atau sesuatu.
Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah sosial. Argumentasi yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan. Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual’s personal experience).
Contoh fallacy of dramatic instance:
Sudirman adalah mahasiswa Unismuh Makassar
Ahdan adalah mahasiswa Unismuh Makassar
Sudirman berperangai jelek
Jadi, Ahdan juga berperangai jelek
(karena keduanya mahasiswa Unismuh Makassar)
Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang, sesuatu, atau tempat. Padahal, orang itu selalu berubah, sehingga hal yang sama tidak bisa kita terapkan pada orang yang sama terus menerus dan selamanya.
Fallacy of retrospective determinism
Istilah ini menggambarkan kebiasaan orang untuk melihat suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada dan tak bisa dihindari. Kerancuan seperti ini pada akhirnya membuat kita bersikap fatalis, menyerah pada keadaan, dan selalu melihat kebelakang. Akhirnya, ide-ide untuk mengeluarkan gagasan-gagasan perubahan tidak bisa diaktualisasikan.
Misalnya, orang yang berpendirian tipe ini akan menganggap masalah kemiskinan sebagai masalah yang sudah sejak dulu ada sepanjang sejarah bangsa dan tidak bisa diberantas, maka untuk apa kita meributkan upaya untuk memberantas kemiskinan itu? Bayangkan kalau setengah saja dari populasi rakyat Indonesia berpikiran seperti ini, maka kemiskinan akan sangat sulit diberantas.
Contoh lain, ada sesuatu masalah sosial yang bernama pelacuran alias prostitusi. Sebagian orang mengatakan: “mengapa pelacuran itu harus dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran, melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah.”
Cara berfikir fallacy of retrospective determinism selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “sistem”. Karena itu, kesalahan berfikir ini disebut restrospective (melihat kebelakang). Determinisme restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah lalu.
- Post hoc ergo propter hoc
Istilah post hoc ergo propter hoc berasal dari bahasa latin. Post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y, maka X dianggap sebagai sebab dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan waktunya begitu. Misalkan ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak yang lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi menjadi lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu. Dulu, ketika zaman anak pertama, orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang. Tapi, malangnya, yang kena getah malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “ini anak membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya sengsara. Nah, anak saya yang terakhir ini yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi, itu adalah contoh post hoc ergo propter hoc. - Fallacy of misplaced concretness
Misplaced berarti salah telak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berfikir ini muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab : “kita hancur karena kita berada pada satu sistem jahiliyah. Kita hancur karena ada thagut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu adalah dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” sistem itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.
Contoh lainnya adalah ungkapan yang mengatakan: ”ini semua sudah takdir Allah.” Ketika terjadi permasalahan sosial dan kita menganggapnya sebagai takdir Allah, maka selesailah sudah perdebatan karena orang cenderung merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan.
Dalam istilah logika, kesalahan seperti di atas itu disebut reification. Yaitu, menganggap real sesuatu yang sebetulnya hanya berada dalam pikiran kita. - Argumentum ad verecundiam
Berargumen atas dasar otoritas. Ada orang yang sering kali berbicara menggunakan otoritas yang telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk berargumentasi. Padahal kalau mau ditelusuri, secara kontekstual, ia bisa saja dipahami secara berbeda. Orang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Misalnya : si A mengutip ayat Al-Qur’an untuk memaksa lawannya berhenti dengan argumentasinya (apabila ia membantah ayat tersebut dikatakan kafir karena tidak mengindahkan perintah yang ada dalam Qur’an). Padahal bisa saja timbul perbedaan pendapat dalam interpretasi makna ayat tersebut. Dan kalaupun si B ingin membantah yang ingin ia katakan adalah penyalahgunaan otoritas Qur’an bukan pada ayat itu sendiri. - Fallacy of composition
Fallacy of composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang. Contoh yang menarik, yakni ketika ada satu keluarga disatu kampung yang memelihara ayam petelor mendapatkan untung besar. Melihat itu, berbondong-bondong masyarakat di kampung itu latah beternak ayam petelor dengan harapan bisa meraih untung besar. Akibatnya, mereka semua satu penduduk itu bangkrut karena banyaknya pasokan telur tidak diimbangi dengan permintaan pasar. - Circular reasoning
Circual reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula. Misalnya, terjadi perdebatan tentang rendahnya prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang pertama membuktikan konklusi tersebut dengan membandingkan presentase mahasiswa Islam dan non-Islam pada program S2 dan S3. hasilnya, makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin menurun trend kehadiran orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, presentase siswa Muslim adalah 95 %. Kesimpulanya, umat Islam di Indonesia menduduki posisi intelektual yang rendah.
Maulana Adieb (2022) dalam tulisan dengan judul “Definisi Logical Fallacy (Sesat Pikir) dan 24 Jenis-jenisnya yang Perlu Diketahui Sobat Zenius”. Terdapat 24 jenis logical fallacy. Yaitu : ad hominem; hasty generalization (overgeneralization); strawman; post hoc; circular reasoning; burden of proof; begging the question; false dilemma; appeal to nature; anecdotal; ad ignorantum; the gambler’s fallacy; middle ground; false cause; appeal to popularity; slippery slope; bandwagon; the fallacy fallacy; appeal to emotion; ambiguity; personal incredulity; tu quoque; genetic; dan special pleading.
Ad hominem. Ad hominem ini merupakan sesat pikir di mana saat dua pihak sedang melontarkan argumen, satu pihak akan membahas kepribadian orang lain yang tidak ada kaitannya dengan pembahasan yang sedang berlangsung.
Hasty generalization (overgeneralization). Adalah cara berpikir yang cenderung menggeneralisasi keadaan. Biasanya, kesalahan berpikir seperti ini terjadi ketika seseorang mengambil keputusan secara tergesa-gesa tanpa memiliki data yang memadai. Contohnya, seseorang yang beranggapan bahwa orang Bali itu langsing hanya karena ia memiliki beberapa teman asal Bali yang bertubuh langsing.
Strawman merupakan suatu keadaan di mana saat dua pihak sedang berbicara, pihak yang lain menyimpulkan argumen orang lain secara salah dan menimbulkan kesalahpahaman.
Post hoc merupakan sebuah argumen di mana seseorang melebih-lebihkan sesuatu dan terlalu mempercayai suatu hal. Misalnya, argumen mengenai mayat yang dilangkahi kucing hitam akan bangkit lagi atau orang yang kejatuhan cicak akan mengalami marabahaya.
Circular reasoning. Argumen seseorang yang terus berputar-putar tanpa ada bukti yang kuat? Misalnya, seseorang berargumen kalau Tuhan itu ada karena terdapat dalam sebuah kitab. Terus, ada orang bertanya, “kenapa gue percaya kalau Tuhan itu ada?”, lalu pihak pertama menjawab, “Ya, karena sudah tertuang dalam kitab”. Alhasil, argumennya hanya berputar-putar di sana tanpa ada opini lain yang menguatkan.
Burden of proof yaitu jenis sesat pikir dengan suatu keadaan di mana pihak pertama yang telah mengeluarkan argumen menantang kepada pihak kedua untuk memberikan bukti kalau argumennya itu tidak valid.
Begging the question. Hampir sama seperti circular reasoning, jenis logical fallacy yang satu ini cenderung berputar-putar atau memiliki pola pikir yang melingkar. Jadi, ketika seseorang mengungkapkan argumen, terdengar seakan-akan tidak jelas atau ambigu antara pernyataan atau pertanyaan. Pada akhirnya, hal ini justru membuat para pendengar merasa kebingungan.
False dilemma atau dikotomi palsu, merupakan salah satu kesesatan berpikir yang membuat pihak pertama seolah-olah hanya memberikan dua pilihan dari argumennya kepada pihak kedua. Contoh dari jenis false dilemma yaitu ketika seseorang berkata kepada orang lain seperti ini, “kita tidak punya pendirian kalau cuman bisa mengikuti orang lain”. Akibat argumen tersebut, otomatis pihak kedua langsung tidak berkutik dan bingung hendak menjawab apa.
Appeal to nature. Jenis sesat pikir yang satu ini membuat orang berpendapat kalau semua hal yang alami adalah baik, benar, dan tidak terbantahkan sama sekali. Padahal, belum tentu hal-hal alami itu baik. Malahan, justru cenderung terlihat buruk atau jahat.
Anecdotal. Orang yang mempraktikkan jenis ini akan menggunakan pengalaman pribadi ataupun sampel tertentu secara subjektif untuk dijadikan sebagai argumen yang berkaitan dengan seluruh orang atau populasi. Sebagai contoh, ada pemilik minuman brand A mengatakan kalau minumannya sudah laris di 30 negara, 15 negara di antaranya merupakan negara tersehat di dunia. Setelah itu, ia mengklaim kalau minumannya itu bisa bikin sehat. Padahal, itu hanya survei dari beberapa negara saja.
Ad ignorantum. Sesat pikir yang satu ini sejatinya hampir sama seperti menggeneralisasikan sesuatu, tetapi hanya terpaku pada satu subjek saja. Biasanya, orang dengan ad ignorantum akan menganggap suatu hal sama dengan yang lainnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Salah satu contohnya yaitu ada seseorang yang tidak suka satu lagu dari seorang musisi. Setelah itu, ia akan beranggapan kalau semua lagu dari musisi tersebut tidak enak.
The gambler’s fallacy. Kesesatan berpikir yang satu ini terkadang sering muncul ketika kita sedang mempertaruhkan sesuatu atau menanam aset di sebuah investasi. Secara garis besar, gambler’s fallacy merupakan pola pikir, di mana seseorang percaya bahwa kebetulan jangka pendek akan terkoreksi secara alami.
Middle ground. Pemikiran yang satu beranggapan kalau saat dia berada di tengah-tengah pertentangan, ia beranggapan kalau berada di titik tengah adalah suatu kebenaran. Hal tersebut tentu saja cukup berbahaya. Sebab, belum tentu ketika kita tidak memilih apapun itu benar. Bisa saja, kebenaran itu terletak di kubu A ataupun kubu B. Sebab, jika kita tetap berada di tengah-tengah, itu sama saja seperti berada di tengah kebenaran dan kebohongan. Dalam arti lain, hal tersebut masih dianggap dengan kebohongan.
False cause. False causes terjadi ketika seseorang disajikan dengan dua hal yang terjadi secara bersamaan, lalu orang itu berpikir dua hal tersebut saling berkaitan atau mempunyai sebab akibat. Sebagai contoh, kasus virus corona sedang meningkat saat ini. Lalu, di sisi lain kasus perceraian juga sedang marak di tengah masyarakat. Lalu, seseorang menyimpulkan kalau corona mengakibatkan perceraian meningkat. Hal ini tentu saja tidak ada kaitannya sama sekali sehingga berujung kepada logical fallacy.
Appeal to popularity. Appeal to popularity terjadi ketika seseorang mempercayai suatu argumen yang disetujui oleh sebagian besar masyarakat. Contoh sederhana dari sesat pikir yang satu ini adalah semua masyarakat beranggapan kalau universitas negeri itu pasti bagus. Alhasil, kita pun ikut memercayai hal tersebut. Padahal, saat ini banyak juga universitas swasta yang tidak kalah bagus dari negeri.
Slippery slope. Slippery slope merupakan kesalahan berpikir mengenai sebab akibat. Sebagai contoh, ketika kita memberi makanan kepada orang lain, lalu ada seseorang yang berkata kepada kita seperti ini. “Kalau kita memberi makanan kepada satu orang, kita juga harus memberikan makanan kepada semua orang.” Hal ini merupakan kesesatan berpikir yang perlu diwaspadai. Sebab, kita tidak harus menyenangkan semua orang.
Bandwagon. Logical fallacy yang satu ini sebenarnya tidak jauh dari appeal to popularity. Dalam kasus ini, kita memercayai sesuatu argumen yang diyakini benar oleh kebanyakan masyarakat. Apabila ini terjadi, sudah pasti seseorang tidak akan mempunyai pendirian karena terus mengikuti hal-hal yang dianggap benar oleh banyak orang.
The fallacy fallacy. Dalam kasus ini, kita beranggapan kalau suatu klaim atau argumen dibantah dengan buruk, otomatis klaim atau argumen tersebut sudah pasti salah. Hal ini mungkin sering terjadi ketika ada acara debat ataupun diskusi yang diadakan kelas. Ketika ada suatu argumen dari seseorang yang dibantah dengan buruk, lalu kita langsung mengklaim bahwa argumennya sudah pasti salah.
Appeal to emotion. Appeal to emotion merupakan suatu keadaan di mana pihak satu mencoba untuk memanipulasi perasaan atau emosinya supaya lawan bicara ikut merasakan sedih, marah, atau emosi yang lainnya. Setelah itu, si pihak pertama akan mencoba meyakinkan lawan bicaranya mengenai argumen yang sedang ia lontarkan kepada lawan bicaranya.
Ambiguity. Seperti namanya, ambiguity ini merupakan jenis logical fallacy yang membuat seseorang tidak jelas menyampaikan suatu kebenaran. Alhasil, argumennya bisa saja menyesatkan atau menghapus kebenaran. Dalam kasus ini, biasanya seorang politisi atau tokoh ternama yang seringkali menyampaikan hal-hal secara ambigu sehingga membuat masyarakat menganggap bahwa itu adalah hal yang benar.
Personal incredulity. Menganggap sesuatu hal yang tidak dimengerti menjadi sebuah argumen atau tindakan yang salah. Sesuatu yang tidak kita mengerti bukan berarti itu sebuah kesalahan atau hal di luar nalar. Ketika seseorang menafikan kebenaran, hanya karena dia tidak sanggup membayangkan atau tidak sesuai dengan apa yang dia percayai sebelumnya.
Tu quoque. Logical fallacy yang satu ini cenderung menghindari sebuah kritikan. Ia justru membalas kritikan dari orang lain dengan kritikan juga. Sebagai contoh, kita sedang berbincang dengan teman di dalam kelas. Pada awalnya, kita mengkritik kalau teman kita itu jorok, tidak pernah mandi, terus meja belajarnya kotor, dll. Bukannya memperbaiki diri, teman kita justru mengkritik kita dengan berkata kalau kita juga orangnya malas. Sering telat dan jarang mengerjakan PR.
Genetic. Di mana seseorang cenderung menganggap bahwa suatu argumen tidak valid atau tidak bisa dipercaya hanya karena datang dari siapa yang berbicara atau dari mana datangnya. Kesalahan ini dimulai dengan cara memanfaatkan persepsi negatif tentang subjek asal berita tersebut sehingga membuat subjek yang mengeluarkan argumen terlihat buruk.
Special pleading. Jenis yang ini cenderung membela dirinya sendiri dengan membuat pengecualian dari argumen atau klaimnya yang terbukti salah. Ia mencoba untuk membuat pembelaan diri dan beranggapan kalau argumennya itu benar dan berusaha untuk meyakinkan para pendengarnya. Dalam artian lain, orang tersebut tidak mau atau enggan disebut sebagai orang bodoh
Cara mengatasi Logical Fallacy
Dilansir dari buku Rhetorical Strategies for Composition: Cracking an Academic Code.” Rowman & Littlefield (2016) karya Karen A. Wink, cara menghindari kesesatan berpikir dalam berargumen, kita harus memastikan bahwa kesalahan logika melemahkan argumen, dengan menggunakan bukti untuk mendukung klaim dan memvalidasi informasi. Oleh karena itu, kita harus benar-benar memahami terlebih dahulu apa yang ingin disampaikan. Baik dalam pengertian, alasan, contoh, juga buktinya, agar argumen menjadi relevan. Dengan begitu, kita akan terlihat kredibel di hadapan lawan bicara atau audiens. Selain itu, berpikir kritis dengan menyadari dan memahami kekeliruan atau kesesatan berpikir dalam tiap argumen, dapat memperkuat kemampuan kita dengan mengevaluasinya.
Banyak orang belum memahami konsep logical fallacy atau kesesatan berpikir, karena itulah sebuah argumen atau pendapat seseorang yang selama ini kita anggap benar namun ternyata menciptakan sebuah kesesatan berpikir.
Agar seorang mampu terhindar dari logical fallacy adalah selalu pikirkan ulang, pikirkan dengan matang dan mendalam , serta pikirkan sebab akibat dari argumen yang ingin kita sampaikan. Selalu buka pikiran untuk berbagai macam ide baru, terima kekurangan dan kelebihan dalam bersosialisasi, jangan lelah untuk mengkritisi hal yang menurut kita itu adalah sebuah kesalahan, dan yang paling utama adalah jangan lupa untuk selalu belajar dari kesalahan orang lain agar ke depannya kita mampu membedakan hal yang benar atau salah.
Semoga !!!