Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Ada sebuah ungkapan yang terkesan paradoksal atau kontras tentang keadaan Indonesia, kaitannya dengan laut dan nelayan. Bunyi ungkapan begini : “kayanya laut, miskinnya nelayan.” Artinya, laut kita begitu kaya melimpah ruah, sementara nelayan tetap bergelimang dengan kemiskinan, ketakberdayaan dan keterbelakangan.
Realitas kemiskinan dalam kehidupan masyarakat nelayan di tengah sumberdaya laut yang melimpah hampir pasti tidak bisa disangkal, dan yang menjadi jebakan atau perangkap kemiskinan (deprivation trap) nelayan, adalah: rendahnya pendapatan), kelemahan fisik (jasmani), isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan.
Jika diamati distribusi masyarakat tergolong miskin terutama di pedesaan itu justru berada pada kawasan sumber kekayaan alam seperti: nelayan di pesisir pantai lautan; masyarakat desa hutan; masyarakat di sekitar kawasan bahan tambang; dan para buruh tani pada tanah pertanian dan perkebunan (Hardjosoewito, 2011).
Menjadi suatu ironi bagi bangsa Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang diperkirakan mencapai 6,7 juta ton pertahun justru kantong-kantong kemiskinan banyak terletak di pemukiman nelayan. Nelayan tradisional yang berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa sampai saat ini menjadi komunitas terpinggiran dan masih terkuat pada lingkaran kemiskinan. Memang banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan, baik secara ilmiah, struktural maupun kultur yang bersifat sangat kompleks serta kondisi alam yang sangat sulit diprediksi serta rusaknya alam membuat hasil tangkapan semakin sedikit (Anwar dan Wahyuni, 2019).
Memang, realita masyarakat nelayan yakni kondisi kemiskinan yang berimplikasi terhadap terjadinya keterbelakangan dan kesenjangan. Kemiskinan penduduk di desa nelayan jauh lebih besar dibanding dengan kemiskinan di desa pertanian. Hal ini diakui Mubyarto, dkk. (1988) bahwa : “Dibanding dengan kelompok petani, kelompok nelayan kita merupakan kelompok yang sangat tertinggal kesejahteraan ekonominya. Penduduk miskin di desa pertanian masih mempunyai ruang gerak yang luas meskipun pada musim paceklik. Tidak demikian halnya para nelayan yang biasanya memang sudah tidak bisa menemukan jalan lain, kecuali mempertaruhkan nyawa di lautan.”
Menggelitik dikaji apa yang diilustrasikan Gandhi (2005) tentang kemiskinan. Gandhi menggambarkan kemiskinan dalam 4 (empat) kata yang singkat “4L” yakni mereka yang berada pada situasi The Last, The Least, The Lowest, dan The Lost. Secara tegas dikatakan bahwa orang-orang miskin adalah mereka yang tercecar di belakang, hina dan rendah dalam segala hal seperti hidup tanpa arah.
Betapa kayanya laut Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang kaya akan potensi sumber daya laut, seharusnya nelayan adalah profesi yang menjanjikan dan penuh kesejahteraan. Faktanya, justru nelayan hidup dalam keterkungkungan dan kemiskinan. Ini sebuah paradoks.
Memperbincangkan nelayan hampir pasti isu yang selalu muncul adalah masyarakat tak berdaya, marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun secara politik.
Fenomena di atas menunjukkan ironi kehidupan nelayan yang tidak sebanding dengan kekayaan lautnya, dan menjadikan nelayan mengalami disorientasi atau ketimpangan kehidupan. Ketimpangan ini dikarenakan, pertama keanekaragaman sumber daya hayati laut yang dimiliki belum atau tidak diikuti kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas alat produksi dengan teknologi yang lebih baik atau modern. Kedua, kurang melindungi nelayan dari berbagai bentuk intervensi para tengkulak yang kurang mendukung perkembangan ekonomi sebagai wujud usaha kesejahteraan sosial sehingga dalam situasi ekonomi yang sulit serta tidak terdukungnya penghasilan yang cukup mengakibatkan terhambatnya usaha kesejahteraan sosial. Ketiga, kurang terdukungnya moral ekonomi nelayan seperti semangat pantang menyerah, etos kerja yang tinggi dan gotong royong sebagai sumber daya dalam mengatasi kemiskinan yang mendera kehidupannya (Pranowo dan Hidayatulloh, 2014).
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pantai di Indonesia dikenal sebagai kawasan masyarakat miskin, kumuh dan terbelakang (Nugroho, 2015). Digambarkan oleh Salman (2006) bahwa suasana kemiskinan pada nelayan selalu lebih menonjol, tercermin dari kondisi desa nelayan yang tertinggal, terisolasi, dan kumuh. Hal senada diungkapkan pula oleh Utami (2010), masyarakat pesisir sering diidentikkan dengan masyarakat miskin. Disebut miskin karena masih banyak masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari sumber daya laut namun modal usaha yang dimiliki relatif kecil, peralatan tangkap tradisional, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Hal tersebut yang mengakibatkan masyarakat pesisir.
Kusnadi, et.al (2007) menyebutkan kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi masyarakatnya.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang tergolong miskin, di antaranya : Mubyarto (1984); Sudjatmoko (1995); Masyhuri (1999); Imron (2001); Kusnadi (2002; 2003), Badaruddin (2005), Salman (2006); Satria (2009); Ninda (2009); Ulumuddin (2009); (Fatmasari (2014); (Nugroho, 2015); dan lain-lain.
Berbagai penelitian mengenai kehidupan nelayan umumnya yang menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan kehidupan yang dihadapi nelayan dan keluarganya (Acheson, 1981; Emerson, 1980). Smith misalnya (1981) menggambarkan bahwa tingkat kehidupan mereka sedikit di atas migran atau setaraf dengan petani kecil. Bahkan Winahyu dan Santiasih (1993) mengemukakan bahwa jika dibandingkan secara seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan tradisional) dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Menurut Martadiningrat (Arguby dan Usman, 2019), salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan. Bahkan termasuk kelompok paling miskin di semua negara dengan atribut “the poorest of poor’ (termiskin diantara yang miskin) (Nikijuluw, 2002).
Hampir semua kategori peradaban masyarakat yang dimiliki kaum nelayan, berada pada tingkat yang juga lebih rendah (Akpalu, 2011).
Problema Akut dan Derita Nelayan
Kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak memiliki dana untuk berobat merupakan beberapa ciri yang dikaitkan dengan suatu kondisi ketidakcukupan yang disebut sebagai kemiskinan (Sallatang, 2002). Masalah kemiskinan pada masyarakat nelayan di Indonesia sudah merupakan isyu global yang berkaitan langsung dengan kemanusiaan dan telah banyak menguras para ahli untuk merumuskan konsep penyelesaiannya.
Sumber daya alam yang melimpah di kawasan pesisir seharusnya seirama dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Namun, faktanya tidak sedikit permasalahan yang justru terjadi pada masyarakat pesisir, antara lain: kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan warga, kesehatan, minimnya fasilitas umum, dan faktor alam yang tak menentu.
Sebagaimana juga masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut di antaranya : a. Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat; b. Keterbatasan akses modal, teknologi, dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha; c. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada; d. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik; e. Degradasi sumber daya lingkungan baik dikawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil; f. Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Ayuningtyas, dkk., 2015).
Sejumlah masalah di atas saling terkait satu sama lain, misalnya masalah kemiskinan. Ini disebabkan oleh hubungan-hubungan korelatif antara keterbatasan akses, lembaga ekonomi belum berfungsi, kualitas SDM rendah, degradasi sumber daya lingkungan, dan belum adanya ketegasan kebijakan pembangunan nasional, kemiskinan menjadi penyebab timbulnya kualitas SDM dan degradasi sumber daya lingkungan. Karena itu, penyelesaian persoalan kemiskinan dalam masyarakat pesisir harus bersifat integralistik.
Sedikitnya ada sembilam permasalahan teknis yang membuat sebagian besar nelayan masih miskin (Dahuri, 2013).
Pertama, banyak nelayan yang kini melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok sumber daya ikannya mengalami overfishing (tangkap lebih). Kedua, pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) sumber daya ikan. Ketiga, sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (best handling practices). Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah. Keempat, hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis. Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan.
Kelima, di masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan. Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan. Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.
Keenam, pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis. Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir. Ketujuh, kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama. Kedelapan, harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban. Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan.
Kesembilan, sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah ABK. Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (di atas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya. Sementara, ABKnya masih banyak yang miskin.
Semoga !!!