Oleh:
Sofyan Sjaf*)
SADAR ataupun tidak, hegemoni teori-teori barat dikalangan intelektual Indonesia telah berhasil “mengaburkan” ke-identitas-an Indonesia sebagai negara yang hampir memiliki ribuan etnik (subetnik) ini. Menempatkan etnik sekedar representasi kelompok (Burke dan Stets 1998; Barth 1988), telah menjadikan etnik sebagai obyek yang terkomodifikasi diberbagai arena kehidupan (sosial, budaya, politik dan ekonomi). Sebaliknya, etnik sebagai subyek yang memiliki bentuk kearifan tidak dipandang sebagai modal sosial yang dimiliki bangsa yang besar ini. Di sinilah akar dari diskriminasi (ketidakadilan) etnik yang bermuara.
Maraknya praktik-praktik komodifikasi etnisitas dalam arena ekonomi politik (baik di pusat maupun daerah) semakin membuktikan hilangnya peran negara mengorganisir masyarakat polietnik sebagai kekuatan yang dimiliki bangsa ini. Akibatnya, opus operatum (hasil praktik) nampak dalam wujud dominasi etnik mayor terhadap minor yang berujung pada ketidakadilan etnik baik dalam pembangunan maupun struktur kekuasaan dari level pemerintahan desa hingga pusat. Jika demikian halnya, maka saatnya distingsi etnisitas menjadi diskursus ruang publik agar terwujudnya keadilan etnik di Indonesia. Pertanyaannya bagaimana mewujudkan keadilan etnik tersebut?
Terabaikan
Tiga abad lalu Furnivall (2009) mengingatkan Indonesia akan mengalami ancaman serius terhadap nasionalismenya dikarenakan benturan dan pertentangan antar komunitas etnis. Meski peringatan ini sudah jauh hari, namun tetap saja etnisitas dan persoalannya terabaikan. Simaklah ruang eksistensi etnisitas yang tidak terorganisir dengan baik dalam struktur kekuasaan Orde Lama, menyebabkan terorganisirnya gerakan pemberontakan dibeberapa daerah. Begitupun diskursus etnisitas yang dibatasi saat Orde Baru menyebabkan terbatasnya ruang relasi etnisitas sehingga menguatnya distingsi antar etnik. Akhirnya, ketika rezim Orde Baru tumbang, berbagai kejadian konflik komunal tidak direspon cepat dan diselesaikan dengan baik. Apalagi dengan pilihan demokrasi liberatif saat ini, semakin memperkuat formasi distingsi etnisitas. Identitas etnik seolah “dipelihara” sebagai obyek instrumen aktor untuk meraih dan memperebutkan kekuasaan. Bahkan doxa distingsi etnisitas di(re)produksi untuk membangun sekaligus mempertentangkan antar etnik diberbagai arena (ekonomi, politik, dan sosbud). Parahnya, doxa tersebut diwariskan kepada golongan muda melalui strategi reproduksi dan investasi simbolik sebagai upaya memperkuat legitimasi kekuasaan aktor (Sjaf 2012).
Dengan demikian, konflik komunal bukanlah hal baru bagi Lampung maupun negeri ini. Melainkan suatu peristiwa yang berulang dan embedded dalam relasi antar etnik. Pendekatan yang hanya berorientasi penyelesaian sesaat (seperti memperkuat keamanan) bukanlah jalan satu-satunya untuk meredakan konflik komunal di negeri yang strutkur masyarakatnya politetnik. Melainkan menghadirkannya secara nyata dalam wujud afirmatif.
Butuh Keadilan Etnik
Sejauh ini, tidak hanya Lampung yang memiliki potensi terjadinya konflik komunal. Melainkan terdapat puluhan provinsi terdeteksi memiliki potensi konflik komunal berdasarkan rasio jumlah sebaran etnik terhadap desa. Umumnya provinsi-provinsi yang memiliki potensi konflik tersebut memiliki rasio jumlah sebaran etnik terhadap desa di atas 2,1 (Sjaf 2012). Potensi ini begitu memperihatinkan bagi nation-state apabila tidak adanya suatu kebijakan afirmatif memperlakukan etnisitas.
Kebijakan afirmatif memperlakukan etnisitas bukanlah upaya membangkitkan “semangat etnisitas”, tetapi upaya membuka etnisitisme dalam ruang publik agar terwujudnya kesadaran bersama untuk keadilan etnik. Sejauh ini, meningkatnya konflik komunal pasca Orde Baru (desentralsiasi) merupakan fenomena lepasnya kendali negara terhadap eksistensi etnisitas yang tertekan selama ini. Parahnya, desentralisasi yang “berbau liberatif” cenderung mengarusutamakan individualisme ketimbang komunitarianisme, sehingga etnisitisme ditempatkan sebagai distingsi maupun segregasi yang memicu peluang terjadinya konflik komunal.
Padahal etnitisme itu sendiri merupakan pemahaman yang membuka akses yang sama kepada setiap etnik (mayor-minor) agar memiliki eksistensi disetiap arena publik (ekonomi, sosial, budaya dan politik). Pemberian akses adalah wujud keadilan etnik yang diartikulasikan dalam berbagai bentuk. Sebagai misal, di arena politik, keadilan etnik dapat diwujudkan dalam kebijakan afirmatif tentang keterwakilan representasi etnisitas di partai politik atau di lembaga-lembaga politik lainnya. Di arena ekonomi, keadilan etnik diwujudkan dalam bentuk pengalokasian APBN/APBD yang mempertimbangkan sebaran etnisitas yang bertujuan untuk mencegah terjadinya ketimpangan ekonomi antar kelompok etnik. Begitupun di arena sosial dan budaya, keadilan etnik dapat berwujud meningkatkan frekuensi aksi kolaboratif antar etnik dengan pendekatan cross culture based ethnic dalam kelembagaan lokal. Semua ini tidak lain adalah upaya untuk menjinakkan sekaligus meredam terjadinya konflik komunal yang sangat berpotensi di Indonesia.*
*) Penulis adalah Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FEMA IPB. Email: [email protected]