Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Pembangunan kota atau daerah yang “telah”, “sedang”, dan lebih-lebih yang “akan” dirakit, dipacu, direkonstruksi pemerintah dan masyarakat, tentu mendambakan kebersamaan, bahu-membahu, dan partisipasi aktif semua komponen tanpa terkecuali: mulai dari mereka yang berada pada stratifikasi sosial terbawah (rakyat jelata/masyarakat awam) hingga level tertinggi (golongan menengah ke atas), tanpa pilih kasih, diskriminasi, dan dispensasi. Mulai dari rakyat pencari barang-barang sisa/bekas (pemulung), gepeng (gelandangan pengemis), penjual-penjual sayur, penjual-penjual obat, pendorong gerobak (penjual es cendol, misal), pedagang kaki lima, pedagang bakulan, pedagang asongan, buruh kasar, buruh tani, nelayan, wiraswastawan, pegawai negara, dan sederet stratifikasi masyarakat lainnya, tanpa diskriminasi, tanpa perbedaan jenis kelamin.
Lalu, bagaimana posisi pemerintah dalam pembangunan masyarakat? Secara makro, menurut Khairuddin (2000), peranan pemerintah di dalam pembangunan nasional adalah sebagai: (1) modernisator, (2) katalisator, (3) dinamisator, (4) stabilisatior, dan (5) pelopor. Sebagai modernisator, pemerintah harus mampu membawa perubahan-perubahan dan pembaharuan kepada masyarakat. Karena sebagaimana kita ketahui informasi awal tentang kemajuan dan kelengkapan data kemajuan tersebut lebih banyak dimiliki oleh pemerintah, sebagai pemegang legitimasi dalam hubungan antar budaya dan teknologi antaranegara. Sebagai katalisator, pemerintah dan aparat-aparatnya harus dapat mengenali faktor-faktor yang sifatnya mendorong lajunya pembangunan nasional dan menarik manfaat yang sebesar-besarnya darinya. Sebagai dinamisator, pemerintah bertugas berusaha menciptakan suasana yang tertib dan aman, terutama stabilitas politik. Sebagai pelopor, pemerintah harus mampu menunjukkan contoh-contoh nyata dalam tindakan atau bersifat “ing ngarso sung tulodo.”
Sejak bergulirnya kebijakan desentralisasi sektoral di tingkat kabupaten/kota, pemberdayaan dan penguatan menjadi terminologi yang tidak bisa lepas di hampir semua wacana dan perdebatan partisipasi publik.
Partisipasi publik diyakini menjadi mantra yang mujarab untuk mencairkan kebekuan birokrasi di Indonesia, bahkan partisipasi diyakini mampu menjadi jawaban atas semua persoalan kebangsaan (termasuk kemiskinan). Terminologi partisipasi kemudian terikat kuat dengan konsep demokrasi (sebagai ideologinya), governance (sebagai institusinya), civil soceity (sebagai struktur utamanya) dan partisipasi sendiri sebagai mekanismenya. Sehingga jika ada persoalan (kegagalan) dalam upaya pemberdayaan partisipatif, maka diyakini karena ada malpraktik dalam partisipasi, bukan partisipasi an sich. Dalam perspektif ini, partisipasi sebagai mekanisme demokrasi menjadi imun terhadap kritik dan mengubah mekanisme tersebut menjadi sebuah bentuk yang justru menjadi lawan utamanya, yaitu sebuah bentuk tirani (partisipasi).
Pergeseran Paradigma Pembangunan
Memang, salah satu manifestasi gerakan reformasi yakni adanya pergeseran paradigma pembangunan. Pemerintah bukan lagi sebagai “provider” (penyedia) tetapi sebagai “enabler” (fasilitator). Peranan sebagai enable berarti tiap usaha pembangunan harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan masyarakat itu sendiri, yang berarti pula tidak terlalu mengharapkan pemberian bantuan dari pemerintah.
Kenapa? Sebab, pembangunan (ke arah kemajuan—utopis tentu !) mesti mampu mendudukkan “man”—manusianya pada proporsi subyek-pelaku (pelakon) pembangunan seutuhnya buat mencapai kemajuan dan kesempurnaan yang dicita-citakan—“baldatun thaibatun warabhun gafur”. Manusia bukan sekadar alat apalagi beban dalam proses pembangunan, akan tetapi ia adalah pelaku dan sasaran pokok pembangunan. Bukankah : pembangunan adalah “from, by, and for the people”—dari, oleh, dan untuk rakyat? Bukankah kita telah menghafal ‘mati’ satu ungkapan sakral dalam dunia militer : “Not the gun, the man behind the gun”—artinya, bukan senjata (barang) yang penting karena hanya seonggok benda mati, melainkan manusia yang menggunakan (di belakang) senjata itu. Bahkan E.F. Schumacher di dalam salah satu karyanya Small is The Beautiful—Kecil Itu Indah (1970), menstir: “Pembangunan, tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang…”. Demikian pula, dilaporkan dalam pertemuan “Agama untuk Pembangunan di Tokyo pada tahun 1970” : “Our concern for development is the consequence of our feith”. Artinya : bagi umat yang sebenarnya, pembangunan itu sendiri merupakan panggilan konsekuensi dari iman itu.” Sebagai warga, kita harus ikrar dalam diri tentang sebuah slogan : “I am for the state, but the state for me”—saya untuk negara (daerah), tapi bukan negara (daerah) untuk saya.
Nah, bagaimanakah merealisasikan komitmen moral, suci, dan mulia itu? Sejauhmanakah kepedulian kita selaku warga dalam memacu akselerasi pembangunan? Sejauhmanakah ‘kedalaman’ pemahaman kita atas hak dan kewajiban sebagai warga? Sebab, tanpa memahami secara detail akan seluk-beluk atau hal-ikhwal akan sesuatu termasuk pembangunan, bakal tak akan berpartisipasi aktif secara positif dan maksimal dalam merekonstruksi pembangunan.
Guna menggapai kondisi ideal seperti di atas, menurut Bintoro Tjokroamidjojo (Usman, 2023), “itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat di dalam suatu negara.” Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, mestinya berlangsung mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pada tahap pemanfaatan hasil pembangunan; tanpa terkooptasi dalam status sosial, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jenis kelamin, suku, agama, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Ketika Partisipasi Rentan Berubah Menjadi Tirani
Setidaknya ada tiga domain di mana partisipasi rentan berubah menjadi tirani (Bill Cooke & Uma Khotary, 2001).
Pertama, tirani karena dominasi fasilitator dalam pengambilan keputusan. Fasilitasi dalam proses perencanaan biasanya dilakukan oleh agen (pemerintah atau non-pemerintah) di mana fasilitator bukan merupakan peserta pasif. Fasilitator berpotensi untuk mengabstraksi kebutuhan, merekam, menyebarkan informasi yang kemudian dipersepsikan oleh masyarakat lokal sebagai bagian dari gagasan partisipan.
Kedua, tirani akibat metode partisipasi yang tidak tepat. Perencanaan partisipasi banyak menggunakan cara dan metode yang ditawarkan fasilitator di mana komunitas berpotensi untuk menyesuaikan kebutuhan mereka dengan gagasan-gagasan yang muncul atau dimunculkan oleh fasilitator, lebih-lebih jika relasi antar agen dan komunitas lokal yang berkembang bersifat patronase. Keadaan ini bisa menciptakan kondisi di mana partisipasi justru mengakuisisi dan memanipulasi perspektif, pengetahuan dan prioritas lokal.
Ketiga, tirani akibat relasi asimatris kelompok pemangku kepentingan. Dalam banyak kasus perencanaan partisipatif, mekanisme ini sering menjadi arena dominasi kelompok solid dalam komunitas akibat akses sumber daya yang tidak merata dalam masyarakat. Padahal dalam perencanaan partisipasi aktualisasi kepentingan membutuhkan energi politik yang besar, di mana energi seperti itu lebih banyak dikuasai oleh hanya sebagian warga desa (elit masyarakat).
Dalam konteks ini, dibutuhkan metodologi partisipasi yang dapat memberikan kesempatan maksimal bagi pelaku yang mempunyai sumber daya minimal atau meminjam kalimat Friedmen “memusatkan kekuatan politik pada civil soceity..(dan) pengumpulan energi komunitas” (Friedmen, 1987).
Munculnya tirani baru dalam partisipasi menurut Ilya Moelino (Usman, 2023), sebagai berikut: (1) bisa dilakukan secara cepat; (2) bisa dilakukan dengan mudah; (3) bisa digunakan oleh siapa saja; (4) menjadi mode (populer); (5) berdasarkan aliran tertentu; (6) tidak punya dasar konseptual/teori; (7) PRA (Participatory Rural Appraisal) lama dalam kemasan baru; (8) platihan adalah cara utama memperkenalkan PRA (Participatory Rural Appraisal); (9) yang terlibat bersifat netral; dan (10) tdak bersifat politis.
Jebakan yang Membuat Partisipasi Kurang Bermakna
Pemahaman dan praktek partisipasi selama ini diwarnai oleh sejumlah jebakan yang membuat partisipasi kurang bermakna, advokasi partisipasi menjadi tunggang langgang, sekaligus melengkapi lemahnya praktek demokrasi di tingkat lokal.
Menurut Indra Yadi (Usman, 2023) terdapat 6 (enam) jebakan yang membuat partisipasi kurang bermakna. Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi. Kalau butuh dukungan (material dan fisik), pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini sebagai partisipasi. Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Pemerintah maupun parlemen yakin betul bahwa mereka memegang kekuasaan (jabatan) karena memperoleh mandat dan kepercayaan dari masyarakat melalui proses pemilihan umum. Karena itu para pejabat selalu meminta dukungan partisipasi masyarakat. Dukungan berarti memberikan persetujuan terhadap rencana kebijakan pemerintah (meski rencana ini disusun secara sepihak), mematuhi dan menjalankan kebijakan atau peraturan yang telah disiapkan serta berkorban atas energi maupun materi agar kebijakan bisa berjalan (sampai saat sekarang pun masih terlihat dari sikap anggota DPR/DPRD yang membuat keputusan tanpa berkonsultasi dulu pada masyarakat atau menjadi alat stempel bagi pemerintah guna pembagian jatah proyek).
Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktekkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks kebijakan, pemerintah merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, untuk memberitahu sebelum kebijakan dilaksanakan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Keempat, partisipasi dipahami dalam pengertian nominal yakni manjatuhkan pilihan (vote) bukan dalam pengertian substantif, yakni menyampaikan suara (voice). Sering muncul argumen bahwa partisipasi secara langsung dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak bakal terjadi, sehingga membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum secara berkala.
Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Kalau sudah ada pemilihan dan lembaga perwakilan tampaknya dianggap sudah ada partisipasi. Kalau Perda sudah memberikan jaminan, kalau Musbangdes sampai Rakorbang digelar, kalau DPRD sudah melakukan dengar pendapat, dan sebagainya, dianggap sudah ada pelembagaan partisipasi. Keena, jebakan tirani partisipasi, yang sering terjadi di sektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantis terhadap masyarakat mengatakan bahwa partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan.
Rumusnya: K + K = P
Dalam membangun kota atau daerah, dibutuhkan modal sosial yang bertajuk “kebersamaan.” Kebersamaan itu adalah indah dan indahnya kebersamaan, untuk menuju kebersamaan sejati, dalam citarasa kebersamaan. Sederhana sekali rumusnya: K + K = P. Bahwa kebersamaan yang dipadu dengan kepercayaan bisa datangkan penghasilan atau keberhasilan. Sesungguhnya kebersamaan bagaikan barang yang hilang dari kehidupan kita, setelah pernah menjadi harta paling berharga. Karenanya, membangun kebersamaan bukan berarti membangun dari tiada atau dari nol melainkan menumbuhkan kembali apa yang pernah ada, namun hilang karena terabaikan atau mungkin karena tergadaikan. Hidup dalam kebersamaan, berarti ada yang disetujui bersama dan ada yang tidak disetujui. Pertentangan bermula bila ada yang tidak disetujui bersama, yang kemudian pertentangan diselesaikan setelah disetujui bersama. Untuk hidup dalam kebersamaan dibutuhkan kesamaan pandangan tentang sesuatunya.
Mari kita bangun kebersamaan dengan cinta:
Karena cinta tembaga berubah menjadi emas
Karena cinta ampas berubah menjadi sari murni
Karena cinta raja berubah menjadi pengemis
Karena cinta pedih berubah menjadi obat
Semoga !!!