INIPASTI.COM, Jakarta – Kevin O’Rourke, analis politik asal Amerika Serikat, dikenal luas sebagai pengamat tajam perkembangan politik Indonesia sejak era pasca-Soeharto. Pada Jumat, 14 Maret 2025, namanya kembali mencuat di tengah diskusi publik, terutama terkait pandangannya tentang isu-isu sensitif seperti reshuffle kabinet atau dinamika kekuasaan di Indonesia. Dengan pengalaman lebih dari dua dekade, O’Rourke telah menjadi rujukan bagi kalangan diplomat, jurnalis, hingga investor asing melalui laporan mingguan Reformasi Weekly yang ia terbitkan sejak 2003.
O’Rourke, lulusan Harvard University jurusan pemerintahan, memulai kariernya di Indonesia pada 1994 sebagai analis ekuitas. Namun, krisis politik dan ekonomi 1998 mengubah jalur kariernya. Ia mendokumentasikan pergolakan tersebut dalam bukunya, Reformasi, yang rilis pada 2002, mengulas perjuangan kekuasaan pasca-lengsernya Soeharto hingga awal pemerintahan Megawati. Karyanya ini mengandalkan wawancara langsung dengan tokoh politik, aktivis, dan pejabat, menjadikannya salah satu sumber otoritatif tentang transisi demokrasi Indonesia.
Melalui Reformasi Weekly, O’Rourke terus menganalisis politik dan kebijakan Indonesia dengan pendekatan independen. Laporan ini kerap mencakup isu seperti korupsi, reformasi birokrasi, dan stabilitas politik, yang relevan bagi organisasi internasional dan pelaku bisnis. Misalnya, dalam beberapa edisi terbaru, ia disebut-sebut mengomentari potensi perombakan Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto, meski informasi tersebut masih bersifat spekulatif hingga ada konfirmasi resmi.
Analisis O’Rourke tak jarang memicu debat. Sebagian kalangan di Indonesia menilai pandangannya terlalu bergantung pada rumor atau media sosial, seperti disinggung dalam postingan X baru-baru ini yang menyebutnya menggunakan “ilmu cocoklogi”. Namun, reputasinya sebagai pengamat objektif tetap diakui, terutama karena ketajaman analisisnya terhadap kompleksitas politik lokal.
Kehadiran O’Rourke sebagai analis asing mengingatkan pentingnya sudut pandang eksternal dalam memahami Indonesia. Pandangannya bisa menjadi cermin bagi publik untuk mengevaluasi narasi dalam negeri, sekaligus tantangan untuk menyaring informasi di era digital. (Raka)