MAKASSAR – Geliat politik memang bergerak seakan tanpa arah. Liar dan cendrung membawa arus demokrasi berpindah dari agency politik ke agency yang lain. Tidak salah pikiran awam, bahwa politik itu liar, licin, dan tak sekuat penunggang kuda yang memacu kudanya dengan kencang. Analogi ini ibarat satu keutuhan komitmen. Apakah politik tak butuh komitmen? inilah yang sedikit meresahkan publik.
Dalam perspektif sosiopolitik, komitmen begitu penting untuk menguatkan pemerintahan. Yah, politik tak ubahnya sirkus dari agency yang ada. Modal politik tak cukup dengan elektabilitas, popularitas, tetapi ada ancaman demokrasi ketika para pemodal menjadi pe-remot kekuasaan di luar panggung. Terus, kalau ini terjadi maka di mana eksistensi sekaligus independensi penguasa yang telah dipilih oleh rakyat?
Lagi-lagi, masih bersoal pada local community, masalah klasik karena cost politic telah terambil duluan, sehingga acapkali dibarter dengan aset daerah ketika seseorang telah terpilih. Inilah bukti bahwa “politik tersandera”. Bahkan nyaris ketokohan tak dipedulikan bahkan diabaikan dalam proses politik. Model particracy yang telah gagal di beberapa negara justru bangsa ini mempraktekkannya.
Nah fenomena pengabaian tokoh, adat dan budaya menjadi sebab figuritas lokal untuk tampil sebagai pemimpin. Di banyak tempat telah muncul realitas baru dengan aksara “kotak kosong”, sebuah peristilahan yang mengerikan. Kengerian bukan tanpa alasan, kotak kosong ber-efek pada, (1) meniadakan figuritas dikontekstasi politik yang ada, seperti di daerah itu tak memiliki tokoh atau cerdik pandai. (2) kotak kosong menistakan demokrasi. (3) kotak kosong, kebih pada karena parpol sedikit pragmatis. (4) kotak kosong terjadi karena saling menyandera, belum lagi kehadiran para pemodal yang cenderung membeli parpol dengan biaya tinggi. Konsekuensinya adalah siapa menjadi pemenang menjadi hutang bagi pemodalnya, dan itu harus dibayar dengan mahal.
Pada aspek yang lain, fenomena “kotak kosong” adalah perlawanan terhadap budaya masyarakat, dan nampak adanya jual beli kepentingan, dan ini sudah mencederai substansi demokrasi. Bukankah demokrasi begitu menghargai budaya ketokohan? tetapi kalau kotak kosong dalam pandangan politik berarti tak melawan siapa-siapa, terus di mana figuritas itu, di mana parpol sebagai tempat memproduksi pemimpin, apakah figur dan parpol juga ikut tergadai? semua ini adalah realitas terburuk berdemokrasi.
Bagi Sigmund Freud dalam Naluri Kekuasaan yang ditulis oleh Calvin S Hall bahwa realitas politik sudah masuk kategori kecemasan moral, yakni satu keadaan di mana seseorang tak lagi mau mengikuti cara-cara yang prosedur merebut kekuasaan, tak mau lagi mengikuti jalur kompetitif dalam mengisi ruang publik, dan menempuh cara dengan melanggar moralitas.
Fenomena politik kotak kosong dalam konteks politik nasional maupun lokal, sesungguhnya melawan “ketidakpercayaan publik”. Kalau pun kandidat menang mungkin tak bersoal, namun kalau kalah ini lebih menyakitkan sebab kemenangan publik atas ketidakpercayaan. Tetapi menang pun tentu dihantui oleh ketidakpercayaan publik dalam menjalankan pemerintahan. Semua ini adalah efek domino dari budaya politik transaksional. Agak sulit diterima akal sehat kalau kotak kosong menjadi kontrak politik.
Karenanya, kesadaran kritis minimal menjadi peretas transaksi politik yang menjual demi dan atas nama demokrasi. Sebab kotak kosong adalah jawaban jatuhnya martabat ketokohan, dan mundurnya gerak demokrasi.
Oleh: Saifuddin Al Mughniy
Galesong, 1 November 2017
Catatan pinggir seri 192