Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
Inipasti.com, Perilaku bunuh diri merupakan fenomena yang sangat menarik banyak ahli psikiatri, psikologi, biologi, sosiologi, hukum, ekonomi, pendidikan, dan filsafat. Seorang filsof terkemuka Perancis, Albert Camus (1955) menuliskan kalimat pertama dalam buku “The Myth of Sisyphus” sebagai berikut : The only interesting philosophical question worth asking is suicide.
Bunuh diri merupakan fenomena yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia. Kasus bunuh diri merupakan tragedi yang mempengaruhi keluarga, karena memiliki efek jangka panjang untuk orang-orang yang ditinggalkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setidaknya tiap tahun ada 703 ribu kasus percobaan bunuh diri. Santi Marliana (2012) dalam laporan ilmiahnya berjudul “Bunuh Diri sebagai Pilihan Sadar Individu: Analisa Kritis Filosofis Terhadap Konsep Bunuh Diri Emile Durkheim” menjelaskan pandangan lain tentang bunuh diri selain masalah psikopatologi. Pandangan itu memang menunjukkan gejala kelemahan yang mendorong kekacauan individu (Aly, 2022).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa lebih dari 700.000 orang meninggal dunia akibat bunuh diri, hal ini menunjukkan bahwa setiap 40 detik satu orang meninggal akibat bunuh diri secara global. Menurut Ratih & Tobing (Andari, 2017) diperkirakan terjadi peningkatan mencapai 2,4% dari 100.000 orang, karena masalah tersebut tidak ditangani serius dari berbagai pihak.
Bahkan berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO) dan International Association of Suicide Prevention (IASP), lebih dari satu juta orang meninggal dunia karena bunuh diri setiap tahunnya. Pada 2020, diperkirakan ada satu orang meninggal dunia karena bunuh diri setiap 20 detik.
Secara global, bunuh diri (suicide) telah menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia dalam rentang usia 15 hingga 29 tahun di mana 79% dari bunuh diri terjadi pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2018).
Salah satu negara dengan kasus bunuh diri yang cukup tinggi adalah Indonesia. Dari data Kepolisian Indonesia pada tahun 2020 terdapat 671 kasus kematian akibat bunuh diri yang dilaporkan. Sementara pada data Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebutkan bahwa telah terjadi 5.787 korban bunuh diri maupun percobaan bunuh diri (Almaidah dan Sugeng Harianto, 2022).
Data yang terangkum dalam website hallosehat.com oleh Fenadania (Idham, dkk., 2019) mencatatkan jumlah kasus bunuh diri ditahun 2005 angka mencapai 30.000 kasus, tahun 2010 sebanyak 5000 kasus, tahun 2012 sebanyak 10.000 kasus, dan 2013 sebanyak 840 kasus. Data-data tersebut diluar dari jumlah kasus bunuh diri yang tidak laporkan, dengan beberapa alasan semisal rasa malu ataupun untuk menjaga kehormatan dari pelaku bunuh diri. Kasus bunuh diri di Indonesia sendiri lebih banyak dilakukan dengan cara gantung diri, overdosis, atau menggunakan insektisida.
Bunuh diri saat ini dipahami sebagai ketidakberesan secara multi-dimensional. Secara umum dikatakan bahwa bunuh diri merupakan konsekuensi dari sebuah komplek interaksi biologis, psikologis, dan sosiologis. Bunuh diri tidak pernah ditemukan oleh suatu sebab tunggal (van Herringen, 2000).
Dari banyak pendekatan suicidology di atas, sebagian besar dapat dirangkum menjadi 3 pendekatan utama, yaitu : biologis, psikologis, dan sosiologis. Pendekatan bio-psiko-sosial menjadi motor penggerak utama dalam suicidology. Dalam artikel ini penulis hanya menerawangnya dari pendekatan sosiologis.
Perilaku bunuh diri dapat dipilah-pilah berdasarkan derajat integrasi sosial individu terhadap komunitas. Kuat-lemahnya sikap individu terhadap komunitasnya akan menyebabkan terjadi kasus bunuh diri bertipe altruism dan egoism. Sedang kuat-lemahnya kontrol komunitas terhadap individu akan membentuk kasus bunuh diri bertipe fatalism dan anomic (Bille-Brahe, 2000).
Menurut Durkheim (1897) suicide atau bunuh diri dilandaskan pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat merupakan tindakan akhir dari suatu anomi. Hal ini bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu social integration dan social deregulation. Selanjutnya Durkheim mengemukakan bahwa keadaan yang paling terendah atau yang paling tertinggi dari tingkat integrasi dan regulasi akan mengakibatkan tingginya angka bunuh diri (Atmasasmita, 2013).
Dalam pandangan Emile Durkheim, bunuh diri dapat dikaji secara sosiologis dengan pendekatan egoistic suicide, altruism suicide, anomie suicide, dan fatalistic suicide.
Bukan Hanya Durkheim
Sebanarnya, bukan hanya Durkheim yang mengkaji perilaku bunuh diri. Banyak ahli lain, tentu dengan sudut pandang kajian yang berbeda.
Misalnya, Shneidman (Hussein, 2012) membagi empat tipe bunuh diri. Pertama, pencari kematian (death seekers). Individu-individu yang tergolong dalam tipe ini merupakan individu yang secara nyata dan tegas mencari dan menginginkan untuk menyudahi hidupnya. Mereka secara jelas telah menyiapkan segala sesuatu untuk kematian mereka seperti, menuliskan keinginan mereka, membeli pistol, dan sebagainya, lalu bunuh diri. Jika mereka ternyata gagal dalam melakukan aksi bunuh diri, akan merasa kebingungan (ambivalent) dalam menentukan untuk mati. Kedua, inisiator kematian (death initiators). Mereka yang ingin melakukan aksi bunuh diri juga mempunyai keinginan yang jelas untuk mati, akan tetapi mereka juga percaya kematian akan ia rasakan. Individu yang memiliki penyakit yang serius merupakan golongan dari tipe ini. Mereka memiliki pemikiran bahwa lebih baik mati karena tidak siap menghadapi penyakit itu sendiri. Ketiga, pengabai kematian (death ignorers). Individu yang tergolong dalam tipe ini merupakan individu yang bersungguh-sungguh untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi mereka tidak mempercayai bahwa tindakan tersebut merupakan akhir dari keberadaannya. Menurut mereka, kematian adalah awal dari kehidupan. Kelompok keagamaan tertentulah yang termasuk dalam golongan tipe ini. Keempat, penantang kematian (death darers). Mereka ragu-ragu dalam melihat kematian, mereka melakukan aksi bunuh diri jika memiliki kesempatan untuk mati besar. Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang membutuhkan perhatian atau bahkan membuat orang lain merasa bersalah. Hal tersebutlah yang melebihi keinginannya untuk mati.
Menurut Titi (2001) ada beberapa cara untuk melakukan aksi bunuh diri. Pertama, gantung diri. Bunuh diri yang dilakukan seseorang dengan cara ini sangat sering ditemukan di Indonesia. Gantung diri menjadi pilihan karena alat yang digunakan mudah untuk didapatkan. Kedua, minum racun. Dalam hal ini, seseorang misalnya menggunakan cairan pembersih, racun tikus dan sebagainya untuk melakukan aksi bunuh diri. Cara ini pun sering terjadi di Indonesia. Ketiga, terjun bebas. Cara ini pilih seseorang untuk melakukan aksi bunuh diri karena proses kematian lebih cepat. Keempat, menenggelamkan diri. Dari keempat cara untuk melakukan aksi bunuh diri, cara ini yang paling jarang dilakukan seseorang, karena lebih lama merasakan proses kematian. Kelima, bakar diri. Cara ini juga dilakukan karena proses kematian lebih cepat. Keenam, menyayat nadi. Hal ini juga sering terjadi di Indonesia. Menyayat nadi yang ada dipergelangan tangan dilakukan karena lebih cepat ditemukan. Ketujuh, menabrakkan diri. Dalam hal ini, seseorang melakukannya seperti di rel kereta api, hal ini juga marak terjadi di lokasi seperti itu.
“Le Suicide”-nya Durkheim
Akar masalah dan pemicu seseorang bunuh diri tidaklah tunggal. Emile Durkheim, Bapak Sosiologi Modern, dalam bukunya yang terkenal “Le Suicide” (1987), menyebutkan ada empat jenis bunuh diri. Ini didasarkan pada dua kekuatan sosial yakni pertama, integritas sosial berupa kemampuan individu untuk terikat pada tatanan masyarakat. Kedua, regulasi moral berupa aturan atau norma yang mengatur kehidupan individu.
Durkheim dengan bukunya Le Suicide menyatakan bahwa bunuh diri terjadi karena perpecahan kontrol sosial secara eksternal dan memperkenalkan 4 jenis bunuh diri anomic suicide, egoism suicide, altruism suicide, dan fatalism suicide sebagai kontrol sosial terhadap individu.
Egoistic Suicide
Bunuh diri egoistik akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang berhasil dilakukan seseorang dengan kelompok sosial seperti bergaul dan berinteraksi.
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial (Arif, 2020).
Bunuh diri egoistic adalah suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya. Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role expectation) di dalam role performance (perananan dalam kehidupan sehari-hari), maka individu tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri (Wirawan, 2012).
Bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingan sendiri lebih besar dari kepentingan kesatuan sosialnya. Mencerminkan rasa berkepanjangan tidak memiliki, tidak terintegrasi dalam sebuah komunitas, pengalaman, tidak harus menambatkan, ketidakhadiran yang dapat menimbulkan kesia-siaan, apatis, melankolis, dan depresi. Ini adalah hasil dari melemahnya obligasi yang biasanya mengintegrasikan individu ke dalam kolektivitas : dengan kata lain kerusakan atau penurunan integrasi sosial. Durkheim mengacu pada jenis bunuh diri sebagai hasil dari “individualistik berlebihan”, yang berarti bahwa individu menjadi semakin terpisah dari anggota lain dari komunitasnya. Orang-orang yang tidak cukup terikat untuk kelompok sosial (dan karena itu nilai-didefinisikan dengan baik, tradisi, norma, dan tujuan) yang tersisa dengan sedikit dukungan sosial atau bimbingan, dan karena itu cenderung untuk bunuh diri secara meningkat. Contoh Durkheim temukan adalah bahwa orang-orang yang belum menikah, terutama laki-laki yang kurang untuk mengikat dan menghubungkan mereka dengan norma-norma sosial yang stabil dan tujuan, bunuh diri pada tingkat ini yang lebih tinggi daripada orang yang menikah (Xaverius, 2018).
Dalam masyarakat dengan integrasi sosial yang lemah, atomistik dan individualistik setiap individu di dalamnya syarat menanggung beban hidup seorang diri, tanpa teman atau tempat untuk berbagi dan berkeluh-kesah. Di Swiss, misalnya, terdapat satu jembatan yang dijaga 24 jam nonstop oleh Polisi setempat akibat kerap dijadikan tempat bunuh diri para pemuda. Faktual, tingginya angka bunuh diri di negara tersebut disebabkan oleh kultur masyarakat Swiss yang mengharuskan anak muda usia 17 tahun ke atas untuk keluar rumah, mencari kerja dan hidup secara mandiri (Beautrais & Gold dalam Nugroho, 2012).
Bunuh diri egoistik merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang Protestan memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi daripada orang Katolik, karena kepercayaan mereka mendorong individualisme yang lebih besar, dan ikatan komunal dalam gereja Protestan lebih lemah (Johnson, 1986). Bunuh diri egoistik terjadi manakala individu-individu yang berada di masyarakat tidak bisa berbaur dengan lingkungan setempat. Kurangnya adaptasi membuat seseorang lemah dalam solidaritas.
Solidaritas sangat kurang sekali, ikatan sosial juga lemah sehingga menciptakan individu-individu yang berjalan dengan sendirinya. Tidak ada rasa kebersamaan terhadap sesama, membuat terkungkung dalam kesendirian jauh dari kolektivisme (Biroli, 2018).
Altruism Suicide
Bunuh diri altruistik terjadi akibat dari integrasi sosial yang terlalu kuat sehingga individu mengorbankan dirinya untuk kepentingan kelompoknya. Contohnya aksi bunuh diri (kamikaze) para pilot Jepang yang menabrakkan pesawat tempurnya ke sejumlah kapal induk sekutu pada Perang Dunia II. Di Jepang, konsep kehormatan dapat mendorong seseorang untuk melakukan ritual bunuh diri jika mereka percaya bahwa mereka telah membawa aib kepada kelompok sosial utama mereka—prajurit yang berperilaku dengan cara pengecut dalam pertempuran, jenderal yang menderita kekalahan dan sebagainya dapat didorong ke arah bunuh diri untuk menebus aib sosial yang mereka percaya diri untuk membawa pada rekan-rekan mereka (Xaverius, 2018).
Bunuh diri altruistik makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya (Arif, 2020).
Bunuh diri altruistik karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat atau karena merasa kepentingan masyarakat lebih tinggi dibandingakan dengan kepentingan dirinya, bunuh diri ini dipandang sebagai kewajiban yang dibebankan masyarakat.
Fenomena bunuh diri akibat terlampau kuatnya integrasi sosial menyiratkan pengekangan berlebih individu oleh masyarakatnya, individu serasa dikuasai penuh oleh lingkungan sosial sehingga tak dapat berbuat banyak untuk menghindarinya. Adapun fenomena bunuh diri akibat faktor terkait dibagi ke dalam beberapa tipe. Pertama, bunuh diri akibat kewajiban, dapat dimisalkan dengan tradisi masyarakat India kuno yang mensyaratkan istri turut mati bersama suaminya, sedang apabila sang istri menolaknya ia akan menuai cemoohan masyarakat berikut dianggap sebagai aib dalam masyarakatnya. Kedua, bunuh diri akibat dukungan masyarakat, hal tersebut dapat dicontohkan dengan seorang prajurit yang mengorbankan dirinya di medan perang demi menyelamatkan teman-temannya yang lain. Tipe bunuh diri terkait merupakan perihal yang didukung masyarakat, dalam arti siapa yang melakukannya bakal menuai penghargaan berikut penghormatan masyarakat. Ketiga, bunuh diri akibat kepuasan diri, menurut Durkheim tak ada penjelasan ilmiah bagi tindakan bunuh diri dengan tipe ini (Biroli, 2018).
Sang pelaku sekadar merasa bangga dan puas mempertontonkan tindakan bunuh dirinya di hadapan publik (Samuel dalam Nugroho, 2012). Bunuh diri altruism dilakukan dengan tingkat integrasi yang terlalu kuat, manakala dirinya sudah menyatukan dengan kelompoknya. Ikatan sosial yang sangat kuat membuat jiwa solidaritasnya semakin tinggi. Ideologi yang sudah terbentuk membuat sulit lepas dari hubungan sosial yang sudah dibina. Pola pikir menjadikan keseragaman dalam kehidupannya. Apapun yang dilakukan demi keutuhan bersama dan jiwa kolektivitas di atas segalanya. Ketika segala sesuatu sudah menjadi rasa penyatuan dari dalam dirinya, maka tindakan untuk kelompok akan diembannya. Seperti fenomena bom bunuh diri yang akhir-akhir ini marak terjadi. Bom bunuh diri dilakukan dari sekelompok anggota oknum yang sudah mempunyai paham radikal. Demi kepentingan kelompok maka walaupun dirinya meninggal dunia tetap dilakukan.
Bunuh diri altruistik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi. Pertama, norma-norma kelompok mungkin menuntut pengorbanan kehidupan individu. Sebagai contoh, bunuh diri di kalangan pilot-pilot yang bertugas dalam Angkatan Udara Jepang selama Perang Dunia II. Contoh lain dapat dilihat dalam kebiasaan-kebiasaan kuno di beberapa masyarakat dimana istri seseorang serta para pembantunya dibunuh dalam suatu upacara dan dikuburkan bersama tuannya yang sudah mati itu dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di dunia sana. Kedua, norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu berat untuk dapat dicapai sehingga individu-individu itu mengalami kegagalan walaupun mereka sudah menunjukkan usaha yang paling optimal (Johnson, 1986). Integrasi yang terlalu kuat dalam kelompoknya membuat individu menjadi taat kepada aturan dikelompoknya. Keikutsertaan seseorang dapat dilakukan dengan kesadaran penuh ketika ada tujuan yang ingin dicapai secara bersama.
Anomie Suicide
Bunuh diri anomik yang dilakukan ketika tatanan, hukum, serta aturan moralitas sosial mengalami kekosongan.
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan (Arif, 2020).
Bunuh diri anomi yakni bunuh diri yang dilakukan seseorang akibat situasi anomi (tanpa aturan) sehingga kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya.
Anomi adalah keadaan moral di mana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Mencerminkan individu kebingungan moral dan kurangnya arah sosial, yang berkaitan dengan pergolakan sosial dan ekonomi yang dramatis. Ini adalah produk dari deregulasi moral dan kurangnya definisi aspirasi yang sah melalui etika sosial menahan, yang bisa memaksakan makna dan ketertiban pada hati nurani masing-masing. Ini adalah gejala dari kegagalan pembangunan ekonomi dan pembagian kerja untuk menghasilkan solidaritas organik Durkheim. Orang tidak tahu di mana mereka cocok dalam masyarakat mereka. Durkheim menjelaskan bahwa ini adalah keadaan gangguan moral yang mana manusia tidak mengetahui batas-batas pada keinginannya, dan terus-menerus dalam keadaan kekecewaan. Hal ini dapat terjadi ketika manusia mengalami perubahan ekstrim dalam kekayaan, sedangkan ini termasuk kehancuran ekonomi, juga dapat mencakup rezeki nomplok—dalam kedua kasus, harapan sebelumnya dari kehidupan yang menepis dan harapan baru diperlukan sebelum ia bisa menilai situasi baru dalam kaitannya dengan batas-batas baru. Sebagai ilustrasi, orang kaya lebih mungkin untuk melakukan bunuh diri daripada orang miskin. Orang kaya individu bunuh diri adalah salah satu yang mungkin telah melihat perubahan yang cepat dalam situasi sosial mereka, perubahan yang cepat di mana norma-norma dan nilai-nilai yang telah berdiri mereka dalam manfaat yang baik untuk sebagian besar hidup mereka tidak-lagi berlaku. Situasi sosial berubah mereka dapat membuat norma-norma tersebut kurang relevan dengan situasi sosial baru mereka dan dalam ketiadaan relatif regulasi sosial seperti hal ini dapat membuat orang tersebut lebih rawan anomi bunuh diri (Xaverius, 2018).
Bunuh diri anomik muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil keinginan individu dijamin oleh norma-norma yang sesuai yang didukung oleh prinsip-prinsip moral yang umum (Johnson, 1986). Kekaburan norma dalam masyarakat menjadikan individu-individu bingung dan tanpa arah. Nilai dan norma yang selama ini dijadikan sebagai patokan bergeser fungsinya menjadi abu-abu.
Durkheim menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang mendadak dalam masyarakat, seperti krisis ekonomi yang parah atau periode-periode ekspansi dan kesejahteraan ekonomi yang tidak lazim, umumnya berkaitan dengan meningkatnya angka bunuh diri (Johnson, 1986). Bunuh diri yang terjadi sebagai akibat dari perubahan-perubahan di masyarakat secara ekstrim. Masyarakat belum begitu siap menghadapi arus yang serba instan dan mendadak. Perubahan terjadi dengan sangat cepat, tidak semua individu dapat menerimanya dengan keadaan yang tiba-tiba. Norma yang selama ini dijadikan sebagai aturan, hilang tanpa arah.
Bunuh diri anomik mencerminkan seorang individu yang mengalami kebingungan moral dan kurangnya arah sosial yang berkaitan dengan pergolakan sosial dan ekonomi yang dramatis. Seorang individu tidak tahu di bidang mana mereka cocok dalam komunitas mereka (Mantiri dan James, 2016). Keadaan yang membuat bingung masyarakat menjadikan suasana masyarakat tidak harmonis. Terlebih terjadinya perubahan yang tidak semuanya masyarakat dapat menerimanya dengan baik. Menurut Upe (2010), keadaan anomi ini dapat melanda seluruh masyarakat ketika terjadi perubahan sosial, politik, hukum, dan budaya pada masyarakat secara revolusioner. Di lain pihak masyarakat belum sepenuhnya menerima perubahan karena nilai-nilai lama pada masyarakat belum begitu dipahami, sementara nilai-nilai yang baru belum jelas.
Fatalistic Suicide
Bunuh diri fatalistik terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat. Sehingga membuat individu atau kelompok tertekan oleh nilai atau norma itu.
Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan (Arif, 2020).
Bunuh diri fatalistik yakni bunuh diri yang dilakukan seseorang karena adanya kondisi yang sangat tertekan, dengan adanya aturan, norma, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalani interaksi sosial sehingga orang tersebut kehilangan kebebasan dalam hubungan sosial tersebut. Kebalikan dari anomi bunuh diri, ketika seseorang terlalu diatur, ketika masa depan mereka tanpa ampun diblokir dan nafsu kekerasan tersedak oleh disiplin menindas. Hal ini terjadi dalam masyarakat terlalu menindas, menyebabkan orang lebih memilih untuk mati daripada melakukan hidup dalam masyarakat mereka. Ini adalah alasan yang sangat langka bagi orang untuk mengambil kehidupan mereka sendiri, tetapi contoh yang baik akan berada dalam penjara, beberapa orang mungkin lebih memilih untuk mati daripada hidup di penjara dengan penyalahgunaan konstan dan peraturan yang berlebihan yang melarang mereka mengejar keinginan mereka (Xaverius, 2018)
Pada bunuh diri diri fatalistik, ini terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan terasa berlebihan (Upe, 2010). Fatalistic suicide merupakan bunuh diri yang terjadi karena adanya aturan-aturan yang berada di masyarakat meningkat. Aturan yang terlalu kuat sangat membatasi terhadap gerak masyarakat. Individu yang tidak siap menjadi tertekan oleh tatanan nilai dan norma dalam masyarakat. Nilai dan norma yang sudah menindas menjadikan masyarakat hanya taat dan patuh terhadap sebuah kebijakan. Individu-individu yang berada di masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, hanya pasrah pada keadaan nasib. Jiwa fatalis sudah membelenggu dalam kehidupannya. Pengekangan dalam sebuah norma tetap dijalankan dengan dalih hanya menjalankan sebuah peraturan. Norma yang terlampau kuat ini membuat ketidakberdayaan pada individu-individu di masyarakat. Segala sesuatu yang dijalankan berhubungan erat dengan aturan. Manakala jiwa individu sudah mengalami titik puncak dalam keengganannya mengikuti nilai dan norma maka bunuh diri menjadi jalan pintas yang harus dilakukan.
Bunuh diri fatalistik terjadi ketika seseorang terlalu diatur atau terkekang, ketika masa depan mereka diblokir tanpa belas kasihan dan keinginan diri-sendiri dihambat karena disiplin yang berlebihan. Ini adalah kebalikan dari bunuh diri anomik dan muncul dalam masyarakat terlalu menindas menyebabkan individu lebih memilih mati daripada melanjutkan hidup dalam masyarakat mereka (Mantiri dan James, 2016).
Norma yang terlalu kuat akan membuat seseorang menjadi takluk. Ketika aturan sudah dijalankan, masyarakat harus tunduk dan patuh untuk mengikutinya. Sekelompok orang yang mendekam di penjara maka kebebasan untuk hidup dan bermasyarakat sudah hilang, terlebih mendapat hukuman yang lama di dalam sel tahanan. Tidak jarang ditemukan juga beberapa orang mengakhiri hidupnya dengan jalan melakukan bunuh diri karena adanya tekanan yang berlebih selama berada dalam kehidupan penjara.
Bunuh Diri Imitasi
Media massa dalam pemberitaan bunuh diri cenderung menjelaskan metode, penyebab, dan indetitas pelaku. Kasus bunuh diri jenis egoistik yang terjadi pada tahun 2016 oleh seorang laki-laki melakukan aksi gantung diri dengan merekam tindakan secara live streaming di sosial media Facebook (Taher, 2017). Pemberitaan bunuh diri memberikan dampak copycat suicide yang menyebabkan bunuh diri imitasi yang diikuti oleh orang lain. Kasus imitasi tersebut pernah menimpa seorang publik figur yaitu vokalis band rock Liking Park yang bernama Chester Beninngton yang melakukan gantung diri usai ditinggalkan sahabatnya yang juga melakukan bunuh diri sebelum dirinya (Yosafat Kevin dan Nadia Utami Larasati, 2020).
Pemberitaan mengenai tindakan bunuh diri mempunyai dua kemungkinan, mengurangi risiko bunuh diri tiruan (copycat suicide) atau justru meningkatkan risiko tindakan bunuh diri.
Pemberitaan kasus bunuh diri harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan sensitif. Ini karena pemberitaan yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak negatif yang luas. Pertama, meningkatkan angka bunuh diri. Pemberitaan yang terlalu detail tentang metode bunuh diri dapat memicu tindakan imitasi, terutama pada individu yang rentan. Kedua, menimbulkan stigma. Pemberitaan yang negatif dan stigmatis terhadap korban bunuh diri dapat membuat keluarga dan orang-orang terdekatnya merasa bersalah atau malu. Ketiga, menyebabkan trauma. Pembaca, pendengar, atau penonton yang memiliki pengalaman serupa dengan korban bunuh diri dapat mengalami trauma kembali (Oddetasari, 2024).
Faktor masyarakat sebagai faktor eksternal memiliki hubungan negatif kepada seorang individu yang diperlakukan tidak semestinya. Bunuh diri memiliki makna relatif dalam segi agama, budaya dan kepentingan politik bagi banyak negara. Beberapa negara menerapkan pencegahan dengan advokasi klinis, terdapat juga negara yang melarang bunuh diri dengan cara memberi hukuman penjara dan denda, dan negara yang bersifat netral terhadap bunuh diri karena sejarah budaya yang melegalkannya. Pemaknaan kejahatan dan perilaku menyimpang memiliki berbagai pengertian yang bersifat relatif dan kontekstual (Runturambi, 2017).
Fenomena bunuh diri bersifat universal, insiden ini merupakan masalah kehidupan sosial yang banyak memiliki unsur misterius yang digali oleh ilmu sosial seperti sosiologi dan kriminologi. Bentuk penghukuman terhadap bunuh diri sebagai kejahatan jika ditinjau dari pasal pidana yang dibentuk oleh badan legislatif (Jatava, 2010). Studi viktimologi menurut Benjamin Mendelson bahwa bunuh diri dikategorikan ke dalam tipologi “korban yang sama bersalahnya dengan pelaku” sehingga korban bunuh diri semestinya tidak dapat terancam hukuman pidana (Hagan, 2013).
Terdapat teori Three-Step Theory (3ST) milik Klonsky dan May (2015) yang menjelaskan mengenai langkah-langkah sebelum terjadinya bunuh diri. Terdapat tiga tahapan yang dilalui oleh individu yang pada akhirnya memutuskan untuk melakukan bunuh diri. Tahap pertama yaitu pengembangan ide bunuh diri, pada tahap ini dimulai dari pengalaman rasa sakit dan penderitaan secara terus menerus yang dialami oleh individu sehingga memunculkan pemikiran dan dorongan untuk mengakhiri hidup. Tahap kedua yaitu dapat diukur melalui keterhubungan individu dengan lingkungan sekitarnya (orang terdekat, pekerjaan dan kehidupan sosial), apabila keterhubungan tersebut lemah maka individu akan memiliki ide bunuh diri yang kuat sehingga ide pasif berubah menjadi keinginan aktif. Tahap terakhir dalam teori ini yaitu peralihan ide bunuh diri menjadi tindakan bunuh diri, pemikiran bunuh diri yang sebelumnya hanya berupa ide berkembang menjadi tindakan nyata, hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman individu seperti rasa sakit, penderitaan emosional, kecemasan dan perasaan bahwa kematian merupakan satu satunya jalan keluar (Karisma & Fridari, 2021).
Teori imitasi dikemukakan oleh seorang teoritikus yang sezaman dengan Durkheim, psikolog sosial Perancis bernama Gabriel Tarde (1834-1904). Teori imitasi mengatakan bahwa seseorang melakukan bunuh diri (dan dalam ranah tindakan lain) karena meniru tindakan orang lain. Durkheim mengakui bahwa beberapa individu yang melakukan bunuh diri memang bisa saja karena meniru, namun ini hanyalah faktor kecil yang tidak memiliki pengaruh signifikan dalam rangka bunuh diri secara keseluruhan.
Tindakan Preventif
Perilaku bunuh diri (suicidal behavior) merupakan realitas sosial yang tentu saja menjadi salah satu fenomena yang wajib didalami.
Penetapan “pencegahan bunuh diri” oleh World Health Organization (WHO) sebagai tema hari Kesehatan Mental Sedunia bukanlah tanpa sebab yang urgent. Mengutip data dari WHO, salah satu narasumber dalam acara simposium dan lokakarya “Working Together to Prevent Suicide” menyampaikan bahwa bunuh diri telah menyebabkan kematian pada hampir 800.000 individu tiap harinya. Artinya setiap 40 detik ada satu makhluk bumi yang meninggal karena bunuh diri, dan untuk tiap makhluk yang meninggal karena hal tersebut, diperkirakan sebanyak 25 individu lainnya mencoba melakukan tindakan bunuh diri (Nurchayanti, 2019).
Hadriami (Idham, dkk, 2019) menyatakan bahwa tindakan bunuh diri akan selalu didahului oleh ide bunuh diri (suicide ideation). Sehingga, pencegahan dan penanganan yang serius sangat diperlukan, semisal gencar melakukan promosi dan edukasi pada masyarakat perihal bunuh diri beserta dampak dari kesedihan yang akan ditimbulkan terhadap keluarga, sahabat, maupun orang-orang di sekitarnya. Selain dukungan sosial (social support), literasi kesehatan mental (mental health litaracy) juga menjadi trend wajib yang juga harus terus dipromosikan.
Pencegahan bunuh diri diterapkan dengan berbagai pendekatan agama, pendekatan klinis, hingga hukum pidana. Pendekatan tersebut berasal dari pemahaman dari nilai-nilai masyarakat dalam memahami fenomena bunuh diri menjadi suatu isu sosial di masyarakat. Dibutuhkan intervensi untuk pencegahan bunuh diri secara tepat yang dapat menurunkan angka bunuh diri dan bukan sebaliknya (Jatava, 2010).
Dokter juga harus menilai faktor pelindung. Hal-hal yang dapat berfungsi untuk melindungi dari bunuh diri adalah sebagai berikut (CDC, 2022). Pertama, keterlibatan dalam jaringan sosial teman, keluarga, dan rekan kerja. Jaringan mendukung individu, memberi makna pada kehidupan, dan memberi individu sekelompok orang yang dapat mendeteksi dan menanggapi perilaku individu yang mengasingkan dan menarik diri. Kedua, memiliki tujuan jangka panjang yang utama. Tujuan jangka panjang memungkinkan seseorang untuk melihat hambatan dan kerugian kecil dalam perspektif yang berbeda. Ketiga, memiliki hewan peliharaan, seperti anjing atau kucing. Hewan peliharaan membutuhkan kehadiran manusia untuk merawatnya, yang memberi individu alasan untuk hidup. Mereka juga memberikan cinta dan penerimaan tanpa syarat. Keempat, memiliki terapis yang membuat Anda merasa terhubung. Ini memberikan seseorang yang dapat dihubungi individu saat dalam kesulitan. Kunci pengobatan adalah membicarakan dan berbagi perasaan dan pikiran, bukan menindaklanjutinya. Kelima, mencegah bunuh diri membutuhkan strategi di semua lapisan masyarakat. Ini termasuk strategi pencegahan dan perlindungan bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Setiap orang dapat membantu mencegah bunuh diri dengan mempelajari tanda-tanda peringatan, mempromosikan pencegahan dan ketahanan, serta komitmen terhadap perubahan sosial.
Semoga !!!