Penulis: Achmad Amiruddin – Institut Pertanian Bogor
DALAM era yang semakin mengglobal seperti saat ini, hubungan perdagangan antar negara dalam pelaksanaan arus keluar masuk barang dan manusia kini semakin cepat dan sudah menjadi kebutuhan pokok tersendiri. Hubungan perdagangan ini diharapkan dapat menumbuhkan hubungan kerjasama yang baik antar negara salah satunya dalam peningkatan perekonomian
Namun, derasnya alur perdagangan tersebut juga bisa menjadi ancaman tersendiri. Ketika di suatu negara pengekspor terdapat penyakit yang berbahaya dan kemudian terkontaminasi dengan makanan, hewan atau tumbuhan yang akan diperdagangkan. Hal ini akan menjadi ancaman bagi negara-negara tujuan ekspor tersebut. Oleh karena itu, setiap negara diperlukan sebuah lembaga karantina. Karantina adalah tempat pengasingan dan tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah suatu negara.
Di Indonesia, pada tanggal 8 Juni 1992 dibentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Tujuannya adalah untuk mencegah masuknya hama dan penyakit dari luar negeri, tersebarnya hama dan penyakit di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, keluarnya hama dan penyakit keluar negeri sekaligus juga merupakan salah satu wujud pelaksanaan kewajiban internasional. Undang-undang ini telah berlaku selama kurang lebih 24 tahun dan didalam kontennya masih memiliki banyak kekurangan, yang terletak pada produk perundangan yang tidak sesuai dengan tantangan globalisasi. Untuk itu diperlukan RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. RUU ini dibuat untuk menjaga keamanan pangan di Indonesia sekaligus memproteksi produsen pangan domestik dari serbuan produk asing ke Tanah Air. UU Karantina hampir seluruhnya direvisi sehingga dapat disebut seperti pembentukan UU baru. Karantina dipandang perlu melakukan beberapa perubahan antara lain dalam hal sistem regulasi, kelembagaan, sumberdaya, jejaring, analisa resiko. Upaya perubahan dalam sistem regulasi diantaranya dengan memasukkan beberapa perubahan yaitu : penambahan kewenangan Badan Karantina Perikanan dengan mengacu ketentuan standar secara internasional.
Saat ini lembaga karantina dibagi atas dua, yaitu Badan Karantina Hewan dan Tumbuhan dibawah Kementrian Pertanian sedangkan Badan Karantina Ikan berada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan. Adanya anggapan inefisensi dan inefektifitas di antara kedua lembaga ini, membuat DPR RI merencanakan akan melakukan unifkasi atau penggabungan diantara kedua lembaga karantina tersebut. Maka dilakukanlah diskusi publik yang dilakukan dilaksanakan di gedung DPR RI. Hadir sebagai narasumber yaitu ketua dan jajaran dari Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, kemudian akademisi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan juga sebagai perwakilan dari Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) dan Anggota DPR RI Fraksi Gerindra.
Suasana Rapat Dengar Pendapat yang Dilakukan di Gedung DPR RI.
Dalam sesi pertama oleh Ibu Dr. Ir. Rina, M.Si dari Badan Karantina Ikan. Beliau menjelaskan pada perubahan UU No. 16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan. Ada beberapa penjelasan yang melatarbelakangi perubahan UU No. 16 Tahun 1992. Di antaranya adalah:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika masyarakat dunia yang sedemikian cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, memberkan dampak yang signifikan dan menyebabkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan karantina hewan, ikan dan tumbuhan.
2. Terdapat beberapa ketentuan dalam UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan sudah tidak sesuai lagi dengan praktek-praktek perkarantinaan modern.
3. Belum diatur mengenai pengintegrasian tindakan karantina yang terkait aspek hama dan penyakit dengan aspek mutu dan keamanan pangan serta keamanan hayati.
4. Undang-undang No. 16 Tahun 1992, juga belum mengatur perihal pengawasan lalu lintas antar negara dan antar area spesies asing invasif (invasive alien species).
Adapun usulan karantina adalah: Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang selanjutnya disebut karantina adalah sistem pencegahan masuk, keluar dan tersebarnya Hama dan Penyakit Hewan Karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina serta pengawasan dan/atau pengendalian terhadap kemanan dan mutu pangan, kemanan dan mutu pakan, produk rekayasa genetik, agensia hayati, jenis asing invasif, serta tumbuhan dan satwa liar, tumbuhan dan satwa langka yang dimasukkan ke dalam, dikeluarkan dari dalam wilayah negara Republik Indonesia dan dari suatu area lain di wilayah Negara Republik Indonesia.
Hadir pula Bapak Sugeng Hari Wisodo, akademisi yang berasal dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Insttitut Pertanian Bogor dan juga tergabung dalam Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI). Memberikan pandangan mengenai RUU tentang karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Beliau sangat mendukung guna menjamin kesehatan ekosistem perairan Indonesia sebagai salah satu sumber pangan Nasional. Kemudian diperlukan penyempurnaan beberapa pasal agar lebih dapat mengakomodir tentang karantia Ikan Seperti: jenis ikan yang dilindungi, kesejahterahan ikan (fish walfare), dll. Dan juga diperlukan aturan lebih khusus oleh The world organization For Anial Health (OIE) untuk kesehatan ikan dalam aquatic anial health code yang secara teknis berbeda denga hewan teresterial.
Selanjutnya hadir anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Drs. H. Andi Nawir, MP. Memberikan pandangan mengenai berbagai gagasan dan pemikiran terkait dengan proses penyusunan RUU UU Karantinta. UU Karantina yang baru tampaknya memang perlu diberi ruang akomodasi yang seluas-luasnya. Hal ini disebabkan faktor keberadaan UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan dipandang tidak lagi memamadai secara optimal untuk mengantisipasi globalisaisi perdagangan internasional yang berkembang demikian capat dan penuh dinamika. Terlebih setelah terjadinya perubahan paradigma kebijakan perdagangan internasional dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, dimana semua negara di dunia cenderung mengarah kepada apa yang disebut dengan penghapusan hambatan perdagangan yang tidak ada kaitannya dengan sistem tarif atau bea masuk (non tariff barrier). Dapat dibayangkan kalau penghapusan hambatan non-tarif ini berlaku, negara kita akan diserbu oleh berbagai macam jenis produk luar negeri. Lantas bagaimana kita bisa melakukan tindakan yang bersifat preventif dan kuratif dalam rangka mengontrol lalu lintas perdagangan berbagai komoditas dan produk hewan dan tumbuhan serta bahan pangan yang tercemar oleh mikro-organisme dan residu bahan kimia berbahaya terhadap kehidupan manusia, kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup. Inilah ancaman yang timbul dari sistem perdagangan non-teriff barrier, sekaligus tantangan terbesar yang dihadapi oleh sistem perkarantinan nasional di masa mendatang.
Badan karantina hewan dan tumbuhan di bawah kementerian pertanian. Sedangkan badan karantina ikan berada di bawah kementerian kelautan dan perikanan. di cermati kondisi perkarantinaan dari sisi kelembagaan ini saja, maka sangat sulit kita berbicara bagaimana meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan karantina. Bahkan kondisi kelembagaan karantina seperti ini, menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya waktu tunggu (dwelling time) yang lama di pelabuhan. Bayangkan saja, kalau di dalam satu container barang impor yang memuat produk hewan dan produk ikan, maka izin masuknya baru diberikan setelah ada rekomendasi dari dua lembaga yang berbeda, padahal sama-sama lembaga karantina. Selain dari pada itu, timbulnya ego sektoral pada lembaga karantina tidak bisa dielakkan. Ketika fungsi koordinasi dan kerja sama pada kedua lembaga itu dituntut untuk lebih ditingkatkan, justru yang terjadi kedua lembaga karantina itu berjalan sendiri-sendiri. Hal ini terjadi karena keduanya memiliki pertanggungjawaban kelembagaan yang berbeda. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah anggaran. Kedua lembaga karantina itu memiliki mata anggran sendiri-sendiri, padahal peran dan fungsinya sama. Ini juga menjadi masalah tersendiri dalam kaitannya dengan penggunaan anggaran negara yang selamanya membebani APBN.
Dengan adanya RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan ini akan menunjukkan bahwa Indonesia punya wibawa di mata regional dan internasional. Indonesia harus menjadi negara yang tidak mentolerir sekecil apapun resiko masuknya hama, penyakit dan organisme pengganggu sumber daya perikanan dan kelautan ke negaranya. Analisa resiko yang fair dan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi harus selalu jadi acuan untuk menerima atau menolak barang / komoditas yang mau masuk ke Indonesia. Dengan RUU ini diharapkan institusi Karantina akan semakin kuat dalam menangkal masuknya bahan pangan yang berbahaya bagi masyarakat konsumen.