INIPASTI.COM- JAKARTA- Kementerian Pertanian (Kementan) telah merumuskan serangkaian kebijakan terkait swasembada daging dan kesejahteraan peternakan. Kebijakan terkait penyediaan protein hewani disusun dalam bentuk kebijakan jangka pendek dan jangka panjang guna meningkatkan aksessibilitas masyarakat terhadap daging sapi baik dari sisi ketersediaan, jenis dan harga.
“Kebijakan ini tentunya bukanlah kebijakan panik ataupun tidak memiliki pijakan ilmiah seperti opini yang disampaikan Saudara Rochmadi Tawaf di surat kabar kompas tanggal 24 Oktober kemarin. Melainkan telah kami susun dengan tahapan yang jelas, sistematis, terukur dan komplementer,” kata Dirjektur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Ketut Diarmita, di Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Ketut menjelaskan kebijakan jangka pendek dalam penyediaan protein hewani meliputi kebijakan operasi pasar dan pembukaan impor dari negara alternatif lainnya. Kebijakan operasi pasar dan impor daging beku dilakukan untuk menurunkan harga. Operasi pasar telah dilakukan sejak Bulan Ramadhan 2016 hingga saat ini yang tersebar di 20 pasar tradisional DKI Jakarta dan Toko Tani Indonesia (TTI).
“Hasil operasi pasar ini telah dinikmati masyarakat. Daging sapi tersedia dengan harga di bawah Rp80 ribu per kilogram dan mampu menahan tren kenaikan harga daging sapi segar. Masyarakat pun memiliki banyak pilihan daging sapi baik berupa jenis maupun harga,” jelasnya.
Menurut Ketut, adapun kenaikan harga daging sapi secara terus menerus sejak tahun 2012 hingga awal 2016 harganya masih bertahan di kisaran Rp120 ribu per Kg. Harus dicatat, Harga tersebut hanya untuk daging sapi segar.
Untuk kebijakan jangka panjang, Ketut menyampaikan pemerintah telah menyusun 2 kebijakan yang hasilnya akan dirasakan 3 hingga 4 tahun mendatang. Kebijakan tersebut terdiri dari Wajib Ratio 5:1 untuk impor sapi bakalan dan indukan dan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB).
Menurutnya, kebijakan Wajib Ratio 5:1 dimaksudkan agar importir yang memasukkan sapi bakalan diwajibkan menyertakan sapi indukan. Setiap pemasukan 5 ekor bakalan wajib disertai 1 indukan. Kebijakan ini merupakan terobosan pemerintah dalam upaya penambahan populasi ternak ruminansia besar dan pemberdayaan peternakan kecil serta koperasi melalui kerja sama antara feedloters dengan peternak kecil. Kebijakan ini pun telah disinergikan dengan kebijakan Kementerian Perdagangan.
“Selain itu, pemerintah pun membuka peluang peternak kecil dan koperasi untuk dapat ikut serta dalam peningkatan populasi melalui impor indukan dengan rasio 10:1. Di mana impor 10 ekor bakalan disertai 1 ekor indukan sehingga pendapatan peternak bertambah disertai dengan penambahan indukan,” terang Ketut.
Terkait kebijakan UPSUS SIWAB, Ketut menuturkan kebijakan ini dilakukan melalui inseminasi buatan (IB). Hingga awal Oktober 2016 telah lahir pedet (anak sapi) 1,4 juta ekor dan tahun 2017 ditargetkan kelahiran pedet 3 juta ekor.
“Strategi yang kami lakukan yaitu penerapan sistem manajemen reproduksi. Sistem ini mencakup 5 aspek yaitu pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi, pelayanan IB dan kawin suntik, pemenuhan semen beku dan N2 cair, pengendalian pemotongan betina produktif dan pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat,” tuturnya.
Ketut menegaskan dalam rangka pemenuhan protein hewani tidak hanya berfokus pada sapi, namun keanekaragaman sumber protein hewani seperti ayam ras, ayam buras, itik, burung puyuh, kuda, domba dan kerbau juga terus ditingkatkan.
“Untuk itu, dengan kebijakan-kebijakan di atas, populasi sapi diharapkan secara bertahap meningkat dan mampu mengurangi importasi sapi dan daging sapi. Sehingga, swasembada daging sapi di tahun 2026 yang ditargetkan Presiden Jokowi dapat tercapai,” pungkasnya.