Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, “Nun, Demi Pena dan apa yang mereka tuliskan” (QS. al-Qalam-1). Dalam ayat ini atas Allah bersumpah dengan alat tulis yaitu pena dan apa-apa yang mereka tuliskan. Ini mengindikasikan betapa mulia dan agungnya pena dan hasil tulisan di sisi Allah selama semuanya bermanfaat dan dilandasi dengan ibadah karena-Nya.
Imam al—Ghzali menyebutkan: “Setetes tinta Ulama lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada ribuan darah syuhada’ yang meninggal di medan perang”. Qatadah mengatakan: “Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah…..”
As-Syahid Sayyid Qutb sang penulis kitab Tafsir Fi Dzilal al-Qur`an menegaskan : ”Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala.”
Tulisan akan lestari berabad-abad lamanya. Padahal sang penulis itu sendiri telah sudah meninggal terbenam di bawah tanah.
Oleh karena itu, para ulama menjadikan menulis sebagai sebuah tradisi yang istimewa dan mulia. Dengan tradisi ini, ilmu-ilmu Islam bisa lestari dan terjaga sehingga bisa diwariskan pada generasi setelahnya. Ratusan bahkan ribuan ulama yang telah meninggal dunia puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, namun nama dan karyanya harum semerbak dan tetap lestari sampai sekarang. Secuil di antara nama-nama tersebut adalah Imam al-Syafi’i, Imam Al-Ghazali, Imam an-Nawawi, Sayyid Qutb dan Hamka (Naofal, 2019).
Kebuntuan dalam Menulis
Dalam bukunya “Writer`s Blocks Make Great Walls”, Bryant (2002) mengemukakan adanya tujuh kebuntuan menulis. Yaitu: kebuntuan 1–berpikir sebelum menulis; kebuntuan 2–lebih baik melakukan penelitian saja; kebuntuan 3–mencari banyak nasihat; kebuntuan 4–mengambil hati semua komentar; kebuntuan 5–menanti inspirasi; kebuntuan 6–tunda! tunda!; dan kebuntuan 7–tetaplah serius!
Seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat menulis, dan merasa tidak tahu bagaimana harus menulis. Ketidaksukaan tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakatnya, serta pengalaman pembelajaran menulis atau mengarang di sekolah yang kurang memotivasi atau merangsang minat (Graves dalam Trismanto, 2017).
Ada beberapa kendala yang akrab dengan guru sehingga sebagai penghambat terwujudnya karya tulis. Kendala tersebut di antaranya sikap malas membaca, termakan isu penilaian karya ilmiah sulit, salah persepsi tentang bentuk karya tulis yang selalu dianggap sulit, motivasi yang sangat rendah dan kebanyakan malas mencoba yang selanjutnya dapat disingkat dengan “MASTER SATIMAM” (Wulandari, 2013).
Ada faktor-faktor psikologis guru tak menulis, menurut Sudaryanto (2012). Pertama, merasa diri tak berbakat. Pada dasarnya, kemampuan menulis hanya membutuhkan tekad dan latihan yang kontinu, bukan pada faktor bakat. Menulis lebih membutuhkan minat. Artinya, seorang guru asalkan mau belajar dan berlatih menulis, kelak akan berhasil menulis. Kedua, takut salah atau disepelekan orang lain. Dalam hal ini, guru semestinya mampu mengenyahkan rasa malu dan tak takut dikritik. Guru harus percaya diri dengan hasil tulisannya. Yang penting, guru harus menumbuhkan semangat belajar.
Ketiga, tak berani mengambil risiko. Guru yang menulis mungkin menghadapi risiko material dan nonmaterial. Kalau disadari, risiko pasti ada dalam pekerjaan apapun. Risiko apapun yang dihadapi guru dalam menulis semestinya mampu membentuk mental yang kuat. Keempat, bersikap malas. Apabila tak ada karya tulis yang dihasilkan, guru semestinya tak lagi beralasan sibuk. Sesibuk apapun mengajar, waktu 1-2 jam setiap hari sebenarnya masih bisa digunakan untuk menulis. Disadari atau tidak, rasa malaslah yang melilit benak guru.
Kelima, merasa diri cukup sebagai konsumen. Hal ini diduga terjadi di kalangan guru yang belum mau dan mampu memberdayakan otak kreatifnya. Guru masih memposisikan dirinya sebagai pengguna dan pemanfaat dari karya tulis orang lain. Hanya menerima gagasan orang lain tanpa mau dan mampu berusaha menanggapi atau mengomentari secara lebih lanjut masih menjangkiti guru.
Keenam, menutup diri dari pengalaman dan gagasan baru. Dalam aktivitas menulis, guru dituntut memiliki pengalaman dan gagasan, terutama yang sifatnya baru. Tak dimungkiri apabila masih banyak guru yang bersikap menutup diri dari pengalaman, gagasan, atau hal-hal baru. Hal ini berdampak pada kepribadian, bahkan ilmunya tak pernah bertambah dan minim pengalaman.
Mitos Penghambat
Ada sejumlah mitos yang menjadi penghambat atau kendala menulis bagi guru. Di antara mitos dan hambatan guru dalam menulis menurut Priyadi (2014) sebagai berikut. Pertama, saya bukanlah penulis. Norman Vincent Peale berkata, ”kamu bisa jika kamu berpikir bahwa kamu bisa.” Jika dalam diri guru tertanam persepsi saya bukanlah penulis, maka persepsi ini akan menghilangkan motivasi guru untuk menulis. Ketika motivasi itu telah tiada, pada gilirannya guru menjadi tidak mau menulis. Jika sudah demikian, maka guru benar-benar tidak bisa menulis. Padahal belum pernah mencobanya. Kedua, tidak bisa menuliskan hal-hal hebat. Menulis tidak harus hal-hal yang hebat atau spektakuler. Pada prinsipnya, menulis boleh apa saja yang penting bermanfaat. Dengan demikian, menulis akan terasa ringan dan mudah. Guru bisa menulis tentang problem pembelajaran di kelas, metode pengajaran yang efektif, motivasi siswa dan lain sebagainya. Pandangan guru bahwa menulis harus sesuatu yang hebat tentu saja akan menghantui pikirannya sehingga tidak pernah berupaya untuk menulis. Ketiga, tidak punya waktu. Menulis tidak harus berjam-jam di depan komputer. Menulis bisa saja sedikit demi sedikit yang penting rutin dan konsisten. Guru bisa saja beralasan terlalu sibuk di sekolah belum lagi beban-beban yang lain seperti mengurus keluarga, masyarakat dan lain sebagainya. Tetapi bagi guru yang dapat mengatur waktu dengan baik, waktu bukanlah alasan untuk tidak menulis.
Keempat, takut salah. Perasaan takut salah jika tidak dilawan juga akan menjadi hambatan menulis. Bagi pemula, perasaan ini kerap berkecamuk dalam pikirannya. Ketika mau menulis, bayangan takut salah selalu terlintas dalam benaknya. Oleh karena itu agar kita dapat menjadi penulis yang berhasil janganlah takut salah. Salah itu hal yang normal dan wajar. Yang penting adalah belajar terus dan perbaiki setiap kesalahan. Baca buku-buku seputar tulis-menulis dan berkonsultasilah pada penulis yang telah berhasil.
Benarkah menulis sulit di kalangan guru? Jawabanya tentu beragam. Tetapi kenyataan kita temui masih sedikit karya atau tulisan guru menghiasi media massa atau jurnal. Kurangnya tulisan karya guru ini didasari oleh beberapa kendala di antaranya: pertama, kurangnya motivasi di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit rekan guru yang telah memiliki atau mengantongi masa kerja yang demikian lama atau “guru senior” yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, enggan untuk menulis (Kurniawan, 2011).
Kedua, kurangnya keberanian guru untuk menulis. Kondisi guru di mana guru tidak memiliki keberanian benar-benar terjadi manakala guru merasa sedikit pengetahuan dan pengalamanya atau terbatas idenya dibandingkan dengan pembaca atau sebelum menulis, guru sudah merasa minder sebelum menulis. Padahal sebenarnya guru memiliki segudang ide untuk ditulis mulai dari buku/bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, peserta didik dan perkembanganya yang unik dan sebagainya. Hal lain yang menjadi pemicu kurangnya keberanian menulis adalah adanya kesalah-pahaman akan suatu pengertian bahwa guru dituntut memiliki loyalitas yang tinggi yaitu taat pada atasan atau pimpinan, sehingga takut mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijaksanaan atasan. Kondisi di mana pandangan guru yang loyal adalah guru yang mentaati semua kemauan dan perintah atasan ini turut mempertajam kondisi guru kurang berani mengemukakan pendapat atau gagasannya atau menujukkan otoritas pribadinya melainkan cenderung mengikuti alur berpikir atasannya. Hal ini keliru, semestinya loyalitas guru ditujukan kepada negara sesuai dengan aturan perundangan.
Ketiga, seorang guru belum memanfaatkan atau belum mengoptimalkan media yang tersedia. Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini demikian pesatnya, sekolah-sekolah sekarang ini sudah memiliki fasilitas yang lengkap mulai dari ruang kelas, alat peraga, fasilitas perpustakaan, bahkan lebih canggih lagi adanya fasilitas teknologi informatika dengan internet dan hot spot-nya. Namun sayang kelengkapan fasilitas tadi sering belum dapat dimanfaatkan sebagai referensi atau pendukung upaya menulis. Ada ungkapan “penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik”. Kita dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah atau bahkan memanfaatkan perpustakaan pribadi sebagai referensi. Andaipun perpustakaan sekolah kurang bahan referensi, guru bisa mengunjungi perpustakaan yang ada di kota kecamatan atau kabupaten/kota. Jikapun masih sulit, guru bisa berselancar melalui internet.
Selain mitos-mitos di atas, Astuti (2014) mendeskripsikan beberapa mitos lain, sekaligus menjadi penghambat seseorang untuk menulis.
Pertama, menulis itu mudah. Teori menulis atau mengarang, memang mudah. Gampang dihafal. Tetapi, menulis atau mengarang bukanlah sekadar teori, melainkan keterampilan. Bahkan ada seni atau art di dalamnya. Teori hanyalah alat untuk mempercepat pemilikan kemampuan seseorang dalam mengarang. Sebagai analog, kita rasakan sepakat bahwa menyopir kendaraan itu bukan hanya teori. Sehebat apa pun penguasaan teorinya tak akan dapat menjadi pengendara yang baik. Dia akan pandai menyopir setelah berlatih, beruji coba, serta mengasah keberanian dan kepekaan. Begitu pula dengan menulis. Tanpa dilibatkan langsung dalam kegiatan dan latihan menulis, seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik. Dia harus mencoba dan berlatih berulang kali: memilih topik, menentukan tujuan, menyusun kerangka karangan, serta menata dan menuangkan ide-idenya secara runtut dan tuntas dalam racikan bahasa yang terpahami.
Kedua, kemampuan menggunakan unsur mekanik tulisan merupakan inti dari menulis. Dalam mengarang seseorang perlu memiliki keterampilan mekanik seperti penggunaan ejaan, pemilihan kata, pengkalimatan, pengalineaan, dan pewacanaan. Namun, kemampuan mekanik saja tidaklah cukup. Karangan harus mengandung sesuatu atau isi yang akan disampaikan. Isi itu berupa ide, gagasan, perasaan atau informasi yang akan diungkapkan oleh penulis kepada orang lain. Unsur mekanik hanyalah sebagai salah satu alat yang digunakan untuk mengemas dan menyajikan isi karangan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya.
Ketiga, menulis itu harus sekali jadi. Pernahkah Anda dalam mengarang sekali tulis langsung jadi atau bagus? Kemungkinan besar jawabnya tidak! Berapa kali kita harus meremas kertas dan membuangnya karena tidak puas. Padahal tulisan itu jadi pun belum, atau katakanlah sudah selesai ditulis. Kita menulis, memperbaiki, mencoba menulis lagi, hingga kita anggap selesai. Hati-hati, mitos ini dapat memfrustasikan seseorang dalam menulis, terutama penulis pemula. Tidak banyak orang yang dapat menulis sekali jadi. Bahkan, penulis profesional sekalipun. Menulis merupakan sebuah proses. Proses yang melibatkan tahap prapenulisan, penulisan, serta penyuntingan, perbaikan, dan penyempurnaan.
Keempat, orang yang tidak menyukai dan tidak pernah menulis dapat mengajarkan menulis. Kembali kepada analog di atas, mungkinkah orang yang tidak suka dan tidak pernah menyopir dapat mengajarkan menyopir kepada orang lain? Jawabnya, tidak! Sama halnya dengan mengarang, siapa pun yang mengajar mengarang dia harus menyukai dan memiliki pengalaman dan keterampilan mengarang. Mengapa? Dia harus dapat menunjukan kepada muridnya manfaat dan nikmatnya menulis. Dia pun harus mampu mendemonstrasikan apa dan bagaimana mengarang. Sulit membayangkan seorang guru yang takut dan tidak suka menulis dapat melakukan hal itu. Padahal minat dan kemauan siswa belajar menulis tak terlepas dari apa yang terjadi pada diri guru dan bagaimana dia mengajarkannya.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan para guru kita enggan untuk memulai menulis (buku) (Hamdani, 2014). Pertama, masih rendahnya budaya membaca di kalangan guru secara otomatis berpengaruh pula pada rendahnya motivasi mereka untuk menulis. Dengan kata lain, kebiasaan membaca menjadi syarat mutlak bagi siapa saja untuk mampu membuat tulisan. Sebagian dari guru masih enggan memanfaatkan perpustakaan sekolah sebagai salah satu pusat sumber belajar. Mereka lebih gemar membaca koran maupun tabloid yang berkaitan dengan hobi mereka seperti olahraga, otomotif dan memancing. Kedua, banyaknya aktivitas yang dilakukan di sekolah tak jarang membuat guru “terjebak” dalam kegiatan rutinitas. Akibatnya, guru pun tak lagi memiliki energi yang cukup untuk menuangkan berbagai gagasan maupun pengalamannya melalui tulisan. Sesampainya di rumah, kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk beristirahat maupun mengerjakan urusan rumah tangga.
Ketiga, alasan lain guru enggan menulis buku adalah keterbatasan kemampuan mereka dalam merangkai kata. Kenyataan menunjukkan, banyak sekali guru-guru kita yang mempunyai ide-ide cemerlang maupun pengalaman-pengalaman yang sangat berharga untuk dibagi kandas begitu saja akibat ketidakmampuan mereka untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Untuk mampu membuat sebuah tulisan yang bermutu memang tidaklah mudah. Dibutuhkan kemauan yang tinggi untuk senantiasa memperbanyak bacaan serta konsisten dalam menulis. Menuangkan tulisan dalam blog pribadi sejatinya bisa menjadi awal yang baik dalam melatih kemampuan menulis. Selain itu sering mengunjungi kanal edukasi pada microblog seperti kompasiana akan sangat membantu para guru dalam menemukan ide-ide segar untuk kemudian dijadikan sebuah tulisan yang menarik. Tak hanya itu, dengan mengikuti berbagai blog competition seperti yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation, secara tidak langsung dapat mengasah kemampuan guru untuk menuangkan buah pikirannya ke dalam sebuah tulisan. Dengan membangkitkan (kembali) budaya menulis di kalangan guru, diharapkan (jiwa) profesionalisme mereka pun akan berkembang sehinga mampu memberikan spirit bagi siswanya untuk menulis. Dengan demikian, budaya literasi di kalangan guru yang dulu pernah terkikis pun, dapat kembali menghiasi wajah dunia pendidikan kita.
Banyak kendala yang menghadang aktivitas menulis di kalangan guru (Bolla, 2012). Pertama, dari sisi guru, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling Anda. Berapa banyak guru yang mempunyai perpustakaan pribadi. Berapa banyak guru yang sering mengunjungi perpustakaan umum untuk mencari referensi. Berapa banyak guru yang berlangganan koran atau majalah? Berapa banyak guru yang bisa dan biasa berselancar di internet? Jawaban atas pertanyaan-tertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah guru mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.
Kedua, motivasi yang rendah di kalangan guru untuk menulis. Tidak sedikit guru yang walaupun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis. Dalam kaitan ini Agus Irkham, seorang penulis artikel kondang yang ratusan tulisannya terserak di Koran Suara Merdeka, Wawasan, Kaltim Pos, Solo Post dan sebagainya, menegaskan bahwa kegagalan seorang untuk menjadi penulis, minimal menulis, justru lebih banyak disebabkan oleh lemahnya motivasi. Termasuk habit atau kebiasaan hidup yang dapat mendukung keuletan/ketekunan dan tradisi menulis yang kuat.
Kendala ketiga, guru yang miskin gagasan. Andaikan para guru di seluruh Indonesia dapat menulis buku untuk para muridnya. Andaikan para guru dapat memperkaya para muridnya dengan cerita-cerita yang mengasyikkan, ditulis oleh mereka di karya-karya tulis mereka. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh guru banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak guru yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat guru tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.
Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis. Menjadi guru dituntut mempunyai loyalitas yang tinggi. Loyalityas tersebut harus ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan. Namun yang terjadi, loyalitas sering disalah-artikan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah mereka yang taat pada atasannya atau pimpinan organisasi, menurut saya adalah pandangan yang keliru. Loyalitas seperti ini akan membuatnya kehilangan keberanian dalam mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijakan atasan. Pandangan bahwa guru yang loyal adalah guru yang menaati semua kemauan dan perintah atasannya telah berperan besar dalam membuat guru kurang berani menunjukkan otoritas pribadinya. Ia lebih terbawa pada arus pemikiran atasannya, ketimbang menuruti gagasannya sendiri, ia tidak produktif dan tidak kreatif. Ia terjebak dalam budaya ABS-asal bapak senang.
Menulis Itu Ibarat Pisau
Budaya menulis menjadi barang langka di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan pendidik. Menulis merupakan suatu hal mengerikan bagi sebagian orang, sehingga mereka berusaha menjauhi dan menghindarinya.
Menulis itu bisa karena biasa. Rasanya kekuatan kebiasaan dalam menulis ini bisa menjadikan kita seorang penulis yang terkenal yang mampu menghipnotis orang dengan tulisan-tulisan yang kita miliki, seperti pedang atau kapak yang tajam bila diasah.
Pembiasaan (habituation) merupakam “proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang”. Ciri-ciri sikap atau tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan adalah: relatif menetap; tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi; bukan merupakan proses kematangan, tetapi sebagai hasil pengalaman atau belajar; dan tampil secara berulang-ulang sebagai respon terhadap stimulis yang sama.
Pepatah mengatakan menulis itu ibarat pisau yang tajam. Bila tidak terus diasah, akan mengakibatkan pisau menjadi tumpul dan berkarat. Sama halnya dengan menulis. Bila seseorang sudah terbiasa menulis, maka tulisannya akan tajam menganalis kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya. Namun, bila seseorang tidak terbiasa menulis, maka tulisannya kurang bermakna. Tumpul dan tak mengena di hati para pembacanya.
“If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot” (Stephen King). Jika kita ingin menjadi penulis, maka lakukanlah dua hal: banyak membaca serta banyak menulis. Banyak dari kita yang ingin menjadi penulis, namun malas membaca, apalagi menulis.
Guru abad ke-21 tidak cukup hanya menjadi guru kurikulum yang menafsirkan kurikulum semacam “kitab suci” yang monotafsir. Ia perlu menjadi guru inspiratif yang mampu menerjemahkan kurikulum secara multidimensional. Guru perlu menjadi elemen bangsa yang memiliki kepedulian untuk ikut memperbaiki nasib bangsanya dengan memosisikan diri sebagai sumber inspirasi bagi banyak kalangan melalui sebuah tulisan. Melalui tulisan, guru akan terus terasah kepekaannya dalam menyuarakan berbagai problem pendidikan sehingga mampu berkiprah dalam menggerakkan dinamika pendidikan sesuai dengan tuntutan peradaban dan kebutuhan masa depan (Sawali, 2012).
Semoga !!!