Oleh :
Ahmad Usman
Magister Sosiologi Unhas Makassar, Dosen STISIP Mbojo Bima NTB
Mudik atau pulang kampung, yang lebih trend disingkat “pulkam” untuk berlebaran merupakan peristiwa yang telah mentradisi bagi para urban, orang desa yang bekerja tetap di kota, juga mahasiswa/pelajar. Sehingga tak ayal, sekaligus sebuah panorama indah nan menarik di penghujung Ramadhan, bersibuk-sibuk rialah para urban berkemas-kemas “pulkam”, dengan segala persiapan yang mapan dan matang baik secara ekonomis, fisik maupun mental prima. Seakan-akan tak lezat dan sedap rasanya makna puasa Ramadhan bagi mereka jika tidak “disempurnakan” dengan mudik. Seolah-olah jerih payah, peras-keringat, perjuangan hidup mati untuk mengumpulkan “recehan-recehan” selama setahun dipersiapkan untuk mudik. Dan memang, lebaran di tempat kelahiran dengan orang tua, saudara, sanak famili, handai tolan, teman-teman lama, ditambah suasana alam desa yang amat bersahabat—demikian halnya penghuninya, terasa begitu bersahabat, damai, romantis dan penuh nostalgia. Walaupun mereka sadari benar bahwa setiap mudik lebaran: kecelakaan bahkan “maut” di perjalanan selalu menanti mereka. Tidak sedikit para pemudik, menemui ajalnya dalam perjalanan mudik. Toh, mudik tetap menjadi kebutuhan karena sudah membudaya.
Memang, secara ekonomis, pemerintah desa merasa diuntungkan dengan mudiknya warga yang migrasi ke kota. Sebab, pemudik selalu membawa uang kontan yang akan digunakan di desanya. Sebuah hasil penelitian Soekartawi beberapa tahun lalu menyimpulkan, di samping uang itu dikonsumsi (40-50 %), sisanya mereka gunakan untuk memperbaiki atau membeli rumah (50-60 % dan untuk investasi membeli tanah sekitar 21-28 %; membeli ternak (0,2-5,4 %) dan 18,31% untuk kegiatan lain. Lanjutnya, pemudik yang tinggal di kota sebagian besar (59,7 %) hanya bersifat sementara dan karenanya sebagian besar (79,3 %) mereka tidak membawa keluarga. Dan kondisi ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk desa, tentu pemerintahnya juga. Belum lagi, rezeki ini dinikmati oleh anak-anak dengan kebiasaan “hagalar”-nya.
Berarti secara ekonomis, mudik memberikan manfaat yang besar. Belum lagi, para urban biasanya membentuk perkumpulan-perkumpulan di kota dan membuat program-program pembangunan yang bermanfaat bagi desa kelahirannya. Misal, melalui kelompok arisan mereka mengumpulkan dana untuk membangun rumah ibadah, perbaikan jalan kampung/desa, membangun lumbung desa, dan sarana umum lainnya, termasuk balai desa.
Melihat “partisipasi” pemudik sebagaimana illustrasi di atas, mengundang decak kagum orang desa/kampung apalagi ditambah “performance” atau penampilan pemudik yang sedikit “bersih”, bahkan ada yang menampilkan gaya hidup kota yang sedikit “wah” dan “trendy”, sehingga memancing orang desa masuk kota. Minimal, bagi urban yang agak mapan, menyertakan pembantu. Belum lagi urban yang masih lajang dan bujang, tidak sedikit yang membawa pasangan baru.
Bagi pemudik yang berhasil tentu akan menyertakan saudara atau teman-teman dekatnya bereksodus—pindah ke kota. Jadilah mereka berurbanisasi, walau mereka sadar “sekejam-kejamnya ibu tiri, tidak sekejam dan sesadis ibu kota”, apalagi dengan kondisi akhir-akhir ini. Kota penuh dengan ketidakpastian, ketidaknyamanan.
Kaitan dengan tradisi mudik yang sering diserti dengan eksodusnya orang desa ke kota, sekurang-kurangnya ada dua faktor yang bertemu secara simultan atau berbarengan. Pertama, faktor pendorong (push factor), yaitu terbatasnya lapangan kerja di pedesaan, menyempitnya lahan pertanian dan bertambahnya populasi petani gurem berlahan sempit. Kedua, faktor penarik (pull factor), yaitu tersedianya beragam alternatif di kota, banyaknya kesempatan berusaha dan sisi-sisi ekonomi yang menjanjikan “jampi-jampi” penenang lebih besar. Di sinilah, mudik ikut berperan melipatgandakan efek faktor penarik melalui cara “demonstration effect” kaum urban.
Mudik menjadi jembatan perantara yang efektif untuk mewadahi hasrat kaum pedesaan untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka. Ada “triggering factors” yang memicu fenomena urbanisasi di Indonesia. Pertama, makin menyusutnya lapangan kerja dan perubahan struktur kepemilikan tanah di pedesaan. Kedua, penetrasi gaya atraktif warga urban melalui mudik. Ketiga, efek mercu-suar dari kota metroplolis yang diperoleh dari jalur informasi (TV, radio, dan media informasi lainnya).
Memang harus diakui, kota punya daya tarik yang memikat bagi siapa saja, di samping kondisi desa yang kini dibalut kemiskinan yang mencekam. Kota menjadi pusat segala-galanya, baik ekonomi, pendidikan, sosial budaya, hiburan, politik, dan lain-lain.
Eksodusnya penduduk desa ke kota baik karena mudik atau karena alasan lain, ingin merubah nasib misal (baca : hasil penelitian Heeren puluhan tahun lalu, menunjukkan bahwa banyak sekali yang pindah ke Jakarta untuk mencari nafkah dan tidak disebabkan karena keamanan !), akan menambah “beban” baru bagi pemerintah kota. Sebab eksodusnya orang desa ke kota tidak sedikit membawa ekses, antara lain lahirnya beberapa agenda permasalahan sosial, baik yang berwujud : menurunnya kualitas kebersihan kota maupun kesehatan; meningkatnya tensi kejahatan dan kenakalan, misalnya munculnya preman-preman kota; tumbuh-suburnya mental-mental individiualistis; padatnya populasi penduduk; ketatnya kompetisi antar penghuninya; menjamurnya permukiman-permukiman liar, semrawut lagi kumuh, termasuk dengan adanya penempatan tanah negara secara liar (squatter). Khususnya penempatan tanah negara secara liar, akan menimbulkan beberapa ekses, di antaranya : adanya kehidupan gelandangan di tempat-tempat umum; adanya kemungkinan lebih besar kerusuhan-kerusuhan yang timbul oleh sekelompok penjahat; adanya kemungkinan yang lebih besar timbulnya tuna susila dan tuna wisma di tempat-tempat umum yang tidak ada koordinasi yang teratur (M. Cholil Mansyur 1989).
Ekses lain: kian membludaknya anak-anak jalanan, pengemis, dan sederet persoalan lainnya adalah anak-anak para urban yang kalah dan tak berdaya dalam berkompetisi dalam mencari kerja di kota. Maraknya pedagang asongan, pedagang kaki lima, yang memadati trotoar-trotoar dan jalan-jalan di kota pun sebuah panorama yang kurang mendukung penataan kota.
Eksodusnya orang desa ke kota bakal menambah pekerjaan dan “beban” baru bagi pemerintah kota. Dan yang jelas, kehidupan di kota itu “keras” dan “kejam” dan kehidupan kota mengandung benih-benih kejahatan. Salah satu penyebabnya, lantaran longgarnya kontrol masyarakat, dibandingkan suasana kehidupan desa.