INIPASTI.COM – Mukidi belum lama menjadi orang “baik.” Sebelumnya ia hidup dengan penuh luka dan lika liku, keluar masuk penjara. Ia pernah menguasai banyak poros kehidupan hitam, pengikutnya liar dan beringas. Sampai pada sebuah seperti tiga malam, ujung malam yang membuat tubuhnya menggigil, butiran-butiran keringatnya yang berbiji-biji membalut dahi dan dadanya. Pada saat itu untuk pertama kalinya ia mengucapkan istigfar dengan penuh penghayatan, betul-betul permohonan ampun dengan sungguh-sungguh.
Lelaki yang tak mengenal “kalah” ini, lunglai oleh bisikan halus orang tua renta yang melilitkan sorban putih pada batok kepalanya. Dari sinilah kesadaran Mukidi terus membangkit. Lalu mewujud menjadi lelaki yang sholeh. Tampilannya semakin mempesona, cara bertuturnya menggoda pendengar. Ia menjadi rebutan media televisi dan koran.
Mukidi anak nakal berubah menjadi panutan, menjadi contoh banyak orang. Dalam sehari, ia bisa menghadiri dua tiga undangan. Pokoknya, Mukidi menjadi orang penting dan sangat populer. Kehebatan Mukidi sampai juga di telinga kawan lamanya, Nunding.
Nunding pernah satu kelompok dengan Mukidi, pernah sama-sama menjadi broker politik dan tukang tagih utang. Pernah sama-sama mondok di Cipinang, gara-gara mengkartel harga gula dan beras import.
Sekarang Nunding sedang giat-giatnya membersihkan nama baiknya, ia mencuci masa lalunya dengan deterjen politik, atas nama rakyat, organisasi dan ummat.
Nunding mencari tahu di mana Mukidi, telepon pun berdering, seakan-akan Mukidi bisa membaca perasaan Nunding.
Mukidi: Nding, ini Mukidi, teman lama kamu.
Nunding: Hey, darimana saja partner. Sekarang kamu semakin populer, hebat, tiap hari di TV, fotomu dimana-mana.
Mukidi: Trims bosss, ini karena arahan bosss.
Nunding: Besok kita ketemuan ya? Di Kantor saya, Kantor Partai Politik Genggawa Beringin. Saya membutuhkan popularitasmu, tutup Nunding.
Mukidi: Assalamualaikum boss. Mukidi memasuki ruangan Nunding, setelah beberapa pengawal pribadi Nunding mengintrogasinya.
Nunding: Masuk, masuk, duduk, duduk. Nunding nampak sangat sibuk. Tumpukan surat-surat seperti menggunung di meja kerjanya.
Mukidi: Apa kabar pak boss, lama tidak bersua.
Nunding: Kau berbeda sekarang partner, nampak lebih alim dan sholeh. Begini Dii, saya sekarang beralih profesi dari broker politik menjadi politkus benaran. Saya harus bisa menghapus jejak-jejak masa lalu saya. Saya membutuhkan bantuan kamu.
Mukidi: Tidak mudah itu bosss. Orang-orang yang cacat hukum seperti kita ini ngga ada tempat di panggung politik
Nunding: Tenang partner, elit-elit politik di negeri ini saya sudah sumbat dengan uang-uang yang kita kumpul dulu.
Mukidi: Bagaimana dengan masyarakat luas?
Nunding: Masyarakat kita suka lupa, yang mereka selalu ingat cuma dollar dan rupiah. Uang, yang menentukan bro.
Mukidi: Bukankah politik dan hukum itu seperti orang yang buang air besar dan kecil? Siapa saja yang buang air besar, pasti juga membuang air kecil. Kalau berak itu sama dengan hukum, dan poltik itu sama dengan kencing, maka siapapun yang buang air besar akan diikuti dengan buang air kecil. Jadi siapa saja yang bersoal secara hukum, maka ia akan bermasalah secara politik. Kita-kita ini sulit mencari tempat di dunia politik bosss.
Nunding: Saya akan buktikan, saya bisa berak tanpa kencing partner. Pokoknya, kamu terima beres. Saya cuma mau minjam ketenaranmu.
Mukidi pulang dengan lunglai, membawa banyak pertanyaan. Hatinya bergolak menerima tawaran sahabat lamanya, atau tetap bertahan sebagai mantan preman yang sholeh?