Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Menggelitik dan menarik dua pantun yang dilantunkan Bambang Budi Utomo (Ansar, dkk., 2020).
“Ikan kerapu bukan pari,
Elok nian dipandang mata.
Bangsa Indonesia bangsa bahari,
Kekuatan laut tumpuan kita.”
***
“Elang laut terbang tinggi,
Melayang antar terjalnya batu.
Bangsa ini tak kan terbagi,
Hargai laut sebagai pemersatu.”
“Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, semboyan kita di masa lalu harus kembali lagi” (Presiden RI Jokowi). Semboyan “Jalesveva Jayamahe”, sedikit banyak sebagai cerminan akan kejayaan akan luasnya perairan Indonesia, dengan rakyatnya akan senantiasa menggantungkan mata pencahariannya dalam hasil laut.
“Indonesia bukan pulau-pulau dikelilingi laut. Tetapi, laut yang ditaburi pulau-pulau” (A.B Lapian).
“Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga Bangsa pelaut armada militer Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi Irama gelombang lautan itu sendiri” (Ir. Soekarno, 1953).
Dari dua prasa dan tulisan ini penulis berharap, bersama kita dapat melihat potensi dan realita kemaritiman Indonesia, mengajak bahkan memaksa kita segera berbenah untuk membangun kembali jejak sejarah yang terhapus.
Sebuah Lingkaran Setan
Setumpuk upaya terus dilakukan nelayan untuk meningkatkan pendapatan. Ironinya, upaya mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu justru sering menjebak mereka dalam kemiskinan yang lebih dalam.
Semua itu terjadi karena nelayan sulit mengakses lembaga keuangan misalnya perbankan. Karena persyaratan untuk mendapatkan modal usaha dari bank harus memiliki jaminan berupa sertifikat tanah. Sementara, mayoritas nelayan tidak memiliki sertifikat tanah. Sehingga kebutuhan dana hanya bisa diperoleh melalui pemilik perahu, pemilik modal, yang tidak lain adalah para tengkulak.
Sementara pada panorama lain, siapapun tidak bisa menyalahkan tengkulak. Karena tak jarang mereka justru hadir di saat nelayan membutuhkan uang. Interaksi antara pemilik modal dan juragan kapal atau tengkulak dengan nelayan ini sebenarnya adalah hubungan patron-client atau majikan buruh.
Hubungan patron-client dalam masyarakat nelayan sama halnya yang terjadi pada petani yakni penguasaan alat-alat produksi dan modal oleh entitas tertentu. Hubungan ini divalidasi oleh kewajiban timbal balik yang dinyatakan dalam pertukaran layanan (La Sugi, 2020).
Ciri atau karakteristik yang menentukan hubungan patron-client adalah asimetris yang terjadi di antara kedua aktor. Pertama, tengkulak (patron) sebagai pemilik alat tangkap ikan, pemilik kapal serta modal; lapisan sosial ekonomi ini mencerminkan lapisan masyarakat yang mendominasi penguasaan alat-alat produksi, penyediaan modal, dan akses pasar.
Kedua, nelayan, buruh (client), hanya menyediakan jasa memancing. Kesulitan mengakses modal dan pasar ini menjadi kendala dalam pengembangan masyarakat nelayan (La Sugi, 2020).
Relasi atau hubungan yang timpang ini salah satunya berakibat pada sistem bagi hasil yang tidak ideal. Tidak idealnya sistem bagi hasil pada nelayan, karena ada kontrak kerja dengan juragan kapal, pemilik modal atau tengkulak tadi. Seperti nelayan tuna yang kebanyakan bukan pemilik kapal. Kapal tersebut dimiliki oleh pemilik modal sekaligus pedagang ikan atau tengkulak. Padahal tengkulak sering melakukan hal-hal yang justru merugikan nelayan. Misalnya membeli ikan dengan harga murah meskipun sebenarnya ikan yang dihasilkan oleh nelayan berkualitas tinggi. Tetapi karena nelayan menganggap tengkulak adalah orang yang sering menolong di saat susah, maka nelayan tidak punya pilihan lain.
Struktur sosial nelayan yang tercermin dalam hubungan majikan-buruh memiliki kontribusi besar dalam membentuk corak lapisan kemiskinan nelayan. Mereka yang menempati lapisan atas hanya sebagian kecil dari masyarakat nelayan, sebagian besar masyarakat nelayan berada di lapisan terbawah.
Ketakberdayaan Nelayan
Dalam kajian perspektif sosiologi, ketakberdayaan atau kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2013). Kemiskinan adalah ciri yang sangat menonjol dari kehidupan masyarakat pesisir yang masih enggan menjauh dari kehidupan nelayan.
Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multiface atau multidimensional. Chambers (Mulyawan, 2016) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan (poverty), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Dengan demikian, hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain yang menyebabkannya, seperti tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kawasan pesisir yang kaya sumberdaya perikanan dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan, banyak yang merupakan kantong-kantong kemiskinan. Dari masa ke masa, pergulatan masyarakat nelayan melawan ketidakpastian kehidupan khususnya bagi yang melakukan penangkapan di wilayah perairan yang sudah berada dalam keadaan tangkap lebih, terus menggeliat. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga nelayan melakukan pekerjaan lain di luar melaut (Tain, 2006). Kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir adalah yang paling menderita dengan taraf kesejahteraan jauh di bawah kelompok masyarakat lainnya (Kusumastanto, 2002).
Nelayan adalah salah satu kelompok sosial penduduk atau komunitas yang selama ini terpinggirkan baik secara sosial, ekonomi, maupun politik dan teridentifikasi miskin dan terendah pendapatannya di samping petani sehingga wajar orang mengistilahkan mereka sebagai the poorest of the poor. Kurang dari 14,58 juta jiwa atau sekitar 90% dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia belum berdaya secara ekonomi maupun politik, dan berada di bawah garis kemiskinan (Kompas.com dalamAnwar dan Wahyuni, 2019).
Masyarakat nelayan tradisional merupakan salah satu kelompok masyarakat yang dianggap miskin bahkan paling miskin di antara penduduk miskin (the poorest of the poor). Namun demikian, data yang pasti tentang nelayan miskin di Indonesia sampai saat ini tidak pernah tersedia (Satria, 2009).
Pemicu Ketakberdayaan Nelayan
Terdapat perbedaan persepsi para ahli dan pemerhati tentang akar-akar penyebab kemiskinan, hal ini dapat dipahami karena perbedaan paradigma dalam melihat kemiskinan, yang kemudian berpengaruh terhadap strategi cara-cara mengatasi pengentasan kemiskinan.
Penyebab kemiskinan nelayan multi-kompleks, mulai dari faktor budaya, sosial, religi, sumber daya perikanan, hingga politik yang berkaitan dengan kebijakan. Friend (2011) menggarisbawahi bahwa kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan kecil berhubungan dengan faktor socio–institutional, pendidikan, modal finansial, dan marjinalisasi dari pembuat kebijakan atau keputusan.
Menurut Mulyadi (2005), ada 6 masalah pokok yang menyebabkan kemiskinan, yaitu: kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang
Kusnadi (2003) menjelaskan bahwa kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan bukanlah suatu independen, melainkan akibat kebijakan masa lalu yang terlalu terkonsentrasi pada pembangunan wilayah darat (maritime orientation) sehingga menjadikan kelautan dan perikanan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector).
Kusnadi (2013) menyatakan bahwa ada dua sebab yang menyebabkan kemiskinan nelayan, yaitu sebab yang bersifat internal dan bersifat eksternal. Kedua sebab tersebut saling berinteraksi dan melengkapi. Sebab kemiskinan yang bersifat internal berkaitan erat dengan kondisi internal sumber daya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Sebab-sebab internal ini mencakup masalah : 1. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan. 2. Keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan. 3. Hubungan kerja (pemilik perahu nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh. 4. Kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan. 5. Ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. 6. Gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke masa depan.
Kemiskinan yang bersifat eksternal berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Sebab-sebab eksternal ini mencakup masalah: 1. Kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial. 2. Sistim pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara. 3. Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktik penangkapan dengan bahan kimia, pengrusakan terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir. 4. Penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan. 5. Penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan. 6. Terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pascapanen. 7. Terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan. 8. Kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun. 9. Isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.
Akar kemiskinan nelayan, di antaranya : 1. Keterbatasan kualitas sumberdaya nelayan; 2. Keterbatasan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3. Hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dianggap kurang menguntunkan khusunya bagi nelayan buruh. Kalau daerah Sulawesi lebih akrab dengan istilah “Ponggawa-Sawi), ponggawa adalah pemilik kapal sementara sawi adalah awak atau anak buah kapal; 4. Kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; 5. Ketergantungan yang tinggi terhadap ekupasi melaut (Menggala, 2016).
Penyebab kemiskinan di wilayah pesisir menurut Hamka, dkk. (2019), yaitu : 1) kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam membangun sub-sektor perikanan. 2) Ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi dan buruh nelayan. 3) Terjadinya over eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan terhadap akibat modernisasi yang tak terkendali. 4) Terjadinya penyerobotan wilayah perikanan tradisional yang dilakukan oleh perusahaan perikanan modern yang sejatinya menjadi daerah beroperasinya nelayan tradisional.
Masyarakat nelayan memiliki karakteristik permasalahan, antara lain: Pertama, pendapatan nelayan biasanya bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga sangat tergantung pada musim dan status nelayan (juragan atau klien/buruh. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya, segera setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutup kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan tersebut. Kedua, dilihat dari segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah. Ketiga, dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok. Selain itu, sifat produk tersebut yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. Keempat, bahwa bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Kelima, kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada mata pencaharian menangkap ikan (Firthdalam Arifin, dkk., 2020).
Terdapat 15 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan yang meliputi faktor: (1) kelembagaan yang merugikan nelayan kecil, (2) program yang tidak memihak nelayan kecil, (3) pandangan hidup yang berorientasi akherat saja, (4) keterbatasan sumberdaya, (5) ketidak sesuaian alat tangkap, (6) rendahnya investasi, (7) terikat utang, (8) perilaku boros, (9) keterbatasan musim penangkapan, (10) kerusakan ekosistem, (11) penyerobotan wilayah tangkap, (12) lemahnya penegakan hukum, (13) kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, (14) penggunaan alat/bahan terlarang serta (15) perilaku penangkapan. Kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan bersifat multidimensional yang menyangkut kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural. Dalam rangka program pengentasan kemiskinan faktor kelembagaan merupakan faktor pertama dan utama yang harus dibenahi (Tain, 2013).
Di antara faktor penyebab kemiskinan rumahtangga nelayan adalah pandangan hidup yang berorientasi akhirat saja. Faktor pandangan hidup yang ada pada rumah tangga nelayan adalah suatu pandangan yang lebih berorientasi pada kehidupan di akhirat nanti, sedangkan keseharian di dunia biarlah berjalan apa adanya, tidak perlu terlalu dipikirkan dengan berat tetapi santai saja, menikmati apa yang ada. Karena menurut mereka kaya ataupun miskin itu adalah suatu yang deterministik atas kewenangan distribusi dari Tuhan. Para nelayan ini tidak terlalu memikirkan hidupnya karena yakin pasti bisa hidup sebagaimana terungkap dari pandangan mereka olak delem beto’ gek ngakan apapole mennossah tak ngakannah (ulat dalam batu masih makan, apalagi manusia). Dalam menjalani hidup rumah tangga nelayan miskin tersebut tampak terkungkung dalam kultur yang tidak kondusif untuk membawa mereka keluar dari kemiskinan (Tain, 2013).
Ironi Kehidupan Nelayan
Kemiskinan merupakan sebuah ironi kehidupan nelayan yang tidak sebanding dengan kekayaan lautnya, dan menjadikan nelayan mengalami disorientasi atau ketimpangan kehidupan.
Isu ketimpangan merupakan aspek penting dalam penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan umumnya ditandai ketimpangan-ketimpangan antara lain, kepemilikan sumberdaya, kesempatan dalam berusaha, skill, dan faktor lainnya yang menyebabkan perolehan pendapatan yang tidak seimbang dan mengakibatkan struktur sosial yang timpang (Dahuri dan Nugroho 2012).
Salah satu kelompok masyarakat yang berada pada masalah ketimpangan adalah nelayan. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut (Imron, 2003). Kinseng (2014) menjelaskan berbagai pihak mengasosiasikan nelayan dengan kemiskinan atau marginalitas.
Ridlo (2001) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang banyak terjadi dalam kegiatan pembangunan yang ditandai dengan adanya pengangguran, keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.
Ketimpangan adalah sebuah konsep yang menggambarkan kondisi yang tidak setara, terutama dalam hal status, hak, dan kesempatan (UN, 2015). Ketimpangan ialah bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam proses pembangunan. Informasi sejarah menunjukkan bahwa ketimpangan telah berlangsung sejak lama dan bersifat struktural, terutama sebagai konsekuensi dari kolonialisme sejak abad ketujuhbelas (Agusta, 2014).
Berbeda dengan kemiskinan yang diukur berdasarkan nilai batas yang ditetapkan, ketimpangan melihat perbedaan standar hidup antarorang/antarkelompok di dalam masyarakat (McKay, 2002). Ketimpangan bisa dilihat secara moneter dan nonmoneter. Ketimpangan moneter diukur dengan menggunakan data distribusi pendapatan/pengeluaran (Cowell, 2007; Dabla-Norris et al., 2015). Sementara itu, yang dilihat dalam ketimpangan nonmoneter adalah dimensi di luar pendapatan/pengeluaran, seperti pendidikan dan keterampilan, kesehatan, kesempatan, kepemilikan aset, dan bahkan capaian umur (Heshmati, 2004) (Warda, dkk., 2019).
Ketimpangan merupakan masalah yang kurang mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah, padahal kesenjangan sosial-ekonomi akan mempengaruhi ketimpangan antar penduduk di Indonesia (Haughton dan Khandker 2013).
Kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi (Kusnadi 2002).
Ketimpangan sosial yang terjadi pada pendapatan nelayan kecil yang memiliki jurang ketimpangan yang tinggi dengan nelayan pemilik kapal juga dipengaruhi oleh penguasaan alat produksi perikanan tangkap yang berbeda dan sumberdaya perikanan yang berbeda senada dengan Maipita (2014), yang menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan dapat terjadi karena adanya perbedaan tingkat penguasaan sumberdaya.
Ketimpangan terjadi dikarenakan : pertama, keanekaragaman sumber daya hayati laut yang dimiliki belum/tidak diikuti kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas alat produksi dengan teknologi yang lebih baik/modern. Kedua, kurang melindungi nelayan dari berbagai bentuk intervensi para tengkulak yang kurang mendukung perkembangan ekonomi sebagai wujud usaha kesejahteraan sosial sehingga dalam situasi ekonomi yang sulit serta tidak terdukungnya penghasilan yang cukup mengakibatkan terhambatnya usaha kesejahteraan sosial. Ketiga, kurang terdukungnya moral ekonomi nelayan seperti semangat pantang menyerah, etos kerja yang tinggi dan gotong royong sebagai sumber daya dalam mengatasi kemiskinan yang mendera kehidupannya.
Sebuah Harapan
Nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life) (Panayotou, 2003). Sebelumnya, Panayotou mengemukakan dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu (Subade dan Abdullah, 1993).
Di antara cara mengatasi suatu masalah yang terjadi di kalangan para nelayan yaitu : a) mengajukan ke pemerintah kabupaten/kota agar merancang sistem kredit (modal usaha) khusus berbunga rendah untuk pengusaha nelayan; b) membangun kerja sama dengan lembaga perbankan yang terdekat untuk memudahkan akses modal usaha; c) membentuk unit simpan-pinjam (USP) berbasis masyarakat berbudaya lokal (Kusnadi, 2013).
Semoga !!!