INIPASTI.COM, PERNIKAHAN selalu dianggap sebuah peristiwa penting dan sakral. Ia merupakan fase tertinggi dalam life cycle (siklus hidup) seseorang dan keluarga besar pengantin.
Namun, setiap tahapan pernikahan kerap punya adat dan tradisi tersendiri. Inilah, yang kadang, membuat sebuah peristiwa pernikahan menjadi prestisius. Mulai uang panai hingga varian proses adatnya, bisa menghabiskan biaya sampai ratusan juta. Wow!
Apakah itu salah? Tentu bakal muncul beragam tafsir. Tapi, kali ini, saya tak ingin membahas golongan orang-orang yang menentang tradisi (anti tradisi atas nama agama).
Bagi orang yang bertekad mempertahankan dan melestarikan tradisi leluhur, setiap tahapan adat dalam pesta pernikahan itu punya makna tersendiri. Mereka saling terpaut dan berkorelasi satu sama lain. Ia juga bisa menjadi portal untuk mengenang dan mengingat masa lalu, dan selanjutnya dibawa ke masa kini.
Ketika saya melakukan penelitian di Kota Gorontalo pada 2015 terkait sosialisasi PP 48 tahun 2014 tentang menikah di dalam balai nikah dan luar balai nikah, kebanyakan masyarakat cenderung memilih menikah di luar balai nikah. Hasil temuan teman-teman kantor di beberapa daerah di kawasan timur indonesia pun demikian.
Demikian pula, ketika kami melanjutkan penelitian pada Agustus – September 2016. Hasilnya, pernikahan yang digelar di luar balai nikah ternyata masih mendominasi, atau sekitar 70% memilih menikah di luar.
Padahal, berdasarkan regulasi PP 48 tahun 2014, calon pengantin yang menikah di luar balai nikah (kantor KUA) dikenai biaya 600 ribu, dan langsung dibayarkan ke bank yang ditunjuk. Sementara, bila dilaksanakan di dalam balai nikah justru digratiskan.
Mengapa banyak yang menikah di luar? Alasan di semua daerah hampir sama; gengsi sosial, praktis, dan tidak ingin dituding “cause by accident” (nikah akibat hamil duluan).
Di Gorontalo, saat penelitian di sana, tahapan adat dalam pernikahan yang saya anggap menarik adalah pemberian shadaqah.
Shadaqah adalah uang yang disimpan dalam amplop dan diberikan kepada orang-orang tertentu, yang duduk di bulita (semacam tempat duduk untuk tamu khusus). Ini merupakan tradisi dari nenek moyang mereka, dan berusaha dipertahankan & dilestarikan oleh orang Gorontalo.
Tamu yang dipersilakan duduk di areal ini adalah orang-orang pilihan, hasil rembukan pemangku adat, dan kemudian disepakati oleh keluarga kedua mempelai. Tamu khusus ini biasanya pejabat setempat, kepala KUA, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.
Usai ijab kabul, keluarga pengantin memberikan shadaqah kepada orang-orang yang duduk di bulita.
Shadaqah diberikan oleh pemangku adat yang telah ditunjuk oleh keouarga pengantin. Jumlah nominalnya pun terkadang bervariasi.
Artinya, tiap orang mendapat shadaqah yang berbeda-beda. Tergantung ketokohan dan figur orang tersebut.
Namun, jangan pernah membayangkan nominal uang shadaqah itu sangat tinggi. Umumnya, berisi 20 ribu dan paling tinggi 100 ribu.
Rupanya, pemberian shadaqah ini menjadi polemik di kalangan pejabat dan petugas KUA. Mereka khawatir shadaqah akan dikaitkan dengan grativikasi, yang berujung pada sogokan. Akhirnya, mereka pun menolak menerima shadaqah dengan alasan takut kena hukum gratifikasi.
Bagi keluarga pengantin, memberikan shadaqah itu bukanlah penyogokan. Ia lebih bersifat spiritual-kultural. Shadaqah dimaknai sebagai doa agar pengantin didoakan selamanya hidup berbahagia dan langgeng.
Nah, apabila menolak diberikan shadaqah, itu sama saja menolak mendoakan pengantin hidup berbahagia.
Kalau sudah begitu, bisa-bisa, tradisi yang telah ada sejak zaman nenek moyang, akan dihapuskan oleh kuasa negara atas nama gratifikasi. (*)