INIPASTI.COM — Malam-malam kita tak lagi seperti dulu yang syahdu di bawah lantunan kalam Ilahi dari para imam-imam Tarawih. Penghujung malam kita pun tak seperti dulu lagi yang larut dalam tahajud panjang, lalu meraih keberkahan sahur sembari dzikir dan istighfar di sela-sela sisa waktunya.
Saat subuh tiba, saf-saf di masjid terlihat lebih padat dibandingkan waktu subuh di luar Ramadhan. Selepas salat, sebagian makmum lebih memilih duduk berdzikir menanti syuruq. Mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah yang disempurnakan dengan mengerjakan salat sunah dua rakaat.
Salat kita pun tak seperti dulu yang lebih semangat memburu lima waktu jamaah di masjid. Mengejar untuk mengkhatamkan Alquran berulang kali. Berlama-lama di masjid untuk satu, dua, atau bahkan 3 juz Alquran setiap hari.
Sore kita, tak lagi disibukkan dengan dzikir petang dan doa. Dulu kita larut dalam detik mustajab di menjelang masuknya waktu Maghrib, menikmati dua ganjaran kebahagiaan (bahagia karena berbuka dan bahagia karena puasa kita menjadi wasilah berwajahah dengan Allah SWT). Tapi itu dulu, lantas bagaimana dengan hari ini pasca-Ramadhan.
Bukankah Rabb yang menjanjikan ganjaran berlipat selama Ramadhan, Ia juga Tuhan yang sama ketika di luar Ramadhan?
Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, “Kun rabbaniyyan, wala takun Ramadhaniyyan,”. Jangan menjadi manusia Ramadhan yang kuat ibadahnya karena berada di Ramadhan saja, karena setelah bulan itu berlalu ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertakwa. Namun jadilah manusia pasca-ramadhan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertakwa tanpa batas sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba yang bobot ibadahnya harus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadhan.
Para sahabat menyiapkan diri mereka selama 6 bulan untuk menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadhan. Pastinya mereka mati-matian untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan tentunya, kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya.
Hal yang sama dirasakan oleh sahabat nabi di penghujung Ramadhan. Mereka tak gembira dengan baju baru, kue-kue, dan makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih karena tamu agung itu sudah harus pergi meninggalkan mereka.
“Ma ba’da Ramadhan”, inilah masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan amalan yang tertolak; puasa, qiyam yang panjang, tilawah yang berulang kali khatam, infaq harta, pengorbanan jiwa raga dari 1 medan perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yang mereka lakukan selama Ramadhan, semuanya itu telah menjadi sebuah kekawatiran terbesar bagi diri mereka. Mereka lebih banyak berkontemplasi dan bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, apakah amal ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah SWT?
Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja’. Sekuat tenaga berusaha istiqomah dalam amalan ibadah mereka. Lengah sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan telah sia-sia. Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan Ramadhan adalah keinginannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT.
Enam bulan pasca-ramadhan, mereka masih bersedih memikirkan kepergian Ramadhan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah SWT. Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali bergembira bersiap diri menyambut kehadiran Ramadhan, sang tamu agung yang selalu mereka rindu.
Begitulah siklus hidup para orang sholeh terdahulu, renggang waktu dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallah. Seakan menutup semua celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan. Pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram,” (QS ar-Ra’du: 28).
Mereka memiliki kepribadian yang layak untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan kita? Sudahkah ibadah kita melebihi mereka sehingga lebih merasa hebat dan yakin kalau amalan Ramadhan kita diterima? Ittaqullaha ya ahibba’i, ibadah kita pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu. Sehingga rasa khauf dan raja’ yang kita miliki, seharusnya lebih besar ketimbang mereka.
Walhasil, sholeh pasca-ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan Terminal Ruhy, kita sudah men-charger diri kembali. baterai full yang kita miliki ditargetkan bertahan untuk 11 bulan berikutnya.
Ramadhan memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah merupakan bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam 11 bulan ke depan, tak ada puasa wajib seperti di bulan Ramadhan lagi. Tapi sekarang kita masih memiliki amalan puasa lain, puasa sunnah 6 hari Syawal, misalnya, yang keutamaannya telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan, lalu menyambungnya dengan (puasa) 6 hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama 1 tahun” (HR Muslim).
Masih ada puasa lainnya, seperti puasa sunah senin kamis, puasa Arafah, Asyura, Puasa Daud dsb. Qiyamul lail juga masih tetap bisa kita lakukan. Salat sunah ini menempati posisi kedua setelah shalat fardhu. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Salat yang paling utama sesudah salat wajib adalah qiyamul Lail,” (Muttafaqun alaih). Beliau juga menyebutnya sebagai da’bu shalihin, atau tradisi dari orang-orang sholeh.
Amal ibadah yang menjadi rutinitas kita selama bulan Ramadan diharapkan memang sudah menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika Ramadhan telah berakhir, kita tak mengalami kesulitan untuk memulainya kembali. Mumpung masih hangat aura ramadhan kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali rutinitas baik kita itu. Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah kebiasaan. Sekali pun sedikit, yang penting kita memiliki amalan andalan yang rutin menjalankannya. Karena barangsiapa yang memiliki amalan rutin yang baik, selamanya ia tak akan mengalami kerugian, sekali pun Ia terkena uzur, pahala tetap mengalir untuknya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dituliskan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian, maka dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia kerjakan di saat ia sehat dan tidak bepergian” (HR Bukhari).
Semoga kita tidak menjadi manusia Ramadhan yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan Free di 11 bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia Rabbaniyyan yang selalu mengingat Allah, kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita seperti karakter Ulul Albab yang termaktub dalam Alquran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS Ali Imran: 191). Wallahu al musta’an. (Sumber: Majalah Wisatahati)