MAKASSAR – Tingginya kasus pemotongan sapi betina di Sulsel yang cenderung semakin tak terkendalikan saat ini, baik ditingkat pemotongan lokal maupun di rumah-rumah potong hewan yang ada, sungguh sangat mengkhawatirkan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulsel, Ir H Abd Azis, Z.
Abd Azis mengambil data hasil penelitian dari HIKMA menemukan 76,34 persen sapi yang dipotong adalah sapi betina. Dan bahkan melihat grafiknya pemotongan sapi betina dari tahun ke tahun grafiknya terus naik.
“Pemotongan sapi betina ini harus dikendalikan. Kalau tidak 5 atau 10 tahun kedepan sudah sulit mencari sapi betina di Sulsel karena sudah punah,”ujar Azis.
Kepada inipasti.com, Selasa (6/12/2016) di Makassar, memberikan gambaran, fakta lapangan, bahwa jika ada sapi 10 ekor yang dibawa ke RPH (rumah potong hewan) untuk dipotong, biasanya hanya 2 ekor sapi jantan, 8 ekor sapi betina diantaranya 2 sapi betina tua, dan 6 betina produktif diantaranya ada juga beberapa ekor yang sudah hamil.
Ini artinya, sebut kadis, memotong satu ekor sapi betina produktif sama halnya dengan merusak 10 – 12 ekor keturunan anak sapi. Maksudnya 1 ekor sapi betna produktif itu bisa melahirkan 10 sampai 12 kali selama pase produktif.
Oleh karena itu, maka untuk mengendalikan pemotongan sapi betina produktif, maka pemerintah Provinsi Sulsel melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulsel membuat sebuah program pengendalian pemotongan sapi betina produktif, melalui regulasi atau perda.
“Perdanya sudah dibuat dan sudah jadi tinggal diterapkan. Meskipun demikian Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulsel masih perlu digencarkan sosialisasinya kepada masyarakat,”tandas Azis.
Pemotongan sapi betina di tingkat masyarakat memang sulit dikendalikan, sebab sapi tersebut bukan milik pemerintah. Kecuali memang kalau pemerintah mau talangi. Artinya sapi betina yang mau dipotong pemerintah siap membelinya.
Berdasarkan data pemotongansapi tahun 2015 jumlah sapi yang dipotong sebanyak 132.000 ekor sapi, estimasi 76,34 persen yang dipotong itu adalah sapi betina maka sapi betina yang dipotong itu mencapai 100.768 ekor.
Tarulah pemerintah mau menalangi 60 persen saja dari jumlah sapi betina yang dipotong maka ada sekitar 60.461 ekor yang harus dibeli atau ditalangi atau dibeli oleh pemerintah. Estimasi harga sapi produktif Rp7.000.000 per ekor X 60.461 ekor maka pemerintah harus menyiapkan dana talangan sebesar Rp423 miliar per tahun untuk menyelamatkan sapi betina.
Di Sulsel ini simpul-simpul sapi, terbanyak di Bone mencapai 367 ribu ekor, kemudian Sinjai, Sidrap, Wajo, Pinrang. Maros, Gowa dan juga Bulukumba.
Lebih lanjut mengatakan, pemerintah sangat ketat mengawasi adanya pemotongan sapi indukan, mulai ditingkat peternak hingga di rumah – rumah potong hewan.
Kementerian Direktorat Jenderal Peternakan Kesehatan Hewan, sudah mengeluarkan sebuah kebijakan, salah satu diantaranya adalah SIWAB (Sapi Indukan Wajib Bunting). Intinya sapi betina yang masih produktif diupayakan untuk dibuntingkan sampai melahirkan anak sapi, tentu dengan pola upaya khusus yang dilakukan.
Menurut Andi Panggeleng, tahun 2017 secara nasional pemerintah menargetkan anak sapi IB (inseminasi buatan) sebanyak 3 juta ekor dari target akseptor 4 juta ekor. Sementara untuk tingkat Sulsel ditargetkan angka kelahiran sapi IB sebanyak 200 ribu ekor.
Pengembangan sapi IB ini secara nasional Sulsel merupakan salah satu pusat pengembangan. Sekarang ini secara nasional populasi ternak besar, Sulsel memiliki populasi ke 3 tertinggi, setelah Jatim dan Jateng. Saat ini total ternak besar di Sulsel mencapai 1,4 juta ekor.
Untuk pengembangan sapi IB secara menyeluruh dikembangkan di seluruh kabupaten dan kota termasuk di Makassar. Memang ada beberapa daerah yang dianggap populasi ternak besarnya tinggi, seperti Bone, Sinjai, Bulukumba, Maros, Gowa, Wajo serta Barru.(****)