INIPASTI.COM – Kegaduhan politik bergeser menjadi kejutan politik. Itu yang mewarnai tarian politik Pilkada DKI dua hari terakhir (22-23/9/16). Serangan-serangan beruntun yang keluar dari moncong senjata musuh politik Ahok, yang berbau sara, sejenak rehat. Berubah menjadi penyesalan; partai politik rival Ahok gagal bersatu, Ahok bakal mulus merenggut kursi 01 DKI. Itulah rajukan dari mulut komunitas penantang Ahok.
Beralasankah kegelisahan para musuh Ahok ini? Ataukah kegelihan ini justru sengaja diseruduk kelompok Ahok, supaya terkesan kelompok anti Ahok tidak kompak berfusi. Bagaimanakah konstruksi politik yang sesungguhnya? Bukankah para penari politik yang memanggung pada Pilkada DKI adalah aktor-aktor politik mumpuni di negeri ini. Mereka kaya pengalaman, berjilid-jilid buku politik sudah mengisi batok kepalanya.
Trend menurunnya dukungan elektoral Ahok menjadi pemantik keberanian seteru Ahok mengotak-atik kemungkinan format politik terbaik yang hendak dirujuk untuk melawan Ahok. Berbagai optimalisasi yang dilakukan tim Ahok tidak menghasilkan dukungan politik yang signifikan. Bahkan cenderung terus menurun. Dan, kalau incumbent terlanjur mengalami trend buruk, itu alamat berbahaya baginya. Sulit sekali dipulihkan, yang ada hanya menggelinding anjlok. Inilah alasan-alasan kelompok yang anti afiliasi dengan Ahok. Dan, melorotnya dukungan terhadap Ahok, dipastikan bukan karena Ahok yang tidak muslim, tapi preferensi publik terhadap Ahok mulai bergeser. Mainan politik Ahok yang mengaduk-aduk perasaan publiklah yang membuat dukungan terhadapnya mengalami kemorosotan.
Dalil dan tanda-tanda inilah yang menjadi pijakan partai-partai di luar: PDIP, Hanura, Golkar dan Nasdem. Semula mereka hanya ingin melahirkan satu pasangan untuk menghalau Ahok. Tapi rupanya, analisa baru muncul tiba-tiba, Pilkada DKI bakal berlangsung dua putaran. Kalau perolehan Ahok di bawah 50 + 1, maka putaran kedua benar-benar akan terwujud. Kalau putaran kedua terjadi, maka salah satu pasangan yang kalah akan bersatu mengahadapi Ahok. Jika pemilih memiliki watak loyalitas yang tinggi, maka tarian politik yang pernah memanggung pada lima tahun yang lalu, akan terulang kembali. Incumbent (Foke) yang semula sangat diunggulkan, terdepak ditinggalkan pasangan Jokowi-Ahok pada putara kedua dengan meraih 53,82%.
Hitungan inilah yang menguak di kepala SBY, Prabowo dan PKS. Kalau spekulasi ini yang bakal terjadi, maka preferensi publik DKI sangat terkait dengan ketidakpuasannya terhadap elit politik yang berubah-ubah. Kenapa berubah-ubah? Karena warga DKI memliki ekspektasi yang terus menjulang, selalu berubah, dan tidak berujung. Maka tesis melahirkan aktor baru yang belum teruji sekalipun bakal laku di pasaran masyarakat DKI. Karena publik selama ini memburu harapannya seperti memburu angin, tidak pernah mereka gapai, akhirnya selalu berharap pada pemain-pemain politik baru. Dasarnya, siapa tahu orang baru itu bisa memenuhi mimpi mereka.
Apakah fenomena ini akan menjalar ke Pilkada daerah lain? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Semakin kosmopolit warga publiknya, semakin dekat dengan konstruksi yang terjadi di DKI. Namun jika sebaliknya, kalau masyarakatnya jauh dari karakteristik kosmopolitan, maka mereka justru tidak mau mengambil resiko, mereka cenderung mempertahankan status quo pemimpin yang sudah ada, ketimbang mencoba-mencoba yang baru. Tesis mereka terbalik, jangan sampai memilih orang baru, justru menyebabkan masalah baru. Kata mereka, mengharapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan, mengharapkan guntur di langit, air di tempayan dicurahkan.