Oleh Imam Mujahidin Fahmid (Dosen Universitas Hasanuddin)
Pilkada adalah media pembenihan bibit-bibit struktur kuasa formal. Bagaimana praktek merebut media struktur kuasa formal itu berlangsung? Michel Foucault, menyodorkan konsep jitu tentang relasi antara wacana, pengetahuan dan kuasa. Ketiga elemen ini menjadi alat yang ampuh untuk mereproduksi kuasa, termasuk kuasa formal, apakah itu melalui Pilkada, Pilpres atau Pemilu. Menurut Foucault, kuasa formal (kekuasaan melalui jalur pemerintah dan negara) hanya salah satu jenis kuasa. Wujud kuasa dapat beredar pada semua ruang sosial, kuasa jenis ini berkemungkinan dapat mereproduksi kuasa dan pengetahuan melalui wacana, sebagai bagian dari upaya kuasa itu sendiri untuk mendominasi dan menghegemonisasi.
Foucault tidak mengartikan kuasa sebagai “kepemilikan.” Karena kuasa bersifat kontinyu dan diskontinyu, tergantung kemampuan aktor memelihara dan mengkapitalisasinya. Jika seorang aktor yang mengontrol kuasa itu ketat mengawasinya, maka kuasa itu berpeluang untuk terus dalam genggamannya, namun jika sebaliknya, kuasa itu akan menjauh darinya. Kondisi ini disebut Foucault sebagai praktek kekuasaan; bagaimana kuasa itu dapat diterima oleh entitas tertentu, dan bisa dilihat sebagai kebenaran, dan berfungsi dalam ruang, waktu dan bidang tertentu. Itu sebabnya kuasa menurut Foucault, tidak dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup tertentu dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain.
Karena kuasa itu harus dipraktekkan, maka seseorang yang berminat pada kuasa harus memiliki pengetahuan. Menurut Foucault, kekuasaan itu terakumulasi melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya…” (Foucault,1995:27). Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melaui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif.
Kuasa yang dioperasikan secara represif dan destruktif seperti yang terjadi pada Orde Baru di Indonesia, atau di negara-negara otoriter lainnya, cenderung menyimpan “dendam sosial” dan “bom waktu” yang dapat meledak kapan saja. Proses merebut arena kuasa pada era reformasi melalui Pilkada, Pilpres dan Pemilu telah merujuk pada konsep Foucault. Hasilnya menunjukkan bagaimana kuasa tidak lagi dimiliki oleh sekelompok kecil elit tertentu. Preman yang mengontrol ruang kuasa sosial tertentu, dapat dengan mudah menjadi anggota DPRD, DPR, Bupati atau Gubernur. Bahkan mantan Walikota, mantan Gubernur, dan pengusaha bisa menembus kursi Presiden danwakil Presien. Pertanyaannya, apakah aktor yang mengontrol kuasa formal ini dapat mempertahankan kuasanya? Itu tergantung dari aktor itu memainkan relasi pengetahuan, kuasa dan wacana untuk mereproduksi kekuasaannya.
Mari kita lihat beberapa aktor seperti: Walikota Surabaya; Tri Rismaharini; Gubernur DKI Ahok, dan Bupati Bantaeng Prof. Nurdin Abdullah (sebagai kasus) yang mengontrol kuasa formal, dan melakukan upaya mereproduksi kuasanya baik untuk memperluas wilayah kuasanya, atau untuk memperpanjang masa kuasanya. Tiga aktor ini sangat populer sebagai pengontrol kuasa formal pada masing-masing areanya. Ketiganya diwacanakan memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing, dan dikonstruksikan dengan pengetahuan bahwa aktor-aktor tersebut memiliki pengetahuan dan leadership untuk terus memimpin.
Apakah ketiga-ketiganya tengah mengoperasikan konsep Foucault? Kebetulan ketiga-tiganya memiliki hasrat politik kuasa yang cukup mumpuni. Risma mau meningkat dari Walikota menjadi Gubernur, hal yang sama dengan Prof Nurdin Abdullah, dan Ahok hendak memperpanjang masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI, bahkan sudah menampakkan keinginannya untuk merebut kursi presiden di kemudian hari.
Walikota Surabaya, Risma misalnya diwacanakan sangat dekat dengan masyarakat, jujur dan sederhana. Ahok, dikenal sebagai Gubernur anti korupsi, blak-blakan, sederhana dan jujur. Sedangkan Nurdin dianggap memiliki skill untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan jagoi mendatangkan investor. Apakah wacana ini akan berhasil mengantar mereka menjadi pemegang kontrol kuasa formal.
Bagaimana ketiga aktor ini mempraktekkan konsep Foucault? Apakah dengan mempraktekkan konsep Foucault mereka dapat dengan mudah memperoleh tiket untuk menduduki kuasa yang diinginkannya? Produk utama konsep Faocault adalah bagaimana mendominasi kesadaran publik akan kebenaran yang diajukannya. Aktor-aktor ini harus mengontrol keyakinan publik bahwa yang mereka mainkan selama ini adalah kuasa kebenaran. Intinya, bagaimana kebenaran yang mereka tawarkan kepada publik dapat menghegemoni pikiran-pikiran publik. Jawabannya, jika aktor-aktor ini sungguh-sungguh mampu mempraktekkan kuasa, pengetahuan dan wacana dengan teratur, halus, tersembunyi dan produktif, akan melahirkan kebenaran yang diyakini oleh publik. Dan, mereka akan mendapatkan support dari publik untuk menjadi pengontrol kuasa formal, atau akan mendapatkan mandat publik untuk memimpin. (bersambung)