INIPASTI.COM – Menteri Sosial RI, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, menyebut kemunculan petisi yang menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai hal yang wajar dalam dinamika demokrasi. Hingga Sabtu 3 Mei 2025 petang, petisi tersebut telah mendapatkan lebih dari 5.700 tanda tangan.
Gus Ipul menanggapi pro dan kontra yang muncul sebagai bagian dari proses pembelajaran publik dalam menilai sosok tokoh bangsa.
“Sudah ada yang mendukung, ada juga yang menolak. Ini hal biasa menurut kami. Kita terima saja ini sebagai proses pembelajaran bersama. Karena yang diusulkan ini manusia, bukan malaikat. Manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan,” ujarnya saat ditemui di SMA Tamanmadya IP Tamansiswa, Kota Yogyakarta, DIY, Sabtu 3 Mei 2025.
DIlansir dilaman CNN, Petisi yang bertajuk “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!” dibuat melalui situs change.org oleh akun bernama Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025. Hingga pukul 18.38 WIB pada Sabtu 3 Mei 2025, tercatat 5.751 tanda tangan telah diverifikasi.
Gus Ipul menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk melakukan dialog dan menerima masukan dari masyarakat terkait usulan ini.
“Dialog bisa dilakukan di mana saja, termasuk dalam bentuk forum publik,” tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa proses pengusulan gelar pahlawan nasional dimulai dari masyarakat dan diajukan melalui pemerintah daerah. Nama tokoh yang diusulkan akan dikaji oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), kemudian diusulkan oleh bupati/wali kota ke gubernur. Selanjutnya, usulan tersebut diteruskan ke Kementerian Sosial dan dibahas oleh Dewan Gelar sebelum akhirnya diputuskan oleh Presiden.
Dalam petisinya, Gerakan Masyarakat Sipil menyampaikan keberatan mereka terhadap rencana pemberian gelar kepada Soeharto. Mereka menilai bahwa sepanjang 32 tahun masa kepemimpinannya, Soeharto terlibat dalam berbagai tindakan yang mencederai hak-hak rakyat.
“Selama 32 tahun kepemimpinannya, ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran berat serta penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),” tulis mereka dalam petisi.
Tiga alasan utama penolakan terhadap gelar pahlawan nasional untuk Soeharto yang disampaikan dalam petisi tersebut adalah:
Pelanggaran berat HAM, termasuk peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1982–1985, dan kerusuhan Mei 1998.
Pelanggaran hak asasi manusia secara umum selama masa kepemimpinannya.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar selama rezim Orde Baru.
Polemik ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap jasa dan rekam jejak tokoh bangsa bukanlah hal yang hitam-putih, melainkan perlu disikapi secara bijak dan terbuka dengan mempertimbangkan seluruh aspek sejarah (sdn)