Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Orang-orang yang gagal yang berani menatap kegagalan dengan kepala tegak, siap belajar dan berusaha, berusaha dan belajar lagi! Bangkit dan bangkit lagi adalah mereka yang telah siap menjadi dewasa dan sukses secara utuh” (Andrie Wongso)
Dunia berkembang karena riset. Karya Copernicus (1473-1543) “De Revolutionibus Orbium Caelestium,” yang dikembangkan Galileo Galilei (1564-1642) dan Johannes Kepler (1571-1630) telah menimbulkan revolusi ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dengan implikasi yang sangat jauh dan mendalam. Versalinus (1514-1564) dengan karyanya ”De Humani Corponis Fabrica” telah melahirkan pembaruan persepsi dalam bidang anatomi dan biologi.
Isaac Newton (1642-1727) melalui ”Philophiae Naturalis Principia Mathematica” menyumbangkan bentuk definitif bagi mekanika klasik. Francis Bacon (1561-1626) terkenal dengan semboyan knowledge is power, berpendapat manusia harus berusaha sendiri memecahkan masalah dalam hidupnya.
Segala Sesuatu Harus Diragukan
Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan ungkapan ”Je pense donc je suis” atau ”cogito ergo sum” atau aku berpikir, maka aku ada, meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern dengan observasi dan percobaan. Ia memunculkan perasaan skeptik, rasional, bahwa segala sesuatu harus diragukan. Lahirlah kemudian analisis logis dan metode ilmiah. Pemikiran-pemikiran tentang riset terus berkembang dari zaman ke zaman. Pengaruh corak metode ilmu-ilmu alam terhadap ilmu sosial pun makin nyata sejak kehadiran Auguste Comte (1798-1857) dengan karyanya ”Cours de Philosophie Positive” (1855).
Manusia sering berselimutkan ragu terhadap sesuatu, termasuk sesuatu yang diragukan itu adalah sebuah kebenaran yang bersifat dogmatis—pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan, bahkan kebenaran religious—kebenaran wahyu—kebenaran yang diterima melalui informasi wahyu ilahi, yang mempunyai kadar kebenaran yang absolut.
Malah Jujun S. Suriasumantri (1996) melukiskan hal tentang “ragu” ini dengan sebuah kisah sebagai berikut. “De omnibus dubitandum !” Segala sesuatu harus diragukan desak Rene Descartes. Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu, bahkan juga Hamlet si peragu, yang berseru kepada Ophelia : Ragukan bahwa bintang-bintang itu api / Ragukan bahwa matahari itu bergerak / Ragukan bahwa kebenaran itu dusta / Tapi jangan ragukan cintaku.
Ini sebagai manifestasi insan berpikir-analitik-kreatif, yang selalu diawali dengan “ragu”. Kreativitas seseorang termasuk dalam mencari kebenaran ilmu, bermuara pada pengembangan cakrawala berpikir, memperkaya pengalaman, serta melatih kepekaan akan sesuatu kebenaran, yang anti-klimaksnya menetaskan karya-karya produktif di bidang ilmu pengetahuan.
Guru sebagai Periset
Menjadi guru peneliti adalah sebuah strategi dalam pengembangan kompetensi guru sebagai pelaku perubahan seperti yang diamanatkan dalam kurikulum merdeka. Menjadi guru yang gemar melakukan tindakan riset atau penelitian merupakan aktualisasi nyata keberadaan diri sebagai pelaku perubahan.
Peran guru dalam pembelajaran, begitu multi-variasi, mulai dari guru sebagai pendidik, sebagai pengajar, sebagai pembimbing, sebagai pelatih, sebagai penasehat, sebagai pembaharu (innovator), sebagai model dan teladan, sebagai pribadi, sebagai pendorong kreativitas, sebagai pembangkit pandangan, sebagai pekerja rutin, sebagai pemindah kemah, sebagai pembawa cerita, sebagai aktor, sebagai emansipator, sebagai evaluator, sebagai pengawet, sebagai kulminator, sampai dengan guru sebagai peneliti atau periset.
”Penelitian sering diasosiasikan dengan sebuah pekerjaan yang terelaborasi dan tersistematisasi dengan baik, yang mengandaikan keahlian dan pelatihan khusus. Karena itu, guru jarang memiliki pemikiran bahwa penelitian tindakan kelas itu sebenarnya merupakan bagian esensial dari kinerjanya sebagai guru” (Albertus, 2009, 173). Sebenarnya, menjadi guru tak lain adalah menjadi peneliti.
Riset bisa menjadi sumber informasi berharga untuk memahami strategi mengajar. Kita semua mendapatkan banayak pelajaran dari pengalaman kita sendiri. pengalaman bisa membuat Anda menjadi guru yang efektif. Selain itu, riset yang memberikan informasi yang valid tentang cara terbaik untuk mengajar bisa membuat Anda menjadi guru yang lebih baik. Itulah pentingnya adanya riset bagi seorang guru.
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang di dalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Dia tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu, oleh karena itu dia sendiri merupakan subyek pembelajaran. Dengan kesadaran bahwa ia tidak mengetahui sesuatu maka ia berusaha mencarinya melalui kegiatan penelitian. Usaha mencari sesuatu itu adalah kebenaran, seperti seorang ahli filsafat yang senantiasa mencari dan menemukan dan mengemukakan kebenaran.
Begitu masuk kelas, guru sebenarnya langsung terlibat penelitian kelas (classroom inquiry). Guru mendengarkan, mengamati, membuat hipotesis, dan menganalisis situasi kelas (kesiapan siswa menerima pelajaran, menjelaskan di mana proses belajar yang telah mereka lalui dan sedang mereka pelajari, dan lainnya). Dari sini guru diajak untuk senantiasa mengevaluasi kinerja pengajarannya di sekolah. Hal terpenting yang menjadi sasaran penelitian tindakan kelas adalah dampaknya bagi perkembangan proses belajar-mengajar di kelas, bukan terutama demi penemuan baru atau publikasi.
Ciri Guru Periset
Seperti apa guru periset itu? Saat merencanakan cara pengajaran, pikirkan murid-murid kita. Lalu, ingatlah lagi kelas kita pekan lalu. Kita mungkin mencatat, ada satu murid yang kinerjanya menurun. Saat kita melakukan langkah-langkah sistematis berdasar metode ilmiah untuk mencari tahu mengapa ada murid yang punya problem seperti itu, sesungguhnya kita sudah menjadi guru periset.
Sebagai seorang profesional, guru setidaknya memiliki tiga tugas penting yang meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Pertama, mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup; kedua, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan; dan ketiga, melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Untuk mendukung tugas-tugasnya tersebut, guru dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan belajar baik dari pustaka rujukan maupun dari pengalaman. Pengalaman inilah yang merupakan sumber pengetahuan yang dapat ditelusuri dan diuji kelayakannya kembali melalui riset.
Seorang guru yang periset berarti dapat melakukan studi sendiri untuk meningkatkan praktik mengajarnya. Riset bisa menjadi sumber informasi berharga untuk memahami strategi mengajar. Riset berdasarkan pengalaman bisa membuat guru menjadi lebih efektif dalam proses pembelajaran. Selain itu, riset yang memberikan informasi yang valid tentang cara terbaik untuk mengajar bisa membuat guru menjadi lebih baik (D. Ipung Kusmawi, 2014).
Riset yang dilakukan oleh seorang guru tidak berbeda dengan riset ilmiah pada umumnya yang bersifat objektif, sistematis, dan dapat diuji kebenarannya. Objektif berarti melaksanakan dan mendapatkan hasil sesuai dengan riset, sistematis berarti riset tersusun secara tepat dan lengkap, dan hasil riset bisa dipertanggungjawabkan dengan fakta dan data yang ada. Riset ini juga dilandaskan pada metode ilmiah, yakni sebuah pendekatan yang dapat dipakai untuk menemukan informasi yang akurat. Pendekatan ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu: merumuskan masalah, mengumpulkan data, menarik kesimpulan, serta merevisi kesimpulan dan teori riset.
Ketika sedang mengajar, riset dapat dilakukan oleh seorang guru dengan mencatat segala situasi dan kondisi yang terjadi di dalam kelas. Riset ini mencakup berbagai kriteria penilaian seperti jumlah kehadiran siswa, keaktifan setiap siswa dalam pembelajaran, grafik kinerja setiap siswa, atau kemampuan daya serap setiap siswa dalam memahami materi yang telah dipelajari. Untuk mendapatkan informasi/hasil riset, guru bisa menggunakan metode observasi partisipan, wawancara, atau studi kasus. Salah satu teknik yang banyak dipakai adalah wawancara klinis. Tekhnik ini dilakukan dengan membuat siswa merasa nyaman dalam mengungkapkan keyakinan dan harapan, lalu guru mengajukan pertanyaan dengan lembut dan tidak menuntut.
Pada saat tidak mengajar, guru dapat melakukan riset dengan mengadakan penilaian hasil pembelajaran. Penilaian hasil belajar ini ditekankan pada proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa, bukan dalam hal mengukur pada hasil semata. Bentuk penilaian yang dianjurkan dalam pembelajaran efektif adalah penilaian sebenarnya (authentic assessment). Penilaian yang mengukur semua aspek pembelajaran, meliputi penilaian proses, kinerja, dan produk. Hasil dari semua riset yang telah dilakukan tersebut bisa dijadikan sebagai pedoman untuk mengukur proses pembelajaran berikutnya. Saat melakukan langkah-langkah sistematis berdasar metode ilmiah untuk mencari tahu hasil dari berbagai hal tersebut, sesungguhnya guru sudah menjadi guru periset.
Guru periset berarti dapat melakukan studi sendiri untuk meningkatkan praktik mengajarnya. Itu adalah perkembangan riset aksi (penelitian tindakan kelas) yang penting. Beberapa pakar pendidikan percaya, penekanan guru sebagai periset akan memperluas peran guru, mengembangkan sekolah, serta meningkatkan proses mengajar dan proses belajar siswa (Cochran-Smith & Lytle, 1990; Gill, 1997).
Guru kelas dapat melakukan riset sendiri untuk meningkatkan mutu praktik pengajaran mereka. Caranya: saat guru merencanakan cara pengajaran, pikiran tentang murid-murid kita akan pikirkan siapa saja yang mungkin akan mendapatkan banyak manfaat dari peran guru sebagai guru periset; ambil kursus metode riset pendidikan; manfaatkan perpustakaan dan sumber daya internet untuk mengetahui lebih banyak tentang keahlian guru periset; dan mintalah orang lain (misalnya rekan guru) untuk mengamati kelas dan membantu kita menyusun strategi untuk riset problem tertentu yang ingin dipecahkan.
Budaya Riset
Riset adalah suatu cara sistematik untuk maksud meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan pengetahuan yang dapat disampaikan (dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi) oleh peneliti lain. Pada dasarnya riset adalah setiap proses yang menghasilkan ilmu pengetahuan (Fellin, Tripodi dan Meyer dalam Usman, 2008). Clifford Woody mengartikan riset adalah suatu pencarian yang dilaksankan dengan teliti untuk memperoleh kenyataan-kenyataan atau fakta atau hukum-hukum baru. Di dalamnya terdapat usaha dan perencanaan yang sungguh-sungguh yang relatif makan waktu yang cukup lama (Usman, 2008).
Budaya riset merupakan struktur yang memungkinkan seorang peneliti menghasilkan, mengkomunikasikan dan memahami ilmu pengetahuan baru. Budaya penelitian juga merupakan salah satu tahapan, yang diperlukan bagi seorang calon peneliti atau akademisi memperkenalkan diri kepada dunia publikasi (Stephen Mines dalam Urip Santoso, 2012).
Kemudian, apa yang perlu diperhatikan seorang peneliti dalam menciptakan budaya riset? Stephen menjelaskan bahwa seorang peneliti penting untuk menentukan harapan dan dukungan, menyeimbangkan harapan (sebagai contoh: mengajar, administrasi dan penelitian), group membaca, dukungan dan dorongan dari teman, menulis review, program seminar, melakukan presentasi di konferensi, mempublikasikan karya tulis ilmiahnya, mencoba menentukan penghalang dan peluang dalam penelitian, peran dari sebuah pernyataan, kinerja yang diharapkan, pengajaran yang diharapkan, training keterampilan penelitian, bahan kepustakaan dan keterampilan, waktu, penyebaran hasil penelitian, serta mempersiapkan diri dari segi bahasa (Stephen Mines dalam Urip Santoso, 2012).
Penyebab Guru Malas Melakukan Riset
Tindakan melakukan riset saat ini masih terasa asing di telinga guru. Kalau kita mendengar istilah riset, spontan yang kita bayangkan adalah para profesor di universitas yang melakukan penelitian di laboratorium atau mengadakan penelitian di lapangan dengan metode ilmiah yang rumit dan kompleks, menggunakan data-data statistik yang seringkali sulit untuk dipahami. Tindakan seperti ini sering dianggap bukan bagian dari kinerja guru.
Padahal, begitu guru masuk dalam kelas, guru sudah terlibat dalam proses penelitian/analisis kelas (classsroom inquiri). Guru mendengarkan, mengamati, membuat hipotesis, dan menganalisis situasi kelas (kesiapan anak didik menerima pelajaran, menjelaskan di mana proses belajar yang telah mereka lalui dan yang sedang mereka pelajari, dan lain-lain). Dengan tindakan pengamatan dalam kelas ini, guru mengharapkan ada perubahan dan perbaikan dalam kualitas pembelajaran di kelas.
Virus kemalasan terkadang menjadi penyebab utama guru malas atau enggan meneliti. Padahal, riset yang kemudian tertuang dalam bentuk penulisan ilmiah merupakan syarat kenaikan pangkat atau golongan bagi guru PNS. Tak mengherankan jika banyak guru PNS yang terhenti pada golongan IVa.
Selain lemah dalam menulis dan belum adanya budaya menulis di kalangan guru, meneliti juga merupakan sesuatu yang belum menjadi budaya di kalangan guru. Meneliti sering hanya diasumsikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki seorang ilmuwan. Padahal sebagai tanggung jawab profesi yang dimilikinya, maka seorang guru mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya, mengasah atau bahkan menambahnya melalui kegiatan penelitian. Topik penelitian yang memungkinkan seorang guru untuk diangkat adalah tentang apa yang dia lakukan di kelas, permasalahan yang mengemuka di kelas, dan inovasi yang dilakukannya terhadap pembelajaran di kelas.
Budaya meneliti di lembaga pendidikan kita sangatlah lemah. Para pendidik tidak terbiasa meneliti. Hal ini juga dikarenakan lemahnya budaya menulis dan membaca di lingkungan pendidik itu sendiri. Secara jujur harus diakui, budaya meneliti di kalangan pendidik belum tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa budaya meneliti di kalangan pendidik termasuk “lemah” dan tertinggal dalam dinamika dunia pendidikan kita. Lemahnya budaya meneliti di kalangan pendidik bisa dilihat berdasarkan minimnya jumlah guru golongan IV-a yang mampu melaju mulus ke golongan IV-b. Hal itu bisa terjadi karena untuk bisa “menikmati” golongan IV-b, seorang guru wajib mengumpulkan angka kredit pengembangan profesi sebanyak 12 point.
Andaikan para pendidik mau meneliti, tentu akan banyak khasanah ilmu pendidikan muncul. Akan banyak media pembelajaran baru yang diciptakan oleh pendidik, dan akan banyak pula metode pembelajaran beragam yang diterapkan di kelas-kelas mereka dalam menyampaikan materi pelajarannya.
Budaya meneliti di kalangan guru belum tercipta. Guru masih terikat pada rutinitas mengajar di kelas. Bahkan, guru memang sudah lelah melakukan aktivitas itu. Tugas yang relatif banyak tidak menguntungkan bagi guru. Guru sudah lelah dan tidak bisa menuangkan kreativitasnya.
Para pendidik harus menyadari bahwa mereka belum mempunyai budaya reflective teaching, sehingga wajar saja bila budaya meneliti kita masih lemah dibandingkan dengan negara tetangga kita.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru belum melakukan penelitian, khususnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di dalam proses pembelajarannya di sekolah. Faktor-faktor tersebut menurut Ririn Dwi Astuti (2009) sebagai berikut.
Pertama, guru kurang memahami profesi guru. Di dunia ini hanya ada dua profesi. Profesi guru dan bukan guru. Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Para guru hendaknya menyadari profesi mulia ini. Guru harus dapat memahami peran dan fungsi guru di sekolah. Guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmunya dengan baik, tapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberikan tauladan kepada anak didiknya. Anak didik kita butuh figur untuk menjadi tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan tapi juga tindakan. Apakah kita sudah menjadi tauladan untuk anak didik kita?
Profesi guru adalah profesi yang bukan hanya mulia di mata manusia, tetapi juga di mata Tuhan. Profesi ini sangat menjanjikan untuk mereka yang berhati mulia. Karena itu guru harus dapat mengajar dan mendidik dengan hatinya agar dapat menjadi mulia. Hati yang bersih dan suci akan terpancar dari wajahnya yang selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Sopan, Senyum, Sabar).
Kedua, guru malas membaca. Saat ini kita melihat banyak guru yang malas membaca. Padahal dari membaca itulah akan terbuka wawasan yang luas dari para guru. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Coba kita lihat di perpustakaan sekolah. Terlihat sekali banyak guru yang jarang pergi ke perpustakaan. Ini nyata, dan terjadi di sekolah kita. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Guru harus melawan kebiasaan malas membaca. Ingatlah dengan membaca kita dapat membuka jendela dunia. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca, otaknya persis seperti komputer atau ibarat google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar. Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara bicara dan menyampaikan pengajarannya.
Ketiga, guru malas menulis. Bila guru malas membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis, mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan lagi dalam gaya bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering diasah, maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya. Menulis untuk hidup, hidup untuk menulis. Bagi mereka yang sudah terbiasa menulis, pasti matang akan pengalamannya. Proses menulis tidaklah sekali jadi. Guru harus sering berlatih untuk menulis. Tulisan yang enak dibaca dimulai dari proses menulis itu. Kemampuan guru menulis baik, bila tulisannya layak untuk dibaca banyak orang. Bermakna dan mempunyai daya tarik tersendiri.
Keempat, guru kurang sensitif terhadap waktu. Orang barat mengatakan bahwa waktu adalah uang atau time is money. Bagi guru waktu lebih dari uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang tajam yang dapat membunuh siapa saja termasuk pemiliknya. Pedang yang tajam bisa berguna untuk membantu guru menghadapi hidup ini, namun bisa juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan. Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Detik demi detik waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik. Orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang pandai memanage waktu dengan baik. Waktunya benar-benar sangat berharga dan berkualitas. Setiap waktu terprogram dengan baik. Tak ada waktu yang terbuang percuma.
Kelima, guru terjebak dalam rutinitas kerja. Kesibukan kerja setiap hari menjadi rutinitas yang tiada henti. Guru harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai guru terjebak sendiri dengan rutinitasnya yang justru tidak menghantarkan dia menjadi guru yang baik dan menjadi tauladan anak didiknya. Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya: pandai mengatur waktu dengan baik, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru pasif bukan aktif. Hari-harinya diisi hanya untuk mengajar saja. Dia tidak mendidik dengan hati. Waktunya di sekolah hanya sebatas sebagai tugas rutin mengajar yang tidak punya nilai apa-apa. Guru hanya melakukan transfer of knowledge. Tidak mau tahu dengan lingkungan dan kondisi sekolah apalagi kondisi siswa. Dia mengganggap pekerjaan dia adalah karirnya, karena itu dia berusaha keras agar yang dilakukannya bagus di mata pimpinannya atau kepala sekolah. Tak ada upaya untuk keluar dari rutinitas kerjanya yang sudah membosankan. Bahkan sampai saatnya memasuki pensiun.
Keenam, guru kurang kreatif dan inovatif. Merasa sudah berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Program Pembelajaran yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekadar copy paste tanggal dan tahun saja. Rencana program pembelajaran tinggal menyalin dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah atau menyontek dari guru lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses kreatif menjadi tidak jalan. Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan kemauan untuk melakukan inovatif yang terus-menerus, tiada henti. Guru yang kreatif adalah guru yang selalu bertanya pada dirinya sendiri. Apakah dia sudah menjadi guru yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak didiknya mengerti dengan apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri. Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia ciptakan dalam proses pembelajarannya. Dia selalu belajar sesuatu yang baru, dan merasa tertarik untuk membenahi cara mengajarnya. Guru tidak akan pernah menemukan proses kreativitas bila cara-cara yang digunakan dalam mengajar adalah cara-cara lama. Sekarang ini, sulit sekali mencari guru yang kreatif dan inovatif. Kalaupun ada jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari. Guru sekarang lebih mengedepankan penghasilan daripada proses pembelajaran yang kreatif. Benarkah?
Ketujuh, guru malas meneliti. Paling sering kita dengar bahwa guru malas untuk meneliti. Setiap tahun pemerintah maupun swasta melakulan lomba karya tulis ilmiah untuk para guru, dengan harapan guru mau meneliti. Namun, hanya sedikit guru yang memanfaatkan peluang ini dengan baik. Padahal ini sangat baik untuk guru berlatih menulis, dan meyulut guru untuk meneliti. Dari meneliti itulah guru akan tahu pembelajarannya. Penelitian diselenggarakan untuk memperbaiki hal-hal yang telah dilakukan agar menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang baru. Guru yang terbiasa neneliti, akan segera memperbaiki kinerjanya yang tidak baik. Sebenarnya meneliti itu tidak sulit. Kesulitan itu sebenarnya berasal dari guru itu sendiri. Guru malas untuk meneliti. Mengapa? Karena guru menganggap tugas meneliti itu adalah bukan tugasnya. Tugas guru hanya mengajar. Meneliti adalah tugas mereka yang ingin naik pangkat atau mendapatkan gelar sarjana. Kalau sudah kepepet barulah guru mau meneliti, misalnya kalau ingin naik pangkat dari golongan IVa ke IVb. Guru harus dan wajib meneliti dan memberikan laporan ilmiahnya. Kalau tidak, maka pangkatnya tidak akan naik. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa guru golongan IVa sudah banyak, dan guru golongan IVb masih sangat sedikit. Banyak guru yang mengalami kesulitan dalam meneliti dan melaporkan hasil penelitiannya. Sehingga banyak guru yang terperangkap untuk tidak naik pangkat, karena tidak terbiasa meneliti.
Kedelapan, guru kurang memahami PTK. Kenyataan yang ada banyak guru yang kurang memahami penelitian tindakan kelas atau PTK. Guru menganggap PTK itu sulit. Padahal PTK itu tidak sesulit apa yang dibayangkan. PTK dilakukan dari keseharian kita mengajar. Tidak ada yang sulit, semua dilakukan dengan mudah sebagaimana keseharian kita mengajar di kelas. Guru hanya perlu merenung sedikit dari proses pembelajarannya. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Semoga !!!