Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Wajah pendidikan akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan abal-abal. Maka dari itu, jadilah guru revolusioner, bukan guru abal-abal. Guru abal-abal adalah mereka yang hanya berorientasi pada “recehan” belaka, mengajar tanpa mendidik, serta hanya memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bangi siswa di sekolah (Wijayanti, 2013).
Salah satu syarat untuk menjadi guru revolusioner, yakni guru itu harus bebas dan merdeka. Sejatinya pendidikan itu diarahkan untuk memerdekakan. Namun kini pendidikan dilakukan dalam situasi ketakutan. Maka dunia pendidikan menjadi dunia yang ‘pilek’, tak berani menyuarakan kemerdekaan (Woghe, 2010).
Mengapa? Karena guru terbelenggu. Dua sebab yang menjadikan guru terbelenggu adalah kungkungan tradisi dan sistim pendidikan (Woghe, 2010).
Woghe (Theofilus Woghe, 2010) memerinci ciri-ciri guru yang merdeka, yaitu: pertama, guru yang bebas dari: (1) rasa takut, (2) ingin menjadi seperti, (3) ketergantungan kepada pihak lain. Kedua, guru yang bebas untuk: (1) mencari kedalaman diri, (2) mengambil bukan hanya kesimpulan tetapi kedalaman dan kearifan, (3) mengembangkan kedalaman tugasnya, (4) mengembangkan profesinya, (5) mengemukakan pendapat dan berorganisasi, (6) menjaga harga diri, dan (7) memberdayakan.
Belenggu tradisi dan sistem pendidikan membuat guru terbelenggu. Guru menjadi tidak merdeka. Guru ketakutan untuk dinilai, untuk selalu dianggap berhasil, untuk patuh kepada atasannya.
Guru Revolusioner
Revolusioner yaitu cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar.
Revolusioner berasal dari kata revolusi, yang berarti perubahan mendasar secara spontan, cepat, bersifat struktural; dari sisi pengertian seperti ini maka makna yang dapat ditangkap dari kata revolusi adalah sebuah perubahan yang bersifat sporadis, cepat dan strategis (Denie, 2007).
Gerakan revolusi mental, salah satu muara akhirnya adalah terciptanya guru revolusioner.
Secara sederhana, guru revolusioner diartikan sebagai guru yang selalu berorientasi kepada perubahan yang mendasar, radikal, dan menyeluruh, baik sikap, pikiran maupun watak. Guru revolusioner menurut Widodo (2006) adalah mereka yang cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar. Idiom revolusioner yang dimaksudkan hampir sama dengan pendapat Ali Syariati (1933-1977) tentang Rausyanfikr (intelektual yang tercerahkan).
Dadan Supratman (2014) menyatakan guru revolusioner bisa diartikan sebagai intelektual pencerah yang memiliki dialektika, kritis, membebaskan pendidikan dari zona nyaman dan aman. Mereka paham detail tentang paradigma didik dan paradigma ajar. Pasalnya, selama ini masih banyak pendidikan yang belum 100 persen melakukan substansi pendidikan.
Idiom revolusioner hampir sama dengan Ahsan Takwim, Insan Kamil, Raunsyafikr, Ulul Albab, Uberman, manusia super, unggul, hebat, dan sebagainya (Hamidulloh Ibda dan Dian Marta Wijayanti, 2014), dan berikut penjelasannya.
Pertama, ahsan takwim. Artinya manusia sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Tuhan. Abu Muflihaturrofi (2011) menjelaskan konsep ini sebagai manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan juga syarat untuk bisa menjalani kehidupannya. Ahsan Takwim bukan berkaitan dengan persoalan estetika, cantik, tampan, langsing, atletis dan sejenisnya.
Kedua, insan kamil. Berarti “manusia sempurna” dari perspektif tasawuf (Ulfa, 2009).
Ketiga, raunsyafikr. Menurut Ali Syariati (1933-1977) adalah intelektual yang tercerahkan. Rausyanfikr substansinya sepadan dengan revolusioner. Jalaludin Rakhmad (1992) menjelaskan tidak semua orang yang tercerahkan adalah intelektual, dan tidak semua intelektual peraih gelar akademis adalah orang yang tercerahkan. Maksud “tercerahkan” atau “rausyanfikr” adalah orang yang sangat sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatan yang memberinya rasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata dan kerdil. Mengapa demikian? Karena hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Peranan yang dimainkan Rausyanfikr berbeda dengan peranan filosof. Seorang filosof, Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe kesadaran dan keyakinan seperti di atas.
Aristoteles bukan seorang Rausyanfikr, karena dia tidak memprakarsai gerakan sosial atau revolusi satupun di masyarakat dan zamannya saat itu, di samping tidak pernah membangkitkan kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta masyarakat mereka.
Keempat, ulul albab. Muhammad Quraish Shihab (2009) menjelaskan al-Alba adalah bentuk jamak dari kata “lub” yaitu “sari pati” sesuatu. Secara sederhana, Ulul Albab adalah manusia pilihan, istimewa, intelektual. Kelima, Ubermen atau Ubermensch merupakan gagasan Nietzsche tentang manusia super (superman) atau sering juga dibahasakan sebagai manusia unggul (Nanuru, 2014). Kita tahu, selama ini sudah banyak para pemikir atau filsuf yang mengemukakan pemikiran-pemikiran mereka tentang manusia revolusioner, baik itu para filsuf Barat maupun Timur, Yunani Kuno maupun Modern sampai Post-Modern. Semua pemikiran filsafat mereka selalu dimulai dengan pandangan tentang apa, siapa dan bagaimana manusia revolusioner itu. Hal itu disebabkan karena manusia menjadi subjek dari seluruh pengetahuan tentang diri dan dunianya.
Apa pun nama atau idiom yang digunakan dan dijadikan rujukan tentang guru revolusioner, tentu muaranya pada perubahan menyeluruh dan mendasar. Guru revolusioner selalu dan cenderung berorientasi pada perubahan mendasar dan menyeluruh.
Revolusioner lahir dari sikap hidup guru sehari-hari yang dapat membentuk pola pikir, kebiasaan, disiplin dan tindakan dalam keutamaan hidup. Bukan merujuk pada sikap yang penuh emosi, tanpa perhitungan, melainkan sebaliknya, yakni lahir dari kesabaran dan visi yang mendalam, yang berakar pada rutinitas hidup sehari-hari.
Revolusi Mental dan Sikap Guru
Arti sederhana dari revolusi mental yakni perubahan mental secara cepat, besar, serta radikal. Bukan perubahan evolusi atau lambat. Menarik tulisan Y. Lahajir (Usman, 2023), yang mengupas tentang tipe sikap (attitude) guru dalam merespons fenomena dan dinamika perubahan sosio-edukatif dalam konteks komunitas sekolah di mana ia berkarya, termasuk yang berwujud revolusi mental. Perubahan adalah dinamika dari kondisi X menjadi kondisi Y. Perubahan yang disoroti adalah bidang sosio-pendidikan sekolah. A Hargreaves dan M Fullan, dalam bukunya Understanding Teacher Development (1992) berkesimpulan tingkat kedewasaan karakter guru sangat mempengaruhi sikapnya terhadap berbagai perubahan sosio-edukatif yang dihadapinya setiap hari, baik di dalam maupun di luar lingkungan komunitas sekolahnya. Haruskah para guru terjebak dalam kepungan dinamika perubahan yang multi dimensional?
Pada umumnya ada tiga kategori sikap guru terhadap perubahan sosio-edukatif (perubahan yang terkait dengan pendidikan/sekolah), yaitu sikap konservatif, liberal dan moderat. Dari ketiga kategori sikap guru ini lahirlah tipe guru yang konservatif, guru yang liberal, dan guru yang moderat (Usman dan Abdul Kadir, 2022).
Pertama, guru yang konservatif biasanya berpegang teguh pada tradisi (guru, sekolah, pendidikan) yang konvensional. Sikap konservatif guru menunjukkan pada tingkah laku guru yang lebih mengarah pada mempertahankan cara yang biasa dilakukan dari waktu ke waktu dalam melaksanakan tugas, atau ingin mempertahankan cara lama (konservatif), mengingat cara yang dipandang baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan dalam pola-pola kerja. Guru-guru yang masih memiliki sikap konservatif, memandang bahwa tuntutan semacam itu merupakan tambahan beban kerja bagi dirinya. Guru-guru semacam ini biasanya mengaitkan tuntutan itu dengan kepentingan diri sendiri semata-mata, tanpa memperdulikan tuntutan yang sebenarnya dari hasil pelaksanaan tugasnya.
Tumbuhnya sikap konservatif di kalangan guru, diantaranya dikarenakan oleh adanya pandangan yang dimiliki guru yang bersangkutan tentang mengajar. Guru yang berpandangan bahwa mengajar berarti menyampaikan materi pembelajaran, cenderung untuk bersikap konservatif atau cenderung mempertahankan cara mengajar dengan hanya sekadar menyampaikan materi pembelajaran. Sebaliknya, guru yang berpandangan bahwa mengajar adalah upaya memberi kemudahan belajar, selalu mempertanyakan apakah tugas mengajar yang dilaksanakan sudah berupaya memberi kemudahan bagi peserta didik untuk belajar. Guru demikian biasanya selalu melihat hasil belajar peserta didik sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas. Hasil belajar peserta didik dijadikan balikan untuk menilai keberhasilan dirinya dalam mengajar. Berdasarkan balikan itu selalu diupayakan untuk memperbaiki, sehingga kualitas atau mutu keberhasilannya selalu meningkat. Para guru sepatutnya menyadari, bahwa menduduki jabatan profesional sebagai guru, tidak semata-mata menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana adanya, tetapi juga memperdulikan apa yang seharusnya dicapai dari pelaksanaan tugasnya. Dengan adanya kepedulian terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam melaksanakan tugas, dapat diharapkan tumbuh sikap inovatif, yaitu kecenderungan untuk selalu berupaya memperbaiki hasil yang selama ini telah dicapai, sehingga tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya selalu dilaksanakan dan diupayakan untuk selalu meningkat.
Kedua, guru yang liberal biasanya mengikuti arus perubahan zaman dan cenderung bersikap serba kritis terhadap tradisi (guru, sekolah, dan pendidikan), yang konvensional. Liberal adalah suatu paham yang menghendaki kebebasan individu di segala bidang. Kata liberal sendiri diambil dari bahasa Latin, liberal artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berpikir (the old liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.
Kaitan dengan guru, sikap liberal ini identik dengan salah satu kode etik profesi guru.Meminjam istilah Noegroho Notosoesanto, seorang tenaga profesi sebagai dosen, dan guru besar, yaitu memiliki kebebasan akademik dan kebebasan mimbar. Dengan kebebasan inilah, profesionalisme tenaga pendidikan dapat diaktulisasikan secara optimal.Seorang guru memiliki kebebasan mimbar. Artinya, di setiap forum, guru memiliki hak untuk mengemukakan pandangan-pandangannya sesuai dengan paradigma berpikirnya sendiri. Dengan kata lain, seorang guru memiliki hak untuk menggunakan kelas sebagai ruang ekspresi pemikirannya tanpa harus dikendalikan oleh kepala sekolah atau kepala kementrian sekalipun.
Kebebasan akademik guru adalah mrenyampaikan pandangan mengenai materi ajar, dan/atau interprestasi terhadap fenomena kehidupan sesuai dengan paradigma keilmuannya. Seorang guru adalah seorang profesional. Pola pikir dan produk pemikirannya tidak boleh dikekang. Pengekangan pemikiran kelompok guru ini, bukan saja bertentangan dengan etika profesi, tetapi juga melanggar prinsip demokrasi pendidikan, atau hak kebebasan berpikir.
Kebebasan mimbar dan kebebasan akademik berpikir, merupakan hak asasi yang perlu dilindungi dalam pengembangan profesi guru atau tenaga pendidik. Mustahil profesi ini akan berkembang dengan baik, jika ada pengekangan terhadap tradisi berpikir. Apa pun interpretasi kita terhadap hal ini, namun hal yang pasti bahwa kebebasan berpikir itu merupakan salah satu hak asasi manusia, khususnya hak asasi seorang guru.
Guru-guru yang ekstrim biasanya tergolong juga ke dalam tipe guru yang liberal ini.
Terakhir, guru moderat biasanya mengambil jalan tengah, artinya tidak konservatif dan tidak liberal. Dia selalu mengambil hal-hal positif dari kubu guru konservatif dan guru liberal, kemudian memadukannya sedemikian rupa menjadi kebijakan edukatif yang rasional dan relevan bagi kemajuan komunitas sekolahnya. Tak heran, dari kalangan guru yang moderat ini muncul para kepala sekolah. “Moderat” artinya tidak berlebihan (ekstrim) dalam menjalankan tugas. Moderat, sebuah kata yang dikenal dalam kamus bahasa Indonesia sebagai sikap selalu menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Sikap moderat guru adalah sikap tengah-tengah antara tindakan yang melampaui batas dan tindakan menyia-nyiakan.
Seorang guru idealis, cenderung memilih bersikap ugahari (moderat) dan menerima realitas tegangan antara beragam pandangan. Setiap pandangan terlebih dulu disimak secara kritis; ditimbang sisi positif dan negatifnya, kekuatan dan kelemahannya serta realistis atau tidaknya gagasan itu.
Guru moderat, pasti pendidik, pengajar dan pembimbing, yang memiliki kematangan atau kedewasaan pribadi. Minimal ada tiga ciri kedewasaan: pertama, orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Kedua, orang dewasa adalah orang mampu melihat segala sesuatu secara obyektif. Tidak banyak dipengaruhi oleh subjektivitas dirinya. Dan ketiga, seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi sisi lain dari kebebasan ada tanggung jawab. Dia bebas menentukan arah hidupnya, perbuatannya, tetapi setelah berbuat ia dituntut tanggung jawab. Guru harus terdiri atas orang-orang yang bisa bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Ciri-ciri guru yang moderat yang dikutip dari buku Konsep Wasathiyah dalam Alquran karya Afrizal Nur dan Muchlis (Munip, 2022). Pertama, sebagai pendidik, hendaknya guru senantiasa mengambil jalan tengah (tawassuth). Artinya tidak terlalu berlebihan, juga tidak terlalu mempersempit diri. Kedua, tawazun (berkeseimbangan), yakni tidak hanya terfokus pada dunia saja atau pada akhirat saja. Ia mengutip hadist yang mengurai tentang anjuran bagi manusia untuk berlomba mengejar akhirat seolah akan mati besok, namun juga diimbangi dengan semangat mengejar dunia seolah akan hidup selamanya. Ketiga adalah i’tidal, yaitu lurus dan tegas. Konteks ketegasan ini harus bersifat proporsional dalam aspek apa pun. Tasamuh (toleransi) sebagai ciri yang keempat. Menurutnya, toleransi sangatlah penting terlebih di Indonesia terdapat beragam agama dan suku bangsa sehingga perlu saling menghargai. Kelima adalah musawah atau egaliter, yaitu tidak bersifat diskriminatif, tidak merasa sebagai kelompok yang paling bena.
Ciri keenam yang dimiliki oleh guru moderat adalah senantiasa mengedepankan musyawarah (syura). Ketika ada persoalan dalam konteks pembelajaran di kelas, tidak boleh berpendapat bahwa guru adalah pendapat yang paling benar. Ketujuh, seorang guru moderat senantiasa mengedepankan ishlah (reformasi). Yaitu mengutamakan prinsip untuk mencari sesuatu yang baik (maslahat) yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan jaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (maslahah ammah). Ciri kedelapan adalah aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasikan hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan kepentingan yang lebih rendah. Ciri yang kesembilan, yakni tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif). Seorang guru yang memiliki sikap moderat, dia selalu dinamis. Nilai kepentingan dinamis itu adalah untuk melihat keterbukaan terjadinya perbedaan pendapat. Ciri yang terakhir adalah tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlak mulia. Jadi apapun yang kita sampaikan, harus memiliki nilai-nilai karakter sebagai identitas.
Sikap Guru Terhadap Berbagai Perubahan
P Woods, B Jeffrey, G Troman, dan M. Boyle, dalam buku mereka berjudul Restructuring Schools, Reconstructing Teaching (1997) menemukan empat tipe sikap guru terhadap berbagai perubahan dan pembaruan edukatif. Pertama, tipe guru yang telah mengalami kedewasaan mental dan pencerahan sikap sebagai guru (enhanced teacher). Guru tipe ini memiliki kedewasaan dan keseimbangan berpikir yang positif dan rasional perihal peranan mereka dalam proses perubahan dan pembaruan pendidikan. Mereka mampu menyerap, mengevaluasi dan mengambil sejumlah langkah strategis bagi pengembangan dan kemajuan di komunitas sekolahnya berdasarkan fenomena dan realita perubahan yang terjadi di lingkungan sekolah di mana ia berkarya sebagai guru. Mereka berpikir positif, kreatif, dan inovatif dalam menyikapi perubahan dan pembaruan edukatif dan non-edukatif bagi kemajuan sekolahnya. Mereka bijak dan kritis membaca tanda-tanda zaman aktual, relevan, dan urgen demi kemajuan profesionalitas dan komunitas sekolahnya.
Kedua, tipe guru yang sekadar ikut arus (compliant teacher). Di sini guru tidak mau (bisa juga tidak mampu) ikut memikirkan perubahan dan pembaruan pendidikan di sekolahnya, di daerahnya, atau di negara-bangsanya. Berhadapan dengan tuntutan perubahan, para guru tipe ini cenderung nrimo apa-apa saja yang terjadi, terjadilah! Guru seperti ini mengalami krisis peranan yang dilematis sebagai guru antara mengikuti arus perubahan atau tidak. Para guru tipe ini cenderung antiperubahan, namun demi amannya, ia berpura-pura ikut arus perubahan apapun di sekolahnya, walaupun itu sekadar setengah hati dan tidak kritis.
Ketiga, tipe guru yang tidak ikut arus (non-compliatn teacher). Guru tipe ini tidak gampang ikut dinamika perubahan dan pembaruan pendidikan apapun di sekolahnya. Berhadapan dengan perubahan yang terjadi, guru tipe ini justru mengalami konflik peranan, dan dalam tingkatan tertentu terjadi pertentangan yang tajam, karena pembaruan bertentangan dengan keyakinan. Mereka menemukan kesulitan dalam memahami peranan baru yang mesti dimainkan di tengah dunia pendidikan yang berubah dengan cepat. Mereka menjadi kelompok penentang dengan risiko dirinya disingkirkan, atau menarik diri jika tuntutan baru diterapkan bagi mereka. Tidak jarang para guru tipe ini meninggalkan profesi sebagai guru.
Keempat, tipe guru yang menjadi kerdil (diminished teacher). Jika perubahan peranan guru terjadi dalam proses perubahan dan pembaruan, maka tak jarang menyebabkan guru semakin tidak berdaya, semakin kerdil. Guru merasa tidak berharga dan tak bernyali di tengah-tengah perubahan yang dihadapinya setiap hari di sekolah, keluarga dan masyarakatnya. Lantas tak sedikit guru kehilangan kepercayaan diri sebagai guru dan pendidik. Tak sedikit guru yang meninggalkan profesi guru, dan menempuh profesi lain, yang juga dihadang sejumlah perubahan tak kalah kompleksnya.
Intinya, perubahan dan pembaruan pendidikan tak bisa dihindari setiap guru. Guru harus menghadapi setiap perubahan pendidikan yang terjadi di sekolahnya dengan sikap berani, dan bertanggung jawab sebagai guru dan pendidik. Dimensi positif dari perubahan dan pembaruan harus dikelola untuk kemajuan komunitas sekolah yang semakin maju. Dimensi perubahan dan pembaruan sosio-edukatif yang negatif harus dihindari secara bijak, kreatif, dan inovatif.
Dimensi perubahan dan pembaruan sosio-edukatif yang negatif harus dihindari secara bijak, kreatif, dan inovatif. Contoh, diberlakukannya Kurikulum Pendidikan Nasional 2013, jelas merupakan sebuah variabel perubahan dan pembaruan pendidikan nasional yang sangat besar dampaknya bagi para guru di sekolah-sekolah kita.
Sebuah Harapan
Guru, yang jelas dan pasti, harus melakukan revolusi mental sekarang juga. Sebuah peribahasa Cina yang sungguh mengagumkan: “perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah pertama.” Seorang seniman terkenal, Pablo Picasso mengungkapkan bahwa “langkah pertama adalah impian.”
Guru revolusioner adalah mereka yang mengajar dengan penuh keikhlasan, ketulusan dan semangat revolusioner mendidik bangsa ini.
Guru revolusioner adalah guru yang berada pada level aman. Ada 3 level keberadaan guru. Level pertama, guru yang hanya sekadar mengajar menyampaikan materi kepada siswa dan dilakukan setiap hari sebagai rutinitas. Level kedua, adalah guru yang selain mengajar ia juga mendidik. Untuk guru level kedua ini rutinitas tidak hanya mengajar melainkan juga memastikan nilai-nilai ajarnya dipraktekkan bagi siswa.
Sementara level guru tertinggi pada level ketiga, ialah mereka yang selain mengajar dan mendidik juga menginspirasi. Guru level tertinggi ini selain menginspirasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, ia juga dapat berbagi motivasi bagi guru lainnya. Saling membantu dan menguatkan juga menjadi ciri guru level tiga ini.
Guru sejati merupakan seorang guru yang menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik siswa-siswanya.
Semoga !!!