Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Orang cerdas membicarakan masa depan. Orang biasa membicarakan masa lalu. Orang bodoh sibuk mencari aib orang lain” (Anonymous, 2019).
Masyarakat cerdas atau smart people adalah salah satu dimensi dari 6 indikator dari perwujudan smart city yang digagas oleh Boyd Cohen. Dari indikator tersebut, smart people merupakan dasar dari terwujudnya akan smart city. Hal ini dikarenkan untuk membentuk suatu kota yang cerdas, harus memiliki sumber daya manusia yang cerdas dan didukung oleh kebijakan dan infrastruktur dari mobility, governance, economy dan environment yang juga cerdas sehingga menghasilkan kualitas hidup yang cerdas (smart living) seperti yang diinginkan.
Smart people yaitu modal manusia yang weel educated baik secara formal maupun non formal dan terwujud dalam individu atau komunitas-komunitas yang kreatif. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan pengembangan SDM yang paham akan teknologi. Pengembangan karakter sosial budaya masyarakat yang sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat.
Pembangunan senantiasa membutuhkan modal, baik modal ekonomi (economic capital), modal manusia (human capital) maupun modal sosial (social capital). Kemudahan akses modal dan pelatihan-pelatihan bagi UMKM dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dalam mengembangkan usahanya.
Modal sosial termasuk seperti kepercayaan, gotong royong, toleransi, penghargaan, saling memberi dan saling menerima serta kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berbagai mekanisme seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kejahatan. Tata nilai ini perlu dipertahankan dalam kehidupan sosial masyarakat smart city.
Pembangunan, termasuk pembangunan berbasis teknologi digital, adalah dalam rangka memajukan bangsa. Jika konsisten dengan tujuan mencerdaskan bangsa, entitas-entitas bangsa yang lebih kecil, seperti masyarakat kota, perlu dibangun sebagai komunitas manusia (masyarakat perkotaan) yang cerdas. Manusia cerdas dibedakan dengan teknologi cerdas, dalam hal manusia adalah pencipta dan pengguna (subyek) teknologi dan bukan sebaliknya.
People Smart (Masyarakat yang Cerdas)
Smart people (masyarakat yang cerdas) yang tidak hanya terkait dengan level pendidikan dari masyarakat itu sendiri, tetapi juga bagaimana interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Smart people dapat menciptakan komunitas yang cerdas. Kondisi smart diperoleh melalui beberapa tahap pembelajaran yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga akan mendukung kreativitas masyarakat, kemampuan berpikir dan kemampuan dalam bersosialisasi.
Smart people yaitu modal manusia yang weel educated baik secara formal maupun non formal dan terwujud dalam individu atau komunitas-komunitas yang kreatif. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan pengembangan SDM yang paham akan teknologi. Pengembangan karakter sosial budaya masyarakat yang sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat.
Ada yang menamakan smart people dengan smart citizen sendiri merupakan upaya progresif mengedukasi publik tentang gaya hidup ringkas, ramah lingkungan dan berbasis teknologi hijau. Menurut Gurstein (2014), elemen ini memungkinkan warga terbantu dalam hal ketepatan waktu berangkat bus, manajemen jam kerja bersama demi kesehatan dan produktivitas (family time), serta pengakraban warga dengan fitur-fitur dari kota cerdas lainnya, seperti akses trotoar ramah penyandang disabilitas, penghematan air dan listrik, arus lalu lintas yang mendahulukan moda transportasi publik, teknologi presensi sidik jari, uang elektronik, dan sebagainya.
Pengertian dari smart people yang dimaksud dalam konsep dari smart people adalah sumber daya manusia yang dimiliki. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah kecerdasan yang dimiliki, baik kecerdasan intelektual (IQ), emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), Addversity Quotient (AQ), Creativity Quotient (CQ), dan Emotional Spirit Quotient (ESQ). Setiap manusia memiliki potensi diri yang berbeda-beda. Potensi diri dibagi menjadi dua, yakni potensi fisik dan potensi psikis. Potensi fisik, adalah yang bersangkutan dengan kondisi tubuh dan kesehatan tubuh (seperti misalnya kurus, gemuk, dan lain-lain), wajah, serta ketahanan tubuh seseorang (mudah sakit atau tahan sakit).
Sedangkan potensi psikis adalah hal yang berkaitan dengan IQ, EQ, SQ, AQ, CQ dan ESQ.
Pertama, IQ (Intelegence Quotient) adalah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, pemahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya.
Kedua, EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan pengendalian diri sendiri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta memimpin diri dan lingkungan sekitarnya.
Ketiga, SQ (Spiritual Quotient) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. Kecerdasan spiritual berasal dari hati, yang membuat individu menjadi kreatif ketika dihadapkan oleh masalah pribadi dan mencoba melihat makna yang terkandung di dalamnya.
Keempat, AQ (Addervisity Quotient) adalah kemampuan/kecerdasan seseorang untuk bertahan menghadapi kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup.
Kelima, CQ (Creativity Quotient) adalah potensi seseorang untuk membuat penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang lainnya.
Keenam, ESQ (Emotional Spiritual Quotient) merupakan gabungan dari EQ dan SQ, yakni gabungan dari kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
”SMART” sebagai Sebuah Akronim
Ada kata-kata bijak yang sungguh menyentuh. “Bekerjalah dengan menggunakan ilmu”. Dengan ilmu tentu, apapun yang kita kerjakan tidak akan sia-sia.
Salah satunya adalah dengan menggunakan konsep SMART. SMART artinya cerdas jika diartikan secara bahasa. Tapi dalam hal ini SMART merupakan singkatan dari huruf S,M,A,R,T. (Simple, Measureble, Achieveble, Relevan dan Timely).
Pertama, Simple, bahwa yang kita kerjakan harus fokus atau dengan kata lain gunakan skala prioritas. Kerjakan sesuatu yang paling kita butuhkan. Kedua, Measureble, bahwa apa yang kita kerjakan memiliki ukuran atau ada batasnya. Hal ini tentu harus direncanakan. Dengan perencanaan yang matang tentunya, sehingga tidak terjadi rugi waktu maupun tenaga serta pikiran. Ketiga, Achieveble, apapun yang kita kerjakan dapat diprediksi atau diperkirakan dapat dikerjakan atau tidak. Keempat, Relevan, sesuaikan dengan kebutuhan jangan terlalu melebih-lebihkan. Sehingga tidak terjadi hal yang sia-sia. Kelima, Timely, apapun yang kita kerjakan harus memiliki batas waktu kapan harus merencanakan, melaksanakan serta mengakhiri.
Ada juga yang menerjemahkan akronim SMART sebagai berikut. SMART sebagai berikut: S-impel, M-anfaat, A-ksi, R-efleksi, T-atakrama.
Pertama, S-impel. Orang pintar tidak neko-neko, apa adanya, jujur, dan tidak perlu berpura-pura, baik dalam berpakaian maupun perkataan. Mereka berpikir simpel dan menjalani hidup dengan simpel dalam rasa syukur. Tak perlu mengiri atau terdorong mendoakan keburukan bagi orang karena hal-hal yang tak mampu ia raih.
Kedua, M-anfaat. Rangkaian huruf kedua adalah M yang merupakan kependekan dari manfaat. Dalam kehidupan modern yang semakin kompleks, penuh tantangan dan serba cepat, kita dihadapkan pada tuntutan yang berlipat-lipat. Orang pintar haruslah orang yang punya manfaat bagi orang lain. Sepandai dan sekaya apa pun seseorang namun bila ia menikmati kemewahannya sendirian atau malah menjadi ancaman bagi kesejahteraan orang, maka kepintarannya tidak sah. Orang yang mampu menebar manfaat itulah layak disebut smart.
Ketiga, A-ksi. Secerdas apa pun seseorang dan sebrilian apa pun otaknya, rasanya kepintaran itu hanya akan menjadi gagasan semu bila tidak dituangkan menjadi aksi nyata. Sebab orang pintar sejati adalah yang sanggup mengambil langkah atau tindakan nyata atas apa yang ia gembor-gemborkan. Orang pintar tidak hanya pandai menciptakan klaim, namun juga mumpuni dalam mengubahnya menjadi aksi konkret.
Keempat, R-efleksi. Rahasia SMART berikutnya adalah R yang mengawali kata refleksi. Refleksi berarti bercermin atau berkaca. Refleksi bukan melongok ke belakang untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Bukan mengintip bilik masa silam lalu menangisinya. Orang layak disebut pintar jika ia mampu membaca kisah masa lalu dan merefleksikannya agar masa depan bisa tertuju pada target yang diinginkan. Nyoman Sukadana, motivator dan entrepreneur muda, berpesan dalam bukunya Action! bahwa kita semua memiliki kesempatan untuk menafsirkan masa lalu. Masa lalu tidak mungkin kita ubah, namun masa depan bisa kita rancang dengan mengubah mindset kita terhadap masa lalu. Misalnya kita dilahirkan sebagai orang miskin atau tak terdidik, kita bebas menafsirkannya sebagai sumber kemelaratan masa depan atau malah menjadi mata air kesuksesan yang menyejukkan. Kita bisa belajar lebih giat atau sebaliknya tenggelam dalam kemalasan. Semua bergantung pada cara kita merefleksikan masa lalu tersebut. Maka tak heran bila refleksi menjadi kunci penting bagi orang smart. Bukankah orang yang bijak adalah orang yang belajar dari kesalahan masa lalu atau dari sejarah orang lain?
Kelima, T-atakrama. Akhirnya, kita punya T yang merupakan kependekan dari tata krama. Pernahkah kita mendengar orang meletupkan pendapat, “Tampang sih keren, pendidikan tinggi, tapi sayang ya gak punya sopan santun. Gitu kok ngaku orang pintar! Jadi gak respek sama dia!” Tatakrama adalah sifat unggul yang melekat pada orang yang smart. Bisa dibayangkan bila orang tak punya unggah-ungguh lalu mengklaim sebagai orang pintar. Kata-katanya cenderung melukai orang lain, dan tindakannya tak jarang menghabisi potensi keberhasilan orang. Walau yang ia katakan baik dan mempesona, namun ketiadaan budi pekerti akan merontokkan aura setiap kata yang terucap. Begitu penting tatakrama dalam kehidupan sehingga agama Islam mengajarkan bahwa akhlak menjadi bentuk ibadah yang mulia.
Ciri-ciri Smart People
Smart people, dalam hal ini adalah mereka yang memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat, bersikap plural secara sosial dan etnis, fleksibel, kreatif, berpikiran terbuka, dan selalu terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (Nam & Pardo, 2011). Sebagai warga negara, smart people sebetulnya merupakan subjek terpenting dari smart city, namun mereka sering diabaikan.
Ciri-ciri orang cerdas menurut para ahli dan jarang diketahui oleh kebanyakan orang. Dunia ini memang penuh rahasia dan fakta yang jarang terungkap dengan gamblang. Fakta yang perlu diketahui bahwa di dunia ini banyak sekali orang cerdas, namun jarang orang yang mengetahui dan bahkan mereka sendiri terkadang tidak menyadarinya secara pasti. Mereka menjalani hidup mereka dengan bebas dan tanpa sadar sudah menarik perhatian untuk diri mereka sendiri.
Ciri-ciri orang cerdas menurut para ahli, dilansir Bustle, sebagai brikut: selalu berempati dan pengasih; selalu ingin tahu; jeli; memiliki kontrol diri; memiliki memori kerja yang baik; mengenali batas; dan fleksibel.
Berikut ciri-ciri lain orang cerdas menurut para ahli dan jarang diketahui oleh kebanyakan orang, di antaranya: orang cerdas itu mereka seperti burung hantu, mereka pendiam, mereka mampu menghadapi masalah, mereka bergaul dengan orang-orang pintar dan kreatif, mereka berusaha agar sempurna, mereka cenderung kritis, mereka haus informasi, mereka dapat mengatur kesibukan, mereka selalu bertanya dengan pertanyaan yang tepat, dan mereka tidak pernah berfikir bahwa mereka cerdas.
Banyak cara untuk melihat ciri orang cerdas. Kecerdasan seseorang memang tidak bisa benar-benar disembunyikan dan puncak kecerdasan seseorang juga tidak bisa kita lihat jika kita tidak mempelajarinya. Orang yang cerdas selalu memakai kecerdasan untuk membuat mereka bangga dengan tidak memamerkannya.
Ciri-ciri smart people (social and human capital) menurut Rudolf Giffinger (2007): a) Level of Qualification; b) Affinity to Life Long Learning; c) Social and Ethnic Plurality; d) Flexibility; e) Creativity; f) Cosmopolitan/Open-Mindedness; g) Participation in Public Life
Pendapat lain, bahwa indikator dari smart people adalah pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia yang melek teknologi, dukungan penelitian, dan pengembangan karakter sosial budaya masyarakat.
Komprehensif, Kompetitif, dan Bermartabat
Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
Tujuan daripada pendidikan Indonesia secara komprehensif ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama para generasi penerus bangsa yang memiliki kecerdasan yang telah dicantumkan dalam peraturan pendidikan. Lalu cerdas yang bagaimana yang dimaksudkan oleh undang-undang ? Cerdas yang dimaksud yang tercantum dalam visi dan misi Departemen Pendidikan Nasional yakni menjadi “insan Indonesia Cerdas Komprehensif, Kompetitif, dan Bermartabat (Insan kamil/Insan Paripurna). Yaitu manusia atau insan yang secara komprehensif cerdas spiritual, emosional, sosial, intelektual, dan kinestetis.
Pertama, makna insan Indonesia cerdas komprehensif. Pertama, cerdas spiritual. Tandanya yakni beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Kedua, cerdas emosional dan sosial. Tandanya yakni beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengapresiasikannya; dan beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang : membina dan memupuk hubungan timbal balik; demokratis; empatik dan simpatik; menjunjung tinggi hak asasi manusia; ceria dan percaya diri; menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara.
Kedua, cerdas intelektual. Tandanya yakni beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif, inovatif, dan imajinatif; cerdas kinestetisl; beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, b ugar, berdaya tahan, sigap, terampil dan tengginas; dan aktualisasi insan dan raga.
Ketiga, makna insan Indonesia kompetitif dan bermartabat : berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan; bersemangat juang tinggi; mandiri; pantang menyerah; pembangunan dan pembina jejaring; bersahabat dengan perubahan; inovatif dan menjadi agen perubahan; produktif; sadar mutu; berorientasi global; pembelajaran sepanjang hayat; dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Mewujudkan manusia Indonesia menjadi manusia seutuhnya dapat dicirikan dengan karakteristik individu indonesia disebutkan dalam salah satu artikel di antaranya : berusaha untuk menggali pengetahuan Indonesia; berusaha membangun jati diri manusia Indonesia; Selalu melakukan rekonsialiasi menuju persatuan nasional; membantu membangun kemerdekaan ekonomi; membantu mengembangkan politik perjuangan; membantu dalam mengembangkan kebudayaan nasional yang ber-bineka tunggal ika; dan membantu memperkuat pertahanan nasional
Kemampuan Intelektual
Dalam kehidupan sehari-hari orang bekerja, berfikir menggunakan pikiran (intelek)-nya. Cepat tidaknya dan terpecahkan atau tidaknya suatu masalah tergantung kepada kemampuaan intelegensinya. Dilihat dari intelegensinya, kita dapat mengatakan seseorang pandai atau bodoh, pandai sekali/cerdas (genius), atau pander/dungu (idiot). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, intelektual berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan (Depdikbud, 2017).
Istilah intelek menurut Chaplin (1981) berasal dari kata intelek (bahasa Inggris) yang berarti: ”Proses kognitif berfikir, daya menghubungkan serta kemampuan menilai dan mempertimbangkan dan kemampuan mental atau intelegensi” (Soeparwoto, 2005).
Menurut Wiliam Sterm, intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuan (Purwanto, 2003).
Wechler merumuskan intelegensi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengelola dan menguasai lingkungan secara efektif (Suharto dan Hartono,1991).
Menurut Robbins (2001) kemampuan intelektual adalah kemampuan mental, sedangkan Tilaar (2002), kemampuan intelektual guru adalah berbagai perangkat pengetahuan yang ada dalam diri individu yang diperlukan untuk menunjang berbagai aspek kinerja sebagai guru.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan intelektual adalah kapasitas umum dari kesadaran individu untuk berfikir, menyesuaikan diri, memecahkan masalah yang dihadapi secara bijaksana, cepat dan tepat baik yang dialami diri sendiri maupun di lingkungan.
Rubbins (2001), menyebutkan dimensi yang membentuk kemampuan intelektual ini terdiri dari 7 dimensi yaitu : kemahiran berhitung adalah kemampuan untuk berhitung dengan cepat dan tepat; pemahaman verbal adalah kemampuan memahami apa yang dibaca atau didengar serta hubungan kata satu dengan yang lainnya; kecepatan konseptual adalah kemampuan mengenali kemiripan dan beda visual dengan cepat dan tepat; penalaran induktif adalah kemampuan mengenali suatu urutan logis dalam suatu masalah dan kemudian memecahkan masalah itu; penalaran deduktif adalah kemampuan menggunakan logika dan menilai implikasi dari suatu argumentasi; visualisai ruang adalah kemampuan membayangkan bagaimana suatu obyek akan tampak seandainya posisinya dalam ruang diubah; dan ingatan (memori) adalah kemampuan mendalam dan mengenang kembali pengalaman masa lalu.
Menurut Munzert (2003), indentifikasi kemamuan intelektual yang tertuang dalam sikap intelegensi (intelegent behavior) antara lain: mengenal soal pengetahuan dan informasi ke pengertian yang lebih luas; Ingatan; aplikasi akan tepatnya belajar dari situasi yang berlangsung; kecepatan memberikan jawaban dan penyelesaian; dan keseluruhan tindakan menempatkan segalanya dengan seimbang dan efisien.
Menurut Suparno (2003), sikap yang dikembangkan oleh seorang yang intelektual: terus belajar; berfikir rasional; mengembangkan angan-angan; aktif mencari; berani bertindak dan bertanggung jawab; sikap reflektif; dan pembela kebenaran dan keadilan.
Smart People dalam Pembangunan
Saifuddin dan Nuzir (2015) mengatakan bahwa untuk dapat mewujudkan smart people di sebuah kota atau daerah, maka dibutuhkan optimalisasi pada potensi tingkat pendidikan warganya yang cukup tinggi dan juga keberadaan komunitas-komunitas kreatif yang terbukti dapat berperan positif terhadap pembangunan sebuah kota.
Faktor-faktor penting pada karakter Smart City ini adalah level of qualification (tingkat kualifikasi), affinitiy to long life learning (keinginan untuk pembelajaran seumur hidup), social and ethnic plurality (keberagaman sosial dan budaya), cosmopolitan/open-mindedness (keterbukaan), dan participation in public life (partisipasi masyarakat) (Giffinger, et al, 2007).
Pembangunan senantiasa membutuhkan modal, baik modal ekonomi (economic capital), modal manusia (human capital) maupun modal social (social capital). Smart people dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang harus dipenuhi dalam mewujudkan smart city. Pada bagian ini terdapat kriteria proses kreatifitas pada diri manusia dan modal sosial.
Berikut kriteria penilaian tersebut antara lain sebagai berikut: adanya jenjang pendidikan formal dalam bentuk sekolah dan perguruan tinggi yang merata kepada masyarakat dan berbasiskan IT seperti penerapan e-learning, pemanfaatan sistem informasi sekolah/perguruan tinggi, pembelajaran dengan sarana komputer, penyediaan akses internet untuk sumber informasi/ bahas pembelajaran, dan lain-lain; adanya komunitas IT dan komunitas lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi; dan adanya peranan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Membangun Smart People melalui Smart Education
Abad ke-21 menuntut keterampilan dan kompetensi dari orang-orang agar dapat hidup secara efektif, baik di kala bekerja maupun di kala senggang. Smart education perlu dirancang, dikembangkan, dan diimplementasikan agar dapat memfasilitasi pengembangan SDM di smart city. Konsep smart education didefinisikan secara beragam oleh berbagai pihak, tergantung dari maksud dan tujuan masing-masing. Gunawan (2013) mengajukan konsep Smart Education sebagai akronim dari Socio-Multicultural-Art-Reality-Technology. Dalam konteks ini, SMART Education merupakan konsep dan gagasan mengenai integrasi aspek kehidupan sebagai sumber belajar (learning sources), materi belajar (learning material), dan tujuan pembelajaran (learning objectives). Melalui implementasi konsep SMART Education ini, para siswa diharapkan mampu menjadi subjek sekaligus objek pendidikan. Mereka dijamin untuk bebas berpikir dan bereksplorasi terhadap lingkungan dimana dia hidup dan menjalani kehidupan.
Dengan demikian, melalui SMART Education yang dilaksanakan dengan baik diharapkan setiap orang menjadi individu yang bermanfaat bagi kehidupan dan menjadi individu yang berusaha terus belajar dan menggali potensi untuk kehidupan yang lebih baik. Disamping itu, lingkungan sosial, multikultural, kesenian, realita dan teknologi yang dikemas sedemikian rupa diharapkan dapat menjadi bahan bakar yang dapat digunakan untuk meningkatkan performa pendidikan di masa datang, dimana dunia telah bergeser menjadi dunia tanpa batas, cyberworld, networkinglife, dan conectingworld.
Pemerintah Korea juga menggunakan istilah SMART Education. Di Korea, SMART merujuk pada self-directed (terkait dengan kemampuan mengarahkan diri sendiri dalam belajar), interest (terkait dengan minat dan motivasi dalam belajar), adaptif (terkait dengan bakat dan kemampuan dalam menyesuaikan diri), enriched learning resources (terkait dengan pemanfaatan bahan pembelajaran yang kaya informasi) dan technology utilization (terkait dengan pemanfaatan TIK) (Kim, Cho, & Lee, 2012). Pada tataran praktisnya, SMART Education di Korea ini merupakan sistem pendidikan yang dirancang untuk memperkuat kemampuan siswa abad ke-21 dengan menawarkan solusi pembelajaran cerdas sesuai tuntutan keadaan, yang bertujuan menjadi inovasi sistem pendidikan termasuk lingkungan, metode, dan evaluasi pendidikan. Di sisi lain, Rothman (2007) seorang pakar pendidikan berpendapat bahwa smart education merupakan sistem pendidikan yang lincah, adaptif, dan efisien karena mampu memfasilitasi dan memberikan dukungan yang beragam kepada kelompok siswa yang beragam pula kebutuhannya.
Jika ditarik benang merahnya dari beberapa konsep smart education di atas, maka smart education dapat diartikan sebagai program pendidikan yang memanfaatkan keterampilan abad ke-21 dalam proses pembelajarannya; proses pendidikan yang mengintegrasikan aspek kehidupan sebagai sumber belajar (learning sources), materi belajar (learning material), dan tujuan pembelajaran (learning objectives); sehingga proses pembelajaran menjadi “lebih hidup”, bermakna dan kontekstual dengan lingkungannya; serta merupakan suatu inovasi sistem pendidikan yang komprehensif, meliputi inovasi terhadap lingkungan, metode dan evaluasi pendidikannya. Dengan demikian, melalui smart education diharapkan mampu diciptakan sistem pendidikan “kekinian”, yang mampu menghantar SDM menjadi manusia yang terdidik dan terampil dalam mencipta, berbagi, menyebarkan dan memanfaatkan pengetahuan secara efektif. Disamping itu, melalui smart education juga diharapkan dapat dihasilkan SDM yang memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat (life-long learners), yang mampu berkontribusi secara positip bagi kehidupan, menjadi pebelajar abad ke-21 yang cerdas dan terampil menyesuaikan diri; serta menjadi SDM yang memiliki keterampilan global berkualitas tinggi (Batagan & Boja, 2012), yang tentunya sangat dibutuhkan untuk membangun smart city.
Pribadi yang Cerdas
”Pemain yang hebat tidak pernah memandang dirinya di kaca dan berpikir, ’Saya pemain hebat,’” kata Jordan. ”Sebaliknya, dia akan bertanya kepada dirinya, ”Benarkah saya pemain hebat?” Michael Jordan, sosok pahlawan bagi para penggemarnya, sosok pemimpin bagi seluruh rekan setimnya di Chicago Bulls, dan sosok teladan di mata istri dan anak-anaknya. Glamor dunia basket di Amerika Serikat maupun dunia merupakan saksi kehebatan seorang anak manusia yang berhasil menorehkan tinta emas sejarah yang tak tergantikan. Dua resep sukses hidup dari Michael Jordan: komitmen terhadap kualitas prestasi hidup, dan komitmen untuk melakukan perbaikan secara kontinu.
Menjadi pribadi yang cerdas, kreatif dan inovatif tidak cukup hanya sekadar memiliki kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan untuk itu. Tetapi yang penting adalah adanya soft skill.
Penekanan pada aspek manusia sangat penting oleh sebab kecerdasan sebuah kota terletak pada kecerdasan masyarakat atau penduduknya. Penggunaan teknologi informasi supercerdas tidak otomatis menjadikan para penggunanya juga cerdas. Manusia adalah subyek dan bukan obyek dari setiap dimensi kota cerdas itu. Roh kota cerdas bukan pada seberapa gampang dan masifnya koneksi internet, penerapan berbagai aplikasi, dan aneka platform berbasis digital. Kota cerdas adalah kota yang berhasil membangun kebersamaan komunitas secara cerdas.
Manusia cerdas di dalam kota cerdas bukan sekadar penikmat kemudahan dan kenyamanan hidup berbasis digital. Manusia disebut cerdas jika mampu menciptakan, mengendalikan, serta menggunakan teknologi digital untuk sebesar-besar kemajuan multikecerdasan dirinya. Dengan demikian, kemajuan multikecerdasan warga (smart citizen) menjadi parameter keberhasilan pembangunan kota cerdas.
Pada akhirnya, melalui smart education diharapkan mampu dibangun SDM, yaitu smart people yang terdidik dan terampil dalam mencipta, berbagi, menyebarkan, serta mampu memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan secara efektif; smart people yang memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat (life-long learners), smart people yang bermanfaat bagi kehidupan; pebelajar abad ke-21 yang cerdas dan dapat menyesuaikan diri; serta smart people penghuni smart city yang memiliki keterampilan global berkualitas tinggi.
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan smart city, karena tanpa peran manusia dan pendidikan, keunggulan dan kemanfaatan TIK tidak mungkin dapat optimal dalam pembangunan perkotaan. Warga kota yang cerdas (smart people) perlu dipersiapkan dengan baik agar dapat berkiprah dalam membangun smart city. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penyediaan layanan pendidikan cerdas (smart education). Smart education memainkan peran penting dalam meningkatkan kinerja fisik kota, sementara pada saat yang sama juga mempersiapkan siswa masa kini untuk hidup di dunia yang semakin kompleks dan semakin berorientasi pada teknologi masa depan.
Smart education merupakan sistem pendidikan yang lincah, adaptif, dan efisien, karena mampu memfasilitasi dan memberikan dukungan beragam kepada kelompok siswa yang beragam kebutuhannya serta program pendidikan yang memanfaatkan keterampilan abad ke-21 dalam proses pembelajarannya; proses pendidikan yang mengintegrasikan aspek kehidupan sebagai sumber belajar (learning sources), materi belajar (learning material), dan tujuan pembelajaran (learning objectives). Smart education juga merupakan suatu inovasi sistem pendidikan yang komprehensif meliputi inovasi terhadap lingkungan, metode, dan evaluasi pendidikannya.
Keterampilan abad 21 yang merupakan salah satu ciri dari smart education perlu dikuasai siswa masa kini. Keterampilan abad 21 tersebut dikenal dengan sebutan “Empat C”, yaitu Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan memecahkan masalah ), Communication (komunikasi), Collaboration (kolaborasi), dan Creativity and Innovation (kreativitas dan inovasi), dan hal ini dapat disampaikan atau diajarkan kepada para siswa salah satunya melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning/SCL). SCL adalah sebuah disiplin yang melibatkan interaksi tim siswa yang mengalami pembelajaran kreatif untuk digunakan di dunia nyata; kebalikan dari “berpusat pada guru”; tujuan sistem (sekolah) harus memenuhi tujuan siswa; siswa sebagai “mitra” dengan guru dalam pendidikan; “peserta didik mengendalikan pembelajaran”, pelajar memiliki beberapa kontrol dalam jenis instruksi yang diberikan.
Implementasi SCL berimplikasi pada guru dan institusi. Implikasi SCL terhadap guru pada dasarnya adalah guru harus melakukan perbaikan secara berkesinambungan dalam hal perkembangan bidang ilmunya, mutu pembelajaran; pembimbingan, pemberian arahan, dan penilaian terhadap kegiatan belajar siswanya. Intinya, guru harus memastikan belajar para siswanya sebagai prioritas. Bagi institusi, implikasi SCL antara lain adalah misi institusi harus diletakkan pada belajar dari pada mengajar siswa; institusi harus bertanggung jawab terhadap proses belajar siswa; memberikan dukungan dan meningkatkan mutu belajar siswa harus menjadi pekerjaan semua orang dan harus mengarahkan pada pengambilan keputusan di sekolah; dan efektivitas institusi harus dievaluasi berdasarkan capaian belajar siswanya bukan hanya sekedar dari pemanfaatan sumberdaya dan proses pembelajarannya saja.
Pada akhirnya, melalui smart education diharapkan mampu dibangun SDM, yaitu smart people yang terdidik dan terampil dalam mencipta, berbagi, menyebarkan, serta mampu memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan secara efektif; smart people yang memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat (life-long learners), smart people yang bermanfaat bagi kehidupan; pebelajar abad ke-21 yang cerdas dan dapat menyesuaikan diri; serta smart people penghuni smart city yang memiliki keterampilan global berkualitas tinggi.
Semoga !!!