INIPASTI.COM – Kalau ada yang tidak pandai berenang, jangan memilih hidup di dasar laut. Dan jangan pula mengajak ikan untuk terbang, karena habitat ikan ada di air. Tahu diri, kenali lingkungan dengan seksama adalah inti kearifan dalam berkehidupan.
Kemampuan membaca tanda-tanda dalam kehidupan disebut sebagai kapasitas adaptif seseorang. Bilamana seseorang memiliki kualitas adaptif dalam hidupnya, maka ia akan memiliki kemampuan bertoleransi. Kehidupan bersosial, bukan saja soal benar salah, karena benar salah berada pada ruang subjektif, kadar baik buruknya kehidupan bersosial sangat ditentukan oleh interaksi kita dengan lingkungan kita.
Tidak ada kebenaran di muka bumi ini yg tidak relatif dan subjektif, tergantung di mana, kapan dan oleh siapa. Oleh karena kebenaran itu bersifat subjektif, maka kehidupan kita harus bersandar pada nilai-nilai sosial kebersamaan.
Kebenaran kolektif lebih diutamakan ketimbang kebenaran personal. Kalau kita berbenturan, karena terus mempertahankan kebenaran personal, maka jalan keluarnya adalah menempatkan kebenaran personal itu pada habitat atau oksigen yang sesuai. Temukanlah habitat dan oksigen yang cocok dengan kebenaran yang kita yakini itu. Jangan menuangkan ber ton-ton garam di laut, karena itu tak berguna. Coba anda membawa segenggam garam di hutan asam, maka garam yang sedikit itu akan amat berguna, karena menemukan habitatnya, menemukan kecocokannya.
Begitulah ibarat dalam berkehidupan sosial. Kehidupan bersosial hanya berusaha menemukan kebenaran, tetapi bukan kebenaran itu sendiri. Barang siapa yang berusaha menumpukkan ber truk-truk pasir di padang pasir, maka ia akan menuai kekecewaan, karena tak memberi guna, tak mendapat apresiasi. Tapi jika anda menumpahkan puluhan truk pasir di jalan-jalan yang berkubang dan berlubang, maka anda akan mendapatkan penghargaan dan nilai guna, karena anda sedang melakukan sesuatu pada waktu dan tempat yg tepat.
Jika kita ingin meraih sesuatu yang kita inginkan, maka kita harus jeli melihat habitat dan oksigen yang cocok dengan yang kita inginkan. Kita tidak mungkin memilih menetap di bulan, tetapi selalu berbicara tentang hangat dan nikmatnya menginjak bumi. Itu sebabnya, ketika Rasulullah memutuskan untuk menikmati lezatnya Islam, beliau mencari habitat baru yang bisa diajak untuk menerima Islam. Maka dengan cucuran air mata dan hati yang pilu, beliau meninggalkan tanah kelahiranya, Mekah. Memutuskan untuk hijrah, untuk menemukan habitatnya, agar Islam kelak menjadi sumbu penerang bagi langit, bumi dan seisinya. Inilah pelajaran awal tentang adaptasi ekologi dan toleransi sosial.
Sesungguhnya, dengan intervensi ribuan malaikat Allah, perjuangan Rasulullah Muhammad SAW di Mekah dapat saja meraih kemenangan, tetapi perjuangan dengan pola seperti itu tidak memberikan pelajaran bagi kehidupan sosial umatnya di kemudian hari. Akhirnya, hijrah telah memberi kita pelajaran yang sangat penting tentang toleransi, adaptasi dan mengerti tentang siapa kita. (If)