Oleh: Ahmad Usman*
HARUS diakui, kepala daerah (walikota, bupati, dan gubernur) lebih dominan dibandingkan aktor pembangunan lain, seperti legislatif, akademisi dalam menentukan warna atau wajah kota. Sehingga, tidaklah bombastis kalau ada sebuah adagium yang berbunyi “tunjukkan padaku wajah kotamu, aku akan bisa menebak tampang walikotanya.”
Judul artikel ini merupakan satu “ledekan” seseorang, yang melihat betapa dominannya “the big boys” atau lebih dikenal tiga motor penggerak pembangunan kota yaitu power (dipegang oleh penguasa kota—walikota, misal), profit (orientasi utama dari pengusaha), planner (perencana). Sementara people (mayoritas penduduk), sekadar “pelengkap penderita”. Padahal, pelibatan warga kota merupakan “conditio sine qua non” tumbuhnya rasa cinta dan rasa memiliki kotanya. Khusus, dominannya peran penguasa—walikota, sehingga muncullah ledekan: “tunjukkan padaku wajah kotamu, aku akan bisa menebak tampang walikotanya.”
Lalu, wajah kota model apa yang diinginkan di masa depan? Memang, gampang-gampang-susah memprediksi dengan pasti. Mengingat begitu banyaknya aktor-aktor pembangunan yang terlibat. Kendati demikian, dilandasi asumsi bahwa salah satu kelompok aktor tertentu akan lebih dominan ketimbang yang lain. Karenanya, terdapat beberapa kemungkinan tampang kota masa depan. Peter Hall (Eko Budihardjo dan Djoko Sujarto, 1998: 4) mengestimasi modelnya sebagai berikut. Pertama, bila yang mendominasi adalah para rekayasawan dan teknolog, yang tercipta adalah “technopolis.”
Wujudnya bisa berupa kota yang sarat dengan bangunan jangkung, kota kompak satu dimensi, kota terapung, kota di dalam laut, kota di udara, kota yang bisa berjalan dan semacamnya. Melalui kecanggihan teknologi kehadiran kota yang berorientasi pada kecanggihan teknologi seperti itu bukan merupakan Kedua, manakala yang sangat berperan adalah kalangan pengusaha atau aktor swasta, yang muncul adalah “profitopolis.” Wujudnya berupa kota yang sangat efektif dan efisien, biasanya dengan pola papan catur, dan potongan atau profil kota mirip piramid. Penataan kota seperti itu dilandasi perhitungan ekonomi atau analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) yang amat cermat, mengabaikan aspek sosial-budaya.
Ketiga, bila penentu kebijakan atau pengelola perkotaan, dalam hal ini pimpinan pemerintah daerah : gubernur, bupati atau walikota, yang mendominasi pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pembangunan kota, yang tercipta adalah “marxopolis.” Kota-kota akan tampak seragam. Memang serba rapi, teratur, menyiratkan kedisiplinan, namun akan terlihat kaku, monoton, tidak ada keberagaman atau variasi. Persepsi atau aspirasi yang memberagam tidak diserap apalagi diwadahi. Keempat, kalau yang lebih berperan adalah dari kalangan ilmuan dan pakar ahli lingkungan, maka yang akan tercipta adalah “ecopolis.” Lingkungan binaan termasuk karya arsitekturnya akan menyatu, selaras, serasi, dan seimbang dengan lingkungan alamnya. Konservasi energi dan pelestarian keseimbangan ekologis menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan kota.
Kelima, yang mungkin dewasa ini masih akan dinilai utopis, adalah bila wajah kota ditentukan sendiri sepenuhnya oleh segenap warganya, sehingga tercipta apa yang disebut dengan “humanopolis.” Keterlibatan warga kota dalam pembangunan kota yang berwajah manusia tidak sekadar terbatas pada pemberian informasi, penyelenggaraan diskusi dan konsultasi, tetapi sudah sampai pada tahap “citizen power.” Rakyatlah yang lebih menentukan wajah kota masa depan.
Karenanya, penataan kota yang manusiawi, merupakan perpaduan antara ecopolis, humanopolis, dan technopolis. Konsekuensi lainnya, pembangunan kota perlu dimanajerial dengan arif. Manajemen perkotaan sendiri didefinisikan sebagai “upaya memobilisasi berbagai sumber daya, dan memanfaatkannya sehingga saling mendukung dalam perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan, pendanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan suatu pemukiman agar dapat mencapai tujuan pembangunan (kota) (Davidson dalam Sidabutar yang dikutip kembali Nana Rukmana DW. Dkk., 1993 : 14).
Mestinya, pengelolaan pembangunan perkotaan mencakup paling tidak tiga jalur gagasan: (a) pengenalan pendekatan sistem dalam perencanaan kota (dikembangkan oleh McLoughlin dan Chadwik); (b) perubahan perspektif sosiologi perkotaan (dianjurkan oleh Pahl); dan (c) perkembangan teknik pengelolaan dari pimpinan daerah dan penentu kebijakan dalam menyediakan sarana-prasarana perkotaan (diungkapkan oleh Stewart dan Edison).
Siapapun tidak menginginkan hadirnya wajah kota, seperti celotehnya Kevin Lynch dalam tulisannya “The City as Environment”. “Penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi buruk: tunggal rupa, serba sama, tidak berwajah lepas dari alam, dan sering tidak terkendali, tidak manusiawi….” (Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubojo, 1993 : 19). Pada kesempatan lain, Lynch mengemukakan, dalam penyelidikan terhadap bentuk kota, ada lima elemen pokok yang dapat membangun citra sebuah kota. Pertama, “Pathway” merupakan route-route sirkulasi yang biasa digunakan orang dalam melakukan pergerakan, baik inter maupun antar kota melalui jaringan jalan primer dan sekunder. Kedua, “Districts”, merupakan sebuah kawasan dalam suatu kota, kadang-kadang begitu bercampur karakternya sehingga tidak mempunyai batas-batas yang tegas. Ketiga, “Edge” pengakhiran sebuah distrik atau tepiannya. Distrik tertentu tidak mempunyai pengakhiran yang tegas tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan distrik lainnya.
Keempat, “Landmark”, elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu mengenal suatu daerah kota. Sebuah “Landmark” yang baik adalah elemen yang tegas tetapi harmonis dengan kerangka lingkungan kota. Kelima, “Node”, pusat aktivitas merupakan salah satu jenis landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif (Eko Budiardjo dan Sudanti Hardjohubojo, 1993 : 36).
Sekurang-kurangnya, terdapat empat penyebab pokok yang paling besar pengaruhnya terhadap keberantakan wajah dan tata ruang perkotaan. Pertama, adanya kesenjangan antara perencanaan kota yang dwi-matra dengan perencanaan arsitektur yang trimatra. Perancangan kawasan perkotaan (urban design) masih merupakan benda aneh di negara kita. Kedua, membengkaknya pengaruh kendaraan bermotor (khususnya mobil pribadi) dalam jaringan kegiatan perkotaan. Pejalan kaki dan pelanggan kendaraan umum masih dilihat sebagai warga negara kelas dua. Ketiga, curahan perhatian yang terlalu ditekankan pada aspek keuntungan ekonomis dan kecanggihan teknologis dengan melecehkan manfaat sosial atau kepentingan masyarakat banyak, khususnya pada pembangunan fasilitas komersial oleh pihak swasta.
Keempat, lemahnya aparat dan mekanisme kontrol pembangunan. Atau, memang sengaja dibikin tidak jelas aturan permainan dan sanksinya…. Keseluruhan aspek tersebut di atas harus dikaji secara bersamaan dan diatasi sekaligus untuk bisa mencegah kecenderungan dehumanisasi kota kita. (Eko Budiardjo dan Sudanti Hardjohubojo, 1993 :64-65).
Ada tiga landasan yang dipegang dalam perencanaan kota satelit maupun kota baru(Anonymous dalam Ahmad Usman, 2014). Pertama, senyawa yang tuntas antara fasilitas perkotaan dengan citra dan suasana pedesaaan. Kedua, desentralisasi dari kawasan perkotaan yang kepadatannya berlebihan. Ketiga, penciptaan komunitas yang seimbang, baik dalam penghidupan maupun lapangan kerjanya.
Pembangunan kota harus diarahkan pada upaya-upaya peningkatan produktivitas kota, mengurangi kemiskinan di perkotaan serta pelestarian (sustainability) lingkungan hidup (World Bank dalam Nana Rukmana DW, Dkk., 1993 : 21). Khususnya, kaitan dengan pelestarian lingkungan, rupanya terdapat tujuh “dosa” lingkungan (environmental sins), demikian dikemukakan “New Week” 1 Juni 1992. Dosa yang pertama yaitu keputus-asaan; Dosa yang kedua adalah godaan; dosa ketiga yaitu kerakusan; dosa keempat yaitu keangkuhan. Yang kelima yaitu kelalaian. Dosa keenam adalah keirihatian. Dosa ketujuh yaitu kebencian.
Mengapa kota diprioritaskan ditata? secara ekonomis sangat menguntungkan, dari segi pariwisata misal. Produktivitas kota yang rendah menyebabkan semakin rendahnya daya tarik investor, yang berakibat akan menurunnya pertumbuhan kegiatan ekonomi. Lebih lanjut hal ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat dan pemerintah sehingga akhirnya menyebabkan rendahnya kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk investasi pembangunan kota. Sementara, sustainabilitas kota diartikan “sebagai kemampuan kota untuk mempertahankan kehidupan sosial ekonominya secara berkelanjutan. Dari sisi ekonomi, kota perlu dikelola agar kegiatan ekonominya dapat sustain, dalam arti agar pemanfaatan sumber daya untuk produksi dapat diperbaharui atau selalu tersedia alternatif penggantinya” (Ditjen Cuita Karya dalam Nana Rukmana DW, Dkk., 1993).
Membangun kota tidak boleh dengan gaya tambal-sulam. Kota harus dirancang sesuai peruntukkannya. Atau, dibentuk karakteristik khusus yang diinginkan, sesuai fungsinya. Misal, apa ia mau dijadikan kota pendidikan, perdagangan, industri, wisata, dan karakteristik lainnya.
Kaitan dengan itu, Noel P. Gist dalam “Urban Society”-nya (Sapari Imam Asy’ari (1993: 29) mengemukakan beberapa fungsi kota. (1) “Production center” yaitu kota sebagai pusat produksi, baik barang setengah jadi maupun barang jadi. (2) “Center of trade and commerce”, yakni kota sebagai pusat perdagangan dan niaga, yang melayani daerah sekitarnya. Kota seperti ini sangat banyak, seperti Rotterdam, Singapura, Hamburg. (3) “Political capitol”, yaitu kota sebagai pusat pemerintahan atau sebagai ibu kota negara, misalnya Kota London, Brazil. (4) “Cultural center”, kota sebagai pusat kebudayaan, contohnya : Kota Vatikan, Makkah, Yerusalem. (5) “Health and recreation”, yakni kota sebagai pusat pengobatan dan rekreasi (wisata), misalnya : Monaco, Palm Beach, Florida, Puncak-Bogor, Kaliurang. (6) “Divercified cities”, yakni kota-kota yang berfungsi ganda atau beraneka. Kota-kota pada masa kini (setelah Perang Dunia ke-II) banyak yang termasuk kategori ini. Sebagai contoh: Jakarta, Tokyo, Surabaya yang mencanangkan diri sebagai “Kota Indamardi” (kota industri, perdagangan, maritim, dan pendidikan), di samping sebagai pusat pemerintahan.
Khususnya mengenai potensi dan karakteristik kota (kota jasa/perdagangan, pelayanan, pendidikan, pengembangan ekonomi kerakyatan), dan mengacu pada pendapat PJM. Nas (1979), bahwa secara ekonomi, ciri kota adalah cara hidup yang bukan agraris. Fungsi-fungsi kota yang khas adalah kegiatan-kegiatan budaya, industri, perdagangan, dan niaga serta kegiatan pemerintah; dan salah satu dari enam kondisi yang diperlukan suatu kota (city), sebagaimana dikemukakan N. Daldjoeni (1997) adalah suatu sistem perdagangan dan pertukangan; kemudian, Sosiolog Jerman Max Weber mengidentifikasi kelahiran suatu kota dengan perkembangan kapitalisme. Etos kapitalisme yang mencakup nilai-nilai rasionalitas, ekspansi perdaganga, kerja keras, efisiensi, penghargaan terhadap waktu… (Agus Sutoyo 1997).
Perencanaan kota (urban planning) merupakan aktivitas merencanakan suatu lingkungan tertentu, yang lebih luas daripada perencanaan lahan atau fisik, karena mempertimbangkan semua faktor fisik, tata guna lahan, ekonomi, politik, administratif dan sosial—yang mempengaruhi wilayah kota. Perencanaan kota yang efektif diperlukan guna menghindarkan beberapa hal antara lain: (1) perkembangan kota secara acak yang pada gilirannya menimbulkan kesemrawutan; (2) penyediaan fasilitas pelayanan dan infastruktur yang mahal dan tidak efisien; (3) spekulasi tanah yang dapat mengakibatkan pelipatgandaan biaya pembangunan; (4) penggunaan lahan yang tidak bertanggung jawab, yang dapat mengancam kelestarian lingkungan. (Achmad Nurmandi, 1999 :145). Olehnya itu, dalam perencanaan kota, tidak hanya sebatas perencanaan fisik semata, namun melibatkan perencanaan ekonomi, sosial, dan politik.
Sangat diinsyafi, setiap kota, pada awal tentulah merupakan kota baru. Setiap pembangunan kota baru harus diawali dengan studi yang mendalam termasuk perkiraan dampak yang akan terjadi (oleh cendekiawan dan ilmuan), perencanaan menyeluruh terpadu (oleh para profesional), pelaksanaan yang taat (oleh pihak swasta) dan penawasan yang ketat (oleh pemerintah) untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Penulis: Alumni IKIP dan Unhas Makassar, Dosen Pengampu Mata Kuliah Pembangunan Perkotaan STISIP Mbojo Bima NTB