INIPASTI.COM – Panasnya suhu politik yang bergulir dalam Pilkada DKI, tak henti berhembus memanaskan suasana di tengah masyarakat, bahkan warga yang bertempat tinggal jauh di luar Jakarta dan sama sekali tidak punya hak memilih di Jakarta pun ikut terusik.
Api politik yang telah terlanjur membakar memang bakal terus membara sampai akhirnya akan terpilih salah satu dari tiga pasang kandidat: Ahok-Jarot, Anis-Uno dan Agus-Silvi.
Walaupun telah jelas siapa yang bakal bertarung dengan berbagai latar belakang yang mewarnai pemilihan ketiga pasang nama tersebut, namun kemunculan nama Agus Yudhoyono masih menimbulkan tanya yang cukup mengusik. Ada Apa?
Banyak spekulasi yang beredar menjawab pertanyaan itu. Semua dengan pendapat yang didukung dengan logika politik dilatari dengan berbagai isu, mulai dari peta politik jangka panjang, putra mahkota yang mumpuni, kekuatan massa dan kecerdasan rakyat dalam memilih. Latar lainnya adalah keterlibatan pihak asing dan kemarahan kelompok tertentu terhadap pihak lainnya. Sementara isu agama dan etnis seakan dipaksakan menjadi pemicu semakin panasnya suhu politik di DKI.
Kemunculan Agus Yudhoyono, putra mahkota mantan presiden SBY sebagai salah satu kandidat yang sangat diperhitungkan, pun diwarnai dengan berbagai kemungkinan. Menjegal pasangan kuat Ahok-Jarot adalah salah satu alasannya.
Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari munculnya Agus Yudhoyono dalam kancah pertarungan Pilgub DKI. Alasan yang pertama, untuk mengalahkan pasangan Ahok-Jarot, akan sulit dilakukan secara head to head. Bila hanya ada dua pasangan yang bertarung, yaitu Ahok-Jarot dan satu pasang lawan lainnya, maka dapat dipastikan, pasangan petahana ini akan menang dengan mudah.
Karena itu, harus dilakukan manuver yang lebih panjang namun efektif, yaitu memecah prosesi pemilihan menjadi dua putaran. Pada putaran pertama Ahok-Jarok berpeluang unggul dengan mudah, namun tidak akan mencapai perolehan suara 50+1 yang menjadi syarat kemenangan.
Karena itu akan dilakukan putaran kedua, di mana lawan Ahok-Jarot adalah pemilik suara terbanyak kedua. Pada putaran kedua ini, peluang untuk menang bagi kandidat yang menjadi lawan Ahok-Jarot akan semakin besar, karena akan terbentuk koalisi antara kandidat tersebut dengan kandidat ketiga yang telah gugur di putaran pertama. Suara milik kandidat ketiga akan memperkuat posisi kandidat kedua untuk sama-sama berjuang melawan kandidat pertama yang memiliki suara terbanyak di putaran pertama. Strategi ini berpeluang besar menggagalkan pasangan Ahok-Jarot kembali berkuasa di DKI.
Alasan kedua kemunculan Agus didasari dengan gerahnya sebagian rakyat Indonesia dengan kekuasaan yang terang-terangan ditunjukkan para orang kaya asing, khususnya dari Cina, telah membuat banyak kelompok merasa sudah waktunya mengambil kembali negeri ini dari tangan pihak asing. Melihat perkembangan di Jakarta dan sekitarnya kekuasaan Ahok sebagai gubernur DKI telah membuka peluang yang sangat besar bagi investor Cina untuk menancapkan akar mereka di Indonesia.
Hal ini tidak hanya membuat orang Indosesia saja yang gregetan, tetapi ada pihak asing lain yang ikut gerah. Konon, tiga hari sebelum pasangan Agus-Silvi dideklarasikan maju di Pilgub DKI, kelompok Agus Yudhoyono melakukan pertemuan tertutup dengan Konsulat Amerika Serikat di Jakarta. Dalam pertemuan itu, disebut-sebut bahwa AS mengaku tak nyaman dengan adanya dominasi Cina di Indonesia.
Keberadaan investasi Cina dan segala turunannya yaitu proyek-proyek pembangunan, tenaga kerja dan pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah, telah mengobrak-abrik harga diri rakyat Indonenesia. Perilaku para investor Cina yang bersikap semau-maunya dan dengan mudah menguasai aset milik DKI, menyebabkan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki warga Indonesia sendiri menjadi terabaikan.
Contoh paling nyata ketika Gubernur Ahok melakukan penggusuran di salah satu sudut kumuh kota Jakarta. Penggusuran itu pada akhirnya melibatkan banyak pihak yang harus turun tangan, salah satunya adalah pihak militer. Namun dengan kekuasaan investor Cina dalam mengatur kebijakan pemerintahan DKI, keberadaan militer dalam sengketa penggusuran lahan, sama sekali menjadi tidak ada artinya. Pasukan militer, yang jelas-jelas merupakan kekuatan utama milik negeri, pun diabaikan.
Kombinasi situasi yang panas ini, hanya dapat didinginkan dengan kekuatan yang lembut, tenang, berstrategi, namun masif. Latar belakang yang militer -meski masih sebagai perwira menengah, kecerdasan dan kekuatan yang ada di belakangnya, membuat Agus Yudhoyono menjadi pilihan yang tepat sebagai pihak yang bisa menjembatani keadaan tersebut.(*)