Penulis: Mark Singer (The New Yorker)
Kata-katanya semakin memperlihatkan kebingungan Trump tentang siapa dirinya sebenarnya dan ke dalam apa dia melibatkan diri
Calon nominator presiden dari Partai Republik–kita sebut saja Donald Trump, meski sebenarnya lebih tepat disebut “Donald Trump”–memiliki kemampuan bersilat lidah dan gaya berbicara yang khas. Mulutnya dimonyong-monyongkan, kata-kata digunakan sekehendak hati. (“Bisa saja di atas sana itu ada pesawat Meksiko. Mereka tengah bersiap menyerang.”)
Kecuali ketika dia membaca teleprompter, kata-katanya secara paradoks tampak penuh perhitungan sekaligus juga serampangan. Dengan mengandalkan GPS ciptaan sendiri, Trump sangat menikmati keluyuran di atas peta sintaksis sampai dia menemukan kata-kata: “Ted Si Pembohong,” “Si Bengkok Hillary,” “Elizabeth Warren yang Bego,” “Membangun Tembok Penghalang.” Hasilnya tentu saja bukan karya ulung orator sejati. Namun, kata-katanya bisa menghibur, menyakitkan, membangkitkan amarah, menyenangkan, mengagetkan, membius. Setahun lebih sejak pencalonan dirinya, kata-kata Trump juga mencerminkan kebingungannya tentang siapa dirinya sebenarnya dan ke dalam apa dia melibatkan diri.
Sepanjang pemilihan awal, Trum secara rutin berkeliling membanggakan hasil polling tarakhir. Tanpa didukung pokok-pokok kebijakan yang maauk akal, filosofi yang koheren, perhatian terhadap nuansa bahasa, atau pengakuan terhadap urgensi tata kelola pemerintahan, ritual berkeliling tersebut tampak menjadi semacam tujuan. Dari situ dia akan mengoceh tentang China, kemenangan, kekalahan, teror Islam, kaum muslim, orang Meksiko, kebesaran, tentang sesuatu yang pasti benar adanya karena kebetulan dia pernah baca atau dengar entah di mana, pers menjijikkan yang berbohong, dan, tak terhindarkan lagi, tentang dirinya yang luar biasa fantastis sukses dan cerdasnya.
Pendukungnya tidak akan merasa cukup. Dapat dibayangkan bagaimana George Orwell yang terjebak di tengah lautan lambaian poster beruliskan “Jadikan Amerika Hebat Kembali!” dan menemukan puisi untuk menggambarkan desain bahasa politis: “untuk membuat kebohongan terdengar sebagai suatu kebenaran dan pembunuhan sebagai suatu yang terhormat, dan angin kosong tampak padat berisi.”
Tidak ada yang membantah bahwa Trump bukanlah seorang politisi; dia adalah seorang sales visioner yang proyek aslinya, yang ditetaskan ketika dia masih berumur dua puluhan, adalah untuk menjadikan dirinya sebuah merek kemudian menempelkannya di mana-mana. Dia memulai dengan bisnis keluarga–real estate–kemudian meluas ke kasino. Terlepas dari beberapa perusahaan yang bangkrut, dia terus mengejar ambisi yang tak terhitung jumlahnya yang dilambangkan oleh A.J. Liebling seperti “orang yang mengambil uang satu dolar dari orang lain, dan sejak itu mengejarnya untuk memperoleh pecahannya atau kelipatannya.” Trump sejak lama memilih untuk mereduksi–atau, menurut kalkulasi dia, tentu saja, menginflasi–dirinya menjadi sebuah merek: “Donald Trump”.
Berada di bawah naungan Trump 2.0 berarti tidak usah mengharapkan kemungkinan adanya intimasi, keakraban, dan introspeksi diri yang inheren dalam diri orang berkepribadian. Pujian yang diterima Trump dari para pemilih karena “keasliannya”, karena “mengatakan sesuatu apa adanya”, mengeliminasi fakta bahwa dengan melakukan hal itu berarti dia bertekad menyembunyikan sisi kemanusiaannya dari dunia dan, oleh karena itu juga, dari dirinya sendiri.
“Saya tidak suka menganalisis diri saya sendiri karena saya mungkin tidak akan suka dengan apa yang saya lihat dari diri saya.” Begitu pengakuanTrump kepada penulis biografinya, Michael D’Antonio.