INIPASTI.COM – “Cintailah kekasihmu secara sedang-sedang saja, siapa tahu di suatu hari nanti dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci secara biasa-biasa saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan menjadi kecintaanmu,” (HR. Tirmidzi).
Singkatnya, jangan berlebihan mencintai orang yang dikasihi, sewajarnya saja, karena kemungkinan di suatu hari orang yang dicintai itu akan menjadi musuhmu. Demikian pula sebaliknya, jangan berlebihan dalam membenci orang yang tidak disukai, sedang-sedang saja, karena kemungkinan ia kelak menjadi kekasihmu. Maka hadits ini senada dengan Firman-Nya yang artinya; “Maka bersabarlah kalian, karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS : An-Nisa ayat 19).
Bahagia secukupnya, sedih seperlunya. Mencintai sewajarnya, membenci sekadarnya. Tapi bersyukurlah sebanyaknya.
Hakikat Cinta. Cinta adalah ruh kehidupan, rasa dari keberadaan, kelezatan dunia, makanan bagi ruh, kesenangan hati, cahaya mata, dan sinar bagi hati.
Hidup tanpa cinta adalah kehidupan yang kering, hati tanpa cinta adalah hati yang keras.
Kehidupan adalah jasad dan cinta adalah ruhnya, bila ruhnya tiada maka jasad pun tidak berguna.
Dengan cinta, para pecinta berbondong-bondong menuju apa yang dicintainya. Mereka saling berlomba dan berkompetisi dalam pengembaraan cinta.
Cinta adalah kehidupan. Barangsiapa yang kehilangan cinta, maka dia telah mati.
Cinta adalah cahaya. Siapa yang kehilangan cinta, maka dia berada dalam kegelapan yang sangat dan malam yang gulita.
Cinta adalah api di dalam hati yang akan membakar segala apa yang tidak dicintai oleh kekasihnya. Maka tiada yang tersisa selain apa yang disenangi oleh sang kekasih.
Tiada yang dia lakukan kecuali apa yang diminta oleh sang kekasih. Dia tidak mengerjakan kecuali apa yang diperintahkan oleh sang kekasih.
Cinta adalah kerinduan yang tetap untuk berjumpa dengan sang kekasih. Hidup dengan harapan untuk mendapatkan sang kekasih dan harapan untuk berjumpa dengan wajah sang kekasih.
Dengan demikian, telah tulus cintanya, telah jujur keinginannya. Dia tidak menduakan cinta sang kekasih, agar mendapatkan cintanya dan dapat selalu berdekatan dengannya.
Demikianlah Allah menyifati orang-orang yang beriman dengan sifat-sifat yang agung. Dan yang paling Agung dan khusus adalah cinta mereka terhadap Rabb mereka, bahkan dengan kecintaan yang sangat.
“Dan orang-orang yang beriman sangat besar kecintaannya kepada Allah”
Cinta yang paling agung dan indah adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, Sallallahu Alaihi Wassalam, serta cinta terhadap semua amal yang mendekatkan diri kepada cinta-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang baik.
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah cinta yang hakiki, yang harus memenuhi hati setiap orang yang beriman. Itulah cinta yang bermanfaat, yang Allah akan menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang shalih dengan cinta tersebut.
Itulah Cinta Abadi yang tidak akan terputus selamanya. Adapun selain cinta Allah, maka cinta tersebut akan terputus dan terkubur. (*Siti Mahmudah)
Mencintai terhadap duniawi: cinta istri, anak-anak, harta benda, bahkan sampai cinta pemimpin idola dan seterusnya. Apa yang terjadi jika cinta itu tak ada kontrolnya?.
Sebuah realita dunia politik. Sekarang, negeri ini sedang mengalami sebuah gegap gempita di tahun politik. Menjadi kebiasaan atau bahkan serupa virus terus menyebar obrolan politik, mulai warung kopi, kampus, masjid-masjid kantor-kantor, tempat umum, bahkan sampai space iklan jalanan, politik menjadi trending topic.
Tapi sayang, obrolan yang tengah ngetren itu tidak bernilai pendidikan politik untuk khalayak, sehingga jauh mencerdaskan kehidupan berbangsa. Hanya sebatas, senang tidak senang terhadap sosok idola, -Maaf, Apalagi itu oleh itu jauh dari sifat-sifat yang dimiliki panutan umat Rasulullah SAW yang benar-benar pemimpin umat yang sejati dan telah mengajak sukses dunia akhirat. Pemimpin umat yang langsung dipilih oleh Gusti Allah SWT untuk seluruh umat manusia, baik secara moral maupun kepemimpinannya.
Zaini, seorang wirausahawan telah merasakan bahwa dalam dunia perpolitikan kini sudah terjadi cinta buta idola calon pemimpin. Dalam tahun politik ini, sikap pro dan kontra terhadap jagoannya membawa suasana dan kondisi bangsa bergemuruh. Hingga gemuruh itu jauh dari elok dan mengaburkan makna dan wacana politik perpolitikan negeri tercinta.
Kenyataan ini mengingatkan kita dengan Gus Dur, bahwa politisi kita masih seperti celoteh taman kanak-kanak, rame olok-olok, caci-maki menjadi sebuah tontonan yang dipaksakan melalui media mainstream maupun media sosial. Ya, tidak bisa dipungkiri, industri media yang mempunyai kepentingan kapitalisme-komoditi media (baca : pabrik berita).
Dalam kondisi ini, industri media massa tentu ingin meraup untung besar. Dengan kelihaian mengambil moment, memasang komentator dari yang berkualitas hingga di bawah standar. Sama halnya memasang tong kosong nyaring bunyinya, nilainya cuma tontonan, rendah mendidik cara berpolitik yang indah. Beragam bentuk acara dengan narasumber yang beraneka rasanya ‘rame’ menggulirkan tema-tema politik. Tapi sayang, dalam kemasan acara tersebut minim solutif untuk memecahkan problematika politik. Bahkan tidak sedikit hanya berfungsi sebagai ‘kompor’ yang apinya membakar dan beresiko konflik.
Mari kembali dengan cinta, tetapi cinta dengan kebahagiaan secukupnya agar tidak menjadi sedih jika objek yang kita cintai itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Maka kita akan bisa menakar kesedihan itu dengan secukupnya. (Sumber: Majalah Wisatahati).